Fimela.com, Jakarta Butuh waktu 20 tahun bagi Khairiyyah Sari sampai akhirnya memiliki merek fashion sendiri. Bukan tanpa alasan, Sari yang mengawali kariernya sebagai fashion stylist di majalah sampai konsultan gaya dan kurator ini memang sama sekali tak tertarik membuat label pakaian sendiri.
Pengalamannya selama dua dekade justru membuatnya punya ketakutan sendiri. Ia merasa memiliki standar tinggi akan sebuah produk karena telah melewati berbagai proses dalam perjalanannya di kancah fashion tanah air dan pertimbangan untuk mempertaruhkan diri jika ikutan 'nyemplung' dalam industri yang membesarkan namanya.
Apalagi lima tahun belakangan ia disibukkan dengan kegiatan yang disebutnya 'mengabdi pada negara' untuk membantu UMKM di bawah institusi Bekraf, Kementerian Pariwisawa, Pemprov DKI, sampai MRT Jakarta. Sudah ratusan brand lokal dari beraneka kategori yang dikurasi dari skala nasional sampai global.
Mulai dari para ibu-ibu yang membuat kue, produk mukena, sampai brand besar yang sudah punya buyer dari luar negeri. Setelahnya ia semakin mantap untuk tidak ikutan membuat sebuah produk apalagi berhubungan dengan fashion.
"Selama lima tahun jadi kurator aku banyak dapat semua ilmu bahwa kita enggak bisa asal-asalan bikin brand. Lagipula aku bukan desainer dan tahu diri aja enggak pengin bersaing sama mereka yang memang jago dan punya expertise dalam desain," ujar Sari saat ngobrol bareng Fimela via telepon.
Pandemi dan Lingerie jadi Produk Langka yang Dikurasi
Sejak status pandemi Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020, Sari juga melakukan karantina di rumah. Selama tiga bulan ia disibukkan dengan mengikuti berbagai kelas online dari webinar fashion sampai melukis (dalam 2 bulan membuat 22 lukisan).
Perempuan yang identik dengan rambut pendeknya tersebut mengaku bisa menikmati masa-masa di rumah dengan baik, namun tidak dengan kebanyakan teman-temannya. Mereka semua mengaku kewalahan dengan adaptasi aktivitas baru yang terpusat di rumah dari mengurus anak sekolah dan harus membiasakan diri 24 jam dengan pasangan.
Iseng-iseng ia pun bertanya pada teman-teman perempuannya, baju apa yang dipakai di rumah? Jawaban terbanyak adalah daster karena faktor kenyamanan, namun sebagai orang fashion, Sari mengamati jika dipakai terlalu sering cenderung membuat mood semakin malas dan kurang bersemangat.
"Mood di masa pandemi ini kan sudah suram, ya, dan kalau di rumah hatinya sudah enggak happy, pasti auranya juga enggak baik. Saat itu langsung mikir produk apa yang bisa bikin perempuan happy dan dipakai tiap hari, OMG, langsung kepikiran lingerie dan selama ini aku jadi kurator, enggak ada yang bikin ini," kenang Sari bersemangat saat menceritakan mengapa memilih pakaian dalam sebagai debut lini fashion-nya.
Bersama ketiga rekannya, Sari pun mencetuskan ide membuat lingerie. Hanya butuh waktu lima bulan sampai akhirnya merilis brand dengan jenama Booka (baca: buka) dan 1 minggu saja untuk membuat rencana bisnisnya.
"Di bulan Juni-Juli aku kayak tinggal di planet sendiri untuk mempersiapkan ini, sepertinya 20 tahun kemarin dipersiapkan untuk ada di tahap ini. Karena misinya mau empowering perempuan jadi aku jalani bareng partner dan bukan dari orang fashion. Aku bisa dapat insight yang berbeda, dimulai dari kami bertiga yang punya bentuh tubuh beda dan bisa kasih pertanyaan kritis yang mengakomodir kebutuhan banyak perempuan Indonesia," lanjut Sari yang mengambil posisi Creative Director Booka Lingerie.
Strategi dan Spesialisasi
Setelah mantap membuat label lingerie, Sari pun melakukan riset untuk memperkuat idenya. Sambil ia juga menganalisis mengapa lingerie menjadi produk fashion 'anak tiri' yang jarang bahkan minim peminat.
Sembari menunggu hasil survei yang disebar ke 165 perempuan dan 110 pria, ia mulai mengerti jika lingerie di Indonesia diidentikan dengan pakaian dalam seksi sampai seronok dan tidak sesuai dengan culture. Padahal lingerie sendiri merupakan istilah dalam bahasa Prancis untuk sebutan pakaian dalam yang sampai di Indonesia menjadi sebuah kesalahan pengertian bahasa.
"Hasil surveinya menarik, seperti salah satu pertanyaan yang aku buat, apa yang ingin dipakai saat di rumah, perempuan jawab daster batik, sementara 78 persen pria ingin lihat pasangannya pakai 2 pieces, bisa loungewear atau sleepwear dengan warna hitam dan merah yang tertinggi," sambung Sari.
Sudah mantap memilih jalur lingerie, ada satu lagi yang mengganggu pikirannya, yaitu bagaimana strategi memasarkannya? Karena secara psikologis, jika ia merekrut model untuk promosi lingerie maka akan terkesan vulgar. Hingga akhirnya ia menggabungkan dua ilmu yang dipelajarinya saat jadi fashion stylist dan titel sarjana psikologi.
"Kalau pakai model nanti aurat ya, lalu gimana caranya untuk tetap bisa menampilkan produk lingerie tetap kece? Ya tentu foto produk aja tanpa model dengan modal pengalaman pernah jadi fashion stylist. Lagi pula niat aku memang mau empowering perempuan Indonesia terutama untuk tampil menghargai dan percaya diri dengan tubuhnya," timpalnya.
Kesehatan dan Ramah Lingkungan
Untuk koleksi pertama Booka lingerie, Sari dan rekan memilih model bralette tanpa busa dan kawat yang mendukung kesehatan payudara. Beruntung, ia mendapatkan desainer in-house dari salah satu sekolah mode di Jakarta yang klik dalam selera.
"Semesta mendukung kalau kata orang-orang, aku dapat desainer lulusan spesialisasi desain lingerie dan pernah magang di pabrik Victoria's Secret. Aku semakin pede bisa membuat produk lingerie lokal dengan kualitas global," ujar Sari.
Sari juga harus belajar tentang produksi dan jenis mesin untuk kebutuhan pembuatan lingerie yang berbeda. Karena koleksi pertama bermain dengan material renda tentu punya treatment yang juga istimewa.
"Bisa jadi juga banyak orang malas dan enggak kepikiran bikin lingerie karena mesin konveksi yang beda. Bisa sih, tidak menggunakan mesin standar internasional, tapi sekali lagi nama baik dipertaruhkan," ujarnya sambil tertawa.
Untuk koleksi lingerie pertama, ia mengaku masih mengimpor bahan lace terbaik untuk mendapat kenyamanan sambil mencari suplier renda lokal yang memiliki kualitas super-nyaman. Ia juga menggabungkan dengan serat lyocell yang ramah lingkungan sebagai bentuk kepedulian akan fashion yang berkelanjutan.
Selain mengutamakan kenyamanan, Sari juga ingin mempersembahkan lingerie dengan penamaan yang didedikasikan untuk nama-nama dari perempuan Indonesia. Seperti 'Saras’, ‘Ira’, ‘Putri’, ‘Adinda’, ‘Ayu’, ‘Sari’, ‘Maya’ dan ‘Dewi’ yang hadir dalam beragam model cantik dilihat dan nyaman dipakai.
"Ada yang beli namanya Saras, lalu dapat feedback suaminya happy banget. Rasanya senang karena misi ini berhasil. Sebenarnya bukan misi membuat pasangan senang, tapi bikin pemakainya happy duluan dan bisa nular ke suami," ujarnya lega.
Harga Affordable Terjual 200 Koleksi
Sejak dirilis 3 minggu lalu, Booka lingerie sudah menjual lebih dari 200 items. Harga juga menjadi faktor penting yang dipikirkan dan tetap mendengar masukan dari banyak orang.
"Sekali lagi, harga dipatok berdasarkan riset karena memang aku ingin yang terjangkau untuk semua. Mulai dari Rp199 ribu sampai bra Rp 249 ribu. Alhamdulillah sudah terjual 200 pieces dan semua bilang dapat nyamannya."
Sari pun bisa mempekerjakan para perempuan yang kehilangan pekerjaan karena terdampak pandemi. Dan semua memaksimalkan kegiatan dari rumah alias tanpa effort banyak untuk keluar rumah.
Meski semua dikerjakan dari rumah, rencana dan ide liar Sari untuk mengembangkan produk lingerie tak ikut terisolasi. Dari mengajak kolaborasi seniman, desainer, sampai UMKM di berbagai daerah. Kita tunggu saja koleksi selanjutnya ya, Sahabat Fimela!
Simak Video Berikut
#ChangeMaker