Fimela.com, Jakarta Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi dalam profesi apa pun, namun kali ini kita akan menyoroti pekerjaan jurnalis. Kekerasan padaa jurnalis bukan hanya menjadi tanggung jawab rekan seprofesi atau perusahaannya melainkan semua pihak.
Kekerasan pada jurnalis perempuan mencakup banyak hal, seperti fisik, mental, digital, sexual harassment, mob censorship atau penyuntingan bersama-sama yang terjadi di media sosial dan membuat jurnali di-bully ramai-ramai.
"Jika jurnalis mengalami kekerasan semacam itu akan membungkamnya, menurunnya liputan isu kekerasan, dan jika hal itu terjadi mengurangi level demokrasi suatu negara," ujar Gilang Parahita dari Universitas Gadjah Mada dalam diskusi virtual merayakan International Day for the Elimination of Violence against Women 2020.
Salah seorang jurnalis yang mengalami serangan seksual online adalah Virginia Gunawan dari Voice of America. Ia menelusuri jejak digital dan mendapati banyak komentar netizen yang menjurus ke ranah seksual terkait pekerjaan peliputannya.
"Rasanya memuakkan dan menjijikan, selain masalah doxing yang sedang tren mem-bully jurnalis, ancaman seksual juga banyak dihadapi kami wartawan perempuan," sambung Virginia Gunawan dalam kesempatan yang sama.
Bertahan karena Idealisme dan Integritas
Namun Virginia Gunawan merasakan perbedaan selama bekerja hampir tiga tahun di VOA. Ia merasa aman saat mewawancarai para pria yang memiliki kekuatan seperti senator atau pejabat dengan posisi kuat di Amerika.
"Tidak ada pelecehan seksual dari para pria yang punya power. Di Amerika, narasi seorang korban kekerasan seksual juga akan dipercaya dengan melakukan pengecekan ulang, tidak seperti di Indonesia," ujar Virginia.
Selain itu, perlindungan pada jurnalis perempuan di Amerika juga disebutnya spesifik. Seperti dirinya yang tergabung dalam Asian-American Journalist yang mempunyai sub-divisi interseksional.
Sebab menurutnya orang Asia yang ada di Amerika tentu memiliki masalah berbeda. Dan selain bantuan dari perusahaan, asosiasi tersebut juga bisa mengadvokasi para jurnalis perempuan.
Namun bukan berarti tidak ada isu tentang diskirimasi yang dirasakan oleh jurnalis atau calon jurnalis perempuan di Amerika. Menurutnya masalah jam kerja dan pembayaran jurnalis perempuan dan laki-laki masih menjadi problem klasik di Negara Paman Sam.
"Jumlah perempuan yang ingin jadi jurnalis sangat besar lebih dari 50 persen dilihat dari mahasiswi yang ambil jurusan jurnalistik. Tapi saat masuk dunia kerja habis ter-cut karena normalisasi masalah jam kerja. Begitu juga upah perempuan dan pria yang berbeda, tapi di VOA sejauh ini fair," bebernya lagi.
Tuntutan SOP Lindungi Jurnalis Perempuan
Tindakan kekerasan pada jurnalis perempuan juga tidak akan ditolerir di Indonesia. Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Endah Lismartini juga menyepakati jika ini merupakan tanggung jawab bersama serta institusi atau kantor tempat bekerja.
"Idealnya punya SOP melindungi jurnalis perempuan, bukan sekadar mengantar pulang di jam malam. Sayangnya masih belum berjalan, sebab itu kami di AJI punya mekanisme bidang gender yang akan mengadvokasi bantuan apa yang dibutuhkan korban terutama jurnalis perempuan," ujar Endah Lismartini.
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Papua Barat Olha Mulalinda juga meminta perusahaan media menyeriusi kasus-kasus kekerasan yang terjadi para perempuan. Sebab biasanya banyak kasus berujung damai.
"Perusahaan juga bisa jadi kendala, sebab itu harus membuat kebijakan sejak awal untuk jurnalis perempuan. Kadang geregetan juga, sebab itu FJPI hadir untuk jurnalis perempuan," tutupnya.
Simak video berikut ini
#ChangeMaker