Fimela.com, Jakarta Sarasehan Tumpeng merupakan sebuah acara yang dilaksanakan oleh Aksara Pangan bersama dengan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada. Kegiatan tersebut membahas dan mengupas tuntas tentang sejarah, ragam, dan filosofi tumpeng bersama dengan akademisi dan praktisi kuliner yakni Chef Wira Hardiyansyah, Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, STP.,M.Sc., dan Cindy Kartika Sari . Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom yang diikuti lebih dari 50 peserta.
Tumpeng merupakan suguhan nasi yang berbentuk kerucut bersama dengan lauk-pauknya. Namun, tidak ternyata, tumpeng memiliki sejarah, ragam dan filosofi tersendiri. Menurut Chef Wira Hardiyansyah, yang merupakan seorang traveling chef mengatakan bahwa tupeng sudah ada sejak zaman Jawa Kuno. Saat itu, masih terdapat dua agama yakni Kapitayan dan Sunda.
Dalam agama Kapitayan, mereka percaya dengan keberada Tuhan, dalam kata “Tu” dapat diartikan sebagai “Tu” yang baik yakni Tuhan, sedangkan “Tu” yang tidak baik disebut dengan hantu. Nah, dari kata Tu tersebut, muncul beberapa nama seperti pintu, dan lain-lainnya yang mana tempat-tempat dijadikan tempat untuk meletakkan sesaji yang berupa ayam dan keranjang bunga atau kita sering menyebutnya dengan tumpeng.
Sedangkan pada agama Sunda, mereka percaya kepada gunung. Di mana gunung lahir dari antara sinergi tata surya dan bumi sehingga munculah gunung. Bagi orang Sunda, gunung itu salah satu tempat yang sakral. Mereka menganggap bahwa gunung merupakan tempat para Hyang.
Dalam agama Sunda tumpeng berbentuk menyerupai matahari, di mana terdapat daun pisang yang berbentuk lingkaran dan di tengah terdapat nasi kuning yang melambangkan sebagai matahari. Tumpeng yang terbuat dari nasi disimbolkan sebagai Dewi Sri, sedangkan ayam yang hidup disimbolkan sebagai lahirnya matahari.
Dari sisi lauk, banyak orang Jawa mencocokkan sesuatu agar mudah dimengerti seperti urap yang berasal dari kata urap, urip, urup, yang artinya menghidupi, telur disimbolkan sebagai kelahiran, ikan seperti ikan teri sering disimbolkan sebagai keakuran atau kebersamaan, lauk yang berjumlah tujuah, sering disebut sebagai pitulungan. Yang mana semua orang pulang pada tujuan masing-masing. Sedangkan untuk nasi yang berwarna putih disimbolkan sebagai mensucikan diri, nasi berwarna kuning, merupakan sebagai tanda matahari, dan nasi berwarna hijau diartikan sebagai warna alam.
Sedangkan di jaman Wali Songo, di daerah Kediri terdapat upacara pengorbanan terhadap anak, diri sendiri atau makhluk hidup lainnya. Saat itulah Sunan Bonang mulai mengubah upacara tersebut namun dengan tanpa pengorbanan yang disebut dengan slametan. Upacara tersebut dilakukan dengan membuat tumpeng yang tujuannya untuk Allah.
Tumpeng ternyata tidak hanya sebatas satu macam, ada banyak ragam tumpeng yang ada di Nusantara terlebih di Pulau Jawa. Berdasarkan penjelasan Dr. Dwi Larasatie yang merupakan dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, terdapat 37 ragam tumpeng yang ada di Jawa misalnya seperti Tumpeng Duplak, Tumpeng Robyong, Tumpeng Megono dan masih banyak lagi.
Terdapat beberapa perbedaan antara tumpeng, gunungan, dan daharan. Gunungan merupakan, sedekah raja yang diberikan kepada rakyatnya, biasanya ukurannya lebih besar yang berisi hasil bumi seperti hasil panen dan lainnya. Tumpeng, merupakan nasi putih yang berbentuk kerucut dengan beberapa jenis lauk-pauk. Sedangkan untuk daharan perupakan nasi yang disuguhkan dalam upacara adat.
Sementara itu, untuk berdasarkan kelompok, terdapat terdapat tumpeng tradisional yang biasanya terdiri dari nasi berbentuk kerucut, nasi putih dan lauk-pauk. Sedangkan untuk tumpeng modifikasi bias menggunakan nasi goreng, nasi sawut, nasi tiwul dan untuk kelengkapannya tidak perlu pakem. Untuk kelengkapan tumpeng sebanyak 60% berupa lauk hewani, dan 40% berupa sayuran. Daging yang digunakan pun biasanya menggunakan daging merah seperti daging sapi atau kerbau. Tentunya masing-masing tumpeng memiliki makna tersendiri sesuai dengan isian dan kegunaannya.
Sedangkan untuk pemaparan Cindy Kartika Sari, yang perupakan Praktisi kuliner, tumpeng sangat berkaitan dengan spiritual. Menurutnya, tumpeng yang tidak disertai dengan lauk-pauk atau kelengkapan sudah merupakan doa. Ya karena dari unsur tumpeng yang terbuat dari nasi, ia menganggap itu sebagai simbol sebagai Dewi Sri seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Tumpeng merupakan sebagai simbol rasa syukur yang sudah ada dan dilakukan sejak zaman Jawa Kuno. Kata tumpeng merupakan salah satu tanda keharmonisan. Tumpeng itu sendiri menjadi suatu hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam.
Tumpeng dianggap sakral karena proses dan peralatan yang digunakan pun cukup mendung simbol yang bermakna. Seperti mandala yang disimbolkan sebagai memberikan kehidupan, terdapat tungku yang terbuat dari 3 susunan bata, air, api, asap yang menyimbolkan sebagai udara. Segala sesuatunya mengandung makna. Biasanya seseorang yang membuat tumpeng harus orang yang lebih tua, tidak boleh dalam keadaan datang bulan, semua harus dalam kondisi bersih.
Cindy juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa prasasti juga tertuliskan kata tumpeng di dalamnya. Prasasti ini terletak di Dieng. Dalam prasasti tersebut tertuliskan “buatlah analingga untuk dewa Brahma”, kata analingga tersebut yakni berupa nasi berbentuk kerucut yang sering kita kenal dengan kata tumpeng.
Acara yang digelar oleh Aksara Pangan bersama dengan Fakultas Tekonologi Pertanian, Gajah Mada ini bertujuan untuk memberikan edukasi dan melestarikan kuliner Nusantara kepada masyarakat baik pelajar maupun masyarakat umum lainnya.
Cek Video di Bawah Ini
#Changemaker