Fimela.com, Jakarta Su Jit Lin bertanggung jawab mengelola akun media sosial perusahaan tempatnya bekerja. Setiap bangun tidur, ia akan meraih ponselnya, memeriksa email pribadi, menanggapi teks, membaca berita, berlama-lama di Instagram dan Facebook untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Lin tahu ini bukan kebiasaan yang sehat, namun bukan rahasia lagi jika ini adalah ritual paling umum yang juga dilakukan oleh banyak orang. Sayangnya, sejak pandemi COVID-19, ritual ini menjadi sumber ketakutan Lin.
Kata-kata kasar, diskriminasi, informasi yang salah, dan retorika telah meningkat karena orang-orang merasa semakin tidak berdaya melawan serangan berita buruk dan kecaman, dengan keterbatasan saat masa karantina. Lin adalah keturunan Tionghoa dengan marga pada namanya.
Lin merasa memiliki beban untuk meminta maaf dan bertanggung jawab untuk membela keturunan Tionghoa yang lahir di Amerika. Ini dimulai dengan retorika berbahaya yang berbunyi "virus China." Penggunaan hinaan secara terus menerus yang dilakukan oleh Donald Trump ini seakan menempatkan Lin sebagai target dan sasaran diskriminasi dari suatu kelompok minoritas.
Lin diserang ketika mengunggah penolakan terhadap label yang diberikan oleh Donald Trump
Di bulan April lalu, Lin mengunggah di akun Facebook pribadinya, meminta teman-temannya untuk tidak menggunakan istilah itu lagi, dan ini seperti memicu perdebatan. Ada orang-orang yang dengan terbuka mengatakan bahwa unggahan Lin tersebut adalah serangan terhadap Donald Trump, meminta Lin dan orang-orang yang setuju dengannya untuk keluar dari negara tersebut jika tidak menyukai Donald Trump.
Ini diucapkan oleh orang-orang yang dekat dengan Lin. Orang-orang ini menolak memahami mengapa Lin kesal dengan penggunaan istilah tersebut.
Pandemi telah meningkatkan kekerasan terhadap orang Asia, tidak hanya secara virtual. Pecinan dan kuil di Kanada dirusak, orang-orang Asia-Amerika, termasuk orang Vietnam, Korea, atau keturunan Jepang diludahi, dilecehkan, dan diserang di jalan-jalan di Amerika.
Ketika jumlah infeksi COVID-19 meningkat, kasus prasangka di tempat kerja juga meningkat. Ada lebih dari 2.500 serangan fisik atau verbal antara bulan Maret dan Agustus.
Facebook, Instagram, dan Twitter merilis pernyataan yang mengatakan bahwa mereka telah meminta pengguna untuk melaporkan kejadian pelecehan verbal ini. Baru-baru ini pada bulan Oktober, setelah Donald Trump didiagnosis positif COVID-19, retorika anti Asia dan teori konspirasi China mengalami lonjakan yang mengejutkan, sebesar 85% di Twitter.
Permusuhan terhadap orang Asia terus berlanjut di Amerika
Permusuhan meningkat dengan kecepatan tinggi saat orang Asia di seluruh dunia membuat pengakuan melalui tagar #IAmNotAVirus. Banyak korban kejahatan atau pelecehan menolak melaporkan kejadian yang mereka alami, mengabaikannya sebagai harga dari antisipasi di Amerika.
Dari pengalaman Lin sebagai perempuan keturunan Tionghoa-Amerika yang berada di lingkungan orang berkulit putih, prasangka adalah harga masuk dan diterima di lingkungan tersebut. Menangisi hal tersebut akan dianggap lemah, menuntut adalah gangguan dalam komunitas, dan menarik perhatian berarti menempatkan bukan hanya diri sendiri dan keluarga, namun juga orang-orang terdekatmu sebagai target.
Lin diharapkan untuk tetap menunduk dan menutup mulut agar tidak tertangkap radar, membiarkan kerja keras dan ketekunan yang membuktikan keberadaannya. Setiap memikirkan hal ini, Lin susah tidur.
Ia mulai mengonsumsi obat tidur untuk membantunya beristirahat dan rambutnya mulai rontok karena stres yang dirasakannya. Cemas berlebihan ketika masuk ke media sosial, namun jelas bukan sesuatu yang bisa dihindari oleh Lin karena pekerjaannya di bidang komunikasi dan media sosial.
Ia melihat hal-hal yang tidak bisa ditanggapi, membaca hal-hal yang tidak bisa dibantah. Jadi, Lin hanya bisa menahan amarah setiap hari, hingga kelelahan hanya untuk berjuang lagi keesokan harinya.
#ChangeMaker