Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.
***
Oleh: Ratnaning Palupi
Dulu aku selalu bimbang memilih antara bekerja dan tidak bekerja. Jika bekerja aku akan kehilangan momen bersama anak-anak. Namun, jika tidak bekerja aku tidak akan memiliki penghasilan. Menjadi dosen lepas adalah cara Tuhan menjawab kegalauanku antara menjadi working mom atau stay at home mom.
Sebagai dosen lepas, aku hanya perlu bekerja saat ada jadwal kuliah. Jadwal mengajarku biasanya adalah tiga hari dalam seminggu dan dalam satu hari hanya tiga SKS atau setara dengan 2,5 jam. Hal ini membuatku hampir sepanjang hari bisa berada di rumah dan membersamai anak-anakku yang masih batita. Di samping itu aku tetap mendapat penghasilan dari mengajar.
Sisa waktu yang aku miliki setelah mengajar sebenarnya lumayan banyak tetapi tetap saja terasa kurang untuk menyelesaikan semua kegiatan di setiap harinya. Untuk itu, aku harus pintar membagi waktu. Beruntung, aku memiliki suami yang open minded dan sama sekali jauh dari patriarki. Segala hal kami bicarakan bersama dan kami kerjakan sesuai kesepakatan. Dengan demikian mengurus rumah dan anak-anak terasa jauh lebih ringan.
Berbagi Peran dengan Suami
Aku dan suami berupaya untuk memberikan pengasuhan yang dapat menjadikan anak-anak siap untuk menghadapi segala stereotipe tentang lelaki dan perempuan. Kami berusaha melakukan pengasuhan setara pada anak-anak tanpa membedakan gender mereka. Aku membebaskan anak-anak memilih mainan yang mereka sukai. Anak perempuan tidak harus selalu main boneka. Haya, anak perempuanku, sering mengajak ayahnya bermain lego, dan bentuk yang paling ia suka adalah mobil dan kereta. It's okay. Aku juga membebaskan anak-anak memilih warna. Tidak harus selalu pink untuk Haya, hitam atau navy cantik juga.
Memiliki ibu yang bekerja, sedikit banyak membuat Haya mengerti bahwa perempuan tidak hanya bisa melakukan pekerjaan rumah tetapi juga bisa berkiprah di luar. Haya boleh menjadi apa saja. Aku dan suami selalu memberikan dukungan bahwa ia mampu melakukan segala sesuatu. Kami mendengarkan pendapatnya dan kami mempertimbangkan keinginannya meski belum genap tiga tahun usianya.
Suamiku tak segan melakukan pekerjaan rumah. Bukan dalam rangka membantuku melainkan karena menurutnya membereskan rumah adalah kewajiban bersama. Memasak, kenapa tidak? Kami ingin anak laki-laki kami memahami hal ini dan dapat meneladani hal-hal yang ia lakukan di rumah kami.
Saat anak lelaki kami Ihya menangis, aku tidak buru-buru menginginkan tangisannya berhenti hanya karena sebuah frasa "anak lelaki tidak boleh cengeng". Lelaki juga manusia yang punya rasa. Sedih dan kecewa tidak apa-apa baginya. Begitu pun dengan menangis tentu saja. Terhadap hal-hal ini, kami sangat berempati. Lelaki dan perempuan, segi biologis saja yang membedakan. Sedangkan sebagai manusia seutuhnya, mereka adalah sama.
Pola pengasuhan setara yang aku lakukan sepertinya masih belum familier bagi orang-orang. Terbukti beberapa kali aku mendapat cibiran saat suamiku terlihat sering membersamai anak-anak. Orang-orang kebanyakan masih tidak mengerti bahwa kedekatan anak-anak dengan ayahnya juga penting untuk memupuk rasa percaya diri. Orang-orang hanya tahu bahwa mengurus rumah dan anak adalah tugas perempuan. Namun, hal ini tidak berpengaruh terhadap apa pun dalam kehidupanku. Ini adalah caraku. My home, my rule.
#ChangeMaker