Fimela.com, Jakarta Hari Internasional Perempuan Pembela HAM (PPHAM) diperingati setiap tanggal 29 November. Mungkin bagi sebagian dari kita kurang familiar dengan perayaan ini, namun belum terlambat daripada tidak tahu sama sekali.
Perempuan pembela HAM atau PPHAM sendiri adalah siapa saja yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi dengan prinsip anti-kekerasan. Mereka mengadvokasi dan memberikan pendidikan tentang HAM.
"PPHAM mengacu pada apa yang dilakukannya bukan siapanya. Dan yang terpenting mereka tidak boleh melakukan kekerasan, non-diskriminasi, dan bekerja menggunakan framework HAM," ujar Damairia Pakpahan dari Yayasan Perlindungan Insani Indonesia dalam konferensi pers virtual Komnas HAM, Jumat (27/11)
Sayangnya, PPHAM sama rentannya mengalami kekerasan seperti korban yang didampinginya dalam banyak kasus, terutama kekerasan seksual. Beban kerja yang sudah berat harus ditambah lagi dengan ancaman yang tak hanya membahayakan diri sendiri namun juga keluarganya.
"Banyak perempuan-perempuan di desa-desa atau kota-kota kecil yang melakukan pendampingan dipersulit saat mengurus administrasi. Mereka juga menerima stigma sebagai perempuan perusak rumah tangga, sampai ada yang menderita sakit sampai akhir hidupnya," ujar perwakilan dari Organisasi Masyarakat Sipil Luviana dalam kesempatan yang sama.
Minimnya Proses Hukum
Di Hari Internasional Perempuan Pembela HAM ini, berbagai masalah yang dihadapi PPHAM karena gender, seperti stigma termasuk pelecehan seksual bisa dihapuskan. Tentunya peran kolektif dibutuhkan untuk mengakhiri mata rantai kekerasan pada PPHAM.
Sayangnya, Komnas Perempuan melihat minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual karena ketiadaan kebijakan terkait kekerasan seksual dan kuatnya budaya menyalahkan korban. Sementara daya dukung pemulihan korban terbatas yang menyebabkan keberulangan kekerasan terhadap PPHAM.
Terutama di masa pandemi Covid-19, Komnas Perempuan mencatat PPHAM masih terus mengalami kekerasan dalam kerja mereka. Setidaknya terdapat 5 kasus kekerasan yang dilaporkan 5 lembaga mitra tempat PPHAM bekerja.
Sementara itu Forum Pengada Layanan (FPL) juga mencatat para PPHAM mengalami ancaman yang diperoleh lewat sms atau Facebook. Atas ketidaksukaan pelaku terhadap kerja-kerja pendampingan dan advokasi korban.
Rekomendasi Komnas Perempuan
Merespons situasi tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan pada berbagai pihak, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Untuk menyegerakan hadirnya protokol perlindungan untuk pendampingan pengada layanan atau PPHAM dan memastikan protokol tersebut di semua lembaga pengada layanan.
Begitu juga Kementerian Kesehatan untuk membantu PPHAM lewat penyediaan jaminan kesehatan dengan biaya terjangkau. Terutama terkait dengan kerja-kerja penegakan HAM perempuan yang dilakukan PPHAM.
Untuk aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, juga memastikan PPHAM bekerja aman secara kesehatan saat melakukan pendampingan pada perempuan korban kekerasan. Penyediaan ruang tunggu yang mengikuti protokol kesehatan selama masa pandemi akan membantu PPHAM melakukan tugasnya dengan aman dan nyaman.
"Karena di masa sekarang ini, Komnas Perempuan menemukan jika para PPHAM mengalami peningkatan jam kerja yang menyumbang meningkatnya beban kerja dan mengalami kerentanan tertular Covid-19 karena mereka harus menjemput korban secara langsung," tambah Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati.
Simak video berikut ini
#ChangeMaker