Serumah dengan Mertua Membuatku Terluka, Lalu Aku Teringat Ibuku yang Penuh Cinta

Endah Wijayanti diperbarui 10 Des 2020, 11:33 WIB

Fimela.com, Jakarta Seorang ibu menjadi sosok yang paling istimewa di hati kita. Saat menceritakan sosoknya atau pengalaman yang kita miliki bersamanya, selalu ada hal-hal yang tak akan bisa terlupakan di benak kita. Cerita tentang cinta, rindu, pelajaran hidup, kebahagiaan, hingga kesedihan pernah kita alami bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories November 2020: Surat untuk Ibu berikut ini.

***

Oleh: Rahayu

Setelah menikah aku mulai membuka lembaran baru. Segala aktivitasku berubah. Senang sekali dulu menjadi seorang anak, yang disayang, dibimbing, dan dipenuhi segala keinginanku. Sekarang aku telah mengurus rumah tanggaku sendiri, berpisah dengan ibu dan saudaraku. Aku hidup dengan suami di rumah mertua.

Sebenarnya aku menginginkan bisa tinggal tanpa mertua, namun suamiku membujuk untuk tinggal bersama orangtuanya dengan beberapa alasan. Aku mengalah karena sebagai wanita yang layaknya dipimpin, aku harus percaya dengan pilihan suamiku bahwa itu yang terbaik.

Hidup baru ini aku jalankan kurang lebih selama dua tahun, dan aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk mengurusi rumah tangga daripadai berkarier atau memenuhi hobi. Bahkan aku sama sekali tidak bekerja karena larangan suamiku, meski minatku begitu tinggi untuk memilih pekerjaan. Memang aku harus mengurus anak, yang masih kecil dan juga membantu bapak mertuaku yang sakit, aku rasa itu pilihan yang tepat.

Semakin bertambah hari, tinggal bersama mertua cukup membuatku emosi, rasa marah, rasa kecewa, sedih, dan merasa tersiksa itu muncul. Banyak pekerjaan yang kulakukan untuk membantunya tapi tidak pernah mendapat sanjungan sedikit pun, bahkan beberapa kali aku sering dimarahi dan ibu mertua sering menampakkan wajah yang tidak puas.

Sungguh, ibu mertuaku begitu tidak senangnya kepadaku. Padahal aku tidak memusuhinya, dan aku juga belum pernah membuat kesalahan yang fatal untuknya. Memang karakter ibu mertua tidak menyenangkan, galak, judes, dan segala keinginan harus dituruti. Mungkin beliau merasa aku telah menikah dengan anaknya yang cukup mapan, sedangkan aku hanya wanita yang bergantung dari keluarga biasa saja.

Ayah mertuaku saat ini sedang sakit, beliau hanya sanggup berbaring di tempat tidur. Aku diminta ibu mertua untuk merawatnya. Sehingga kegiatan sehari-hariku adalah pekerjaan bersih-bersih, mengurus anak dan mengurus mertua.

Aku merasa kehidupan pernikahan ini sudah lama, meski baru dua tahun, rasa-rasanya lima atau sepuluh tahun sudah kulewati. Mungkin karena aku merasa kehidupan ini yang banyak tekanan dan kurang kunikmati, jadi menjadi beban bagiku. Bagaimana aku bisa menikmati dan tidak tertekan? Dengan keadaan yang aku alami seperti ini.

Sehari-hari aku mengerjakan pekerjaan rumah 15-18 jam penuh. Aktivitas yang cukup melelahkan, tidak hanya fisik tapi batin juga. Pagi hari aku bangun subuh, salat, pergi ke pasar, masak, memandikan anak, menyiapkan bekal suami, menyuapi anak, mengantar sekolah anak, cuci piring, cuci baju, nyapu, ngepel, menggantikan baju dan nyuapin bapak mertua, seterika, dan momong anak tiap hari.

Ibu mertua hampir tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Semuanya aku. Beliau hanya bangun, mandi, makan, dan main sama cucunya. Sekadar menyapu atau berbelanja tidak pernah, setiap hari seringnya menyuruh dan menyuruhku, mengambil minum saja beliau menyuruhku. Sebenarnya senang-senang saja aku bisa mengerjakan pekerjaan itu, apalagi membantu orangtua suamiku. Namun sikap ibu mertua sangat tidak menyenangkan, membuat batinku tersiksa.

Begitu banyak pekerjaan yang telah aku lakukan juga tidak membuahkan respon yang manis dari ibu mertua. Malah pernah sekali disuruh membuatkan teh hangat, tapi kata ibu terlalu panas, dan beliau marah. Padahal aku ingin sekali dekat dengannya, mendengarkan ceritanya ketika mendidik anaknya, dan melihat senyumnya. 

Ketika aku jenuh dengan pekerjaanku di rumah ini, aku gunakan sebagian waktuku untuk bertanam sayuran atau menuangkan keluh kesahku pada selembar kertas. Begitulah kehidupanku saat berkeluarga, aku bagaikan pembantu. Mungkin bagi sebagian orang hal seperti itu biasa saja. Tapi bagiku yang masa mudanya apa-apa terpenuhi oleh orang tua sendiri, merasakan hidup seperti ini bagaikan hidup di sangkar burung, yang tak bisa keluar dan di tuntut untuk berkicau. Dan di saat perasaanku sedang kacau, aku ingat dengan ibu kandungku yang begitu sayangnya padaku, berbeda dengan ibu mertua. Aku kangen dengan ibu. Sekarang aku menyadari betapa besarnya cinta ibu kepadaku.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Teringat Ibu Kandungku yang Penuh Cinta

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Doucefleur

Ibuku sayang, dahulu aku seperti mutiara yang engkau simpan dengan baik. Engkau telah memenuhi kebutuhanku dari bayi hingga dewasa. Puluhan tahun kau telah memberikan makan dan minum kepadaku. Membelikan berbagai pakaian yang bagus yang pernah aku minta, membelikan es krim rasa favoritku, memberikan banyak boneka dan mainan, menghadiahi satu paket perhiasaan di hari ulang tahunku, sering mengajak berkeliling melihat bunga mekar di taman, dan banyak kenangan indah bersamamu. 

Makhluk kecil yang penuh kekurangan ini seperti ratu di matamu. Kau mengutamakan kebahagiaanku daripada bahagiamu. Kasih sayangmu begitu besar, hatimu sangat lembut. Kini aku baru menyadari perjuanganmu, ibu. Kau telah mendidik anakmu dengan sabar. Meski kekurangan ekonomi upayamu begitu tinggi agar anak-anakmu bisa menjadi sarjana, berharap anak-anakmu bisa bahagia dengan pilihan hidupnya sendiri. Selalu mendoakanku dalam setiap sujudmu. Kau panjatkan doa agar aku menemukan jodoh yang terbaik, dan bahagia seumur hidup dengannya. Cita-citamu begitu mulia ibu, hanya menginginkan anaknya bisa bahagia dengan pilihannya. Meski tidak sekarang, aku percaya ibu, bahwa doamu akan terkabul. 

Sekarang aku sangat menyesali diriku, kenapa dulu tidak banyak berterimakasih kepadamu ibu? Aku rindu pada ibu. Ingin sekali mencium dan memelukmu erat. Namun, jarak rumah kita telah jauh, untuk berkunjung kepadamu saja aku harus menunggu diantar suamiku, aku dilarang pergi sendirian. Setidaknya rindu ini bisa terkikis perlahan melalui sambungan telepon. Senang sekali bisa mendengar suara dan tawamu ibu, itu semua menjadi obat lelahku bu. Dan juga senyum anak-anakku yang butuh dipertahankan, maka aku akan senyum untuk mereka. Seperti senyummu yang membuatku tegar.

Ibuku sayang, aku telah menjadi ibu untuk anak-anakku. Banyak waktu yang telah aku korbankan untuk mengurusi anak, dari pagi hingga malam. Tenaga yang telah aku keluarkan juga banyak, untuk anak dan keluarga mertua. Tak hanya waktu, tenaga dan pikirian, perasaan juga menjadi sasaran dari kehidupan rumah tangga ini. Tetapi aku ingat kamu ibu, yang dahulu juga banyak berkorban watu, tenaga, dan pikiran untuk keluarga, meski anakmu tidak pernah membantu. Sudah sepatutnya aku meniru perjuangan dan prinsipmu.

Ibu selalu berprinsip menjadi orang yang berguna untuk orang-orang di sekitarnya. Jika menjadi orang yang tidak bisa melanjutkan mimpi sendiri, maka engkau memilih untuk mendorong mimpi orang lain supaya terwujud yaitu suami dan anak-anakmu. Dukunganmu begitu besar untuk kami semua ibu, rasa syukurku begitu besar kepada Allah SWT karena telah memiliki Ibu yang sangat sabar sepertimu. Terima kasih ibu atas dukungan materi dan imateri yang selama ini kau berikan. Aku tidak pernah bisa membalas jasamu ibu, meski aku punya harta melimpah sekalipun, tak akan pernah bisa membayar kasih sayangmu. Aku hanya bisa mengharap kepada Allah, semoga ibu bisa mendapatkan balasan kebahagiaan maksimal di surga-Nya. Aamiin.

 

#ChangeMaker