Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.
***
Oleh: Julita Hasanah
Ada rasa senang sekaligus dilema atas keyakinan banyak orang yang selalu mengelu-elukanku sebagai orang yang nyaris tak pernah gagal menggapai cita. Mereka bilang diriku istimewa karena selalu berhasil memeluk asa.
“Daftar beasiswa ya? Pasti lolos kamu,” kata mereka saat diri ini mendaftar beasiswa yang bisa dibilang paling bergengsi.
“Halah enggak perlu khawatir, risetmu pasti jadi juara,” seloroh seorang kawan melihatku berjibaku dengan kompetisi penelitian pada salah satu lembaga kenamaan.
“Aku heran sama kamu. Kenapa enggak pernah gagal si ?” tanya mereka yang kemungkinan merasa terintimidasi dengan pencapaianku tanpa mengetahui ada harga yang perlu kubayar untuk sebuah keberhasilan.
Suatu hari komentar orang-orang nyatanya memengaruhiku. Dengan sabar aku mencatat kembali torehan prestasi yang pernah didapat, mulai dari ajang nasional hingga internasional. Bukan perihal angka atau nominal yang berhasil dikantongi, tapi setiap pencapaian menyimpan kenangan dan pengalaman berharga.
Kisah dibaliknya membuatku tanpa sadar meneteskan air mata.
Jika diizinkan berbagi, ada satu alasan kuat mengapa kemudian diriku memang boleh dikatakan berhasil meraih cita. Bukan karena aku sangat beruntung, bukan pula karena diri ini sempurna dan menguasai banyak hal. Tapi satu, karena sedari kecil aku memang tidak diberikan kesempatan untuk gagal.
Sebagai seorang perempuan sekaligus bagian dari sandwich generation, aku tak boleh gagal, karena tak ada kesempatan kedua.
Jika gagal memperoleh beasiswa, maka habislah sudah kesempatan untuk melanjutkan studi.
Jika gagal memperoleh pekerjaan tambahan selagi menjadi mahasiswa jenjang master, maka jangan harap bisa menjalani studi dengan tenang.
Juga berlaku untuk hal-hal kecil lainnya, bahkan tak ada kempatan untuk gagal bangun pagi, gagal menyisihkan uang, karena banyak peran yang harus dijalani sehari-hari. Kalau gagal maka habislah sudah.
What's On Fimela
powered by
Tak Mudah Menjalani Peran sebagai Mahasiswa Sekaligus Pekerja
Dulu aku suka kesal mendengar teman-teman mengeluh akan tugas yang diberikan dosen, utamanya saat masih kuliah S1. Dengan finansial yang terjamin dan tidak dibatasi keadaan apa susahnya mengerjakan tugas-tugas itu. Lalu kemudian diri ini belajar bahwa setiap orang memang mempunyai kemampuan berbeda-beda.
Sejak menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, aku melakukan banyak hal selama itu bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Uang saku beasiswa jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan karena sebagai bagian dari sandwich generation aku diharuskan keadaan untuk bisa membantu keuangan keluarga, sekecil mungkin.
Jadi ketika teman-temanku sibuk mengeluh, aku justru menggunakan waktu tersebut untuk fokus menyelesaikan tugas secepat mungkin, karena tanggung jawab di luar kuliah sudah menanti.
Berbagai profesi pernah dijalani, menjadi guru privat dari rumah ke rumah, penerjemah bahasa asing di salah satu lembaga di Vietnam, hingga sekadar berjualan es lilin sambil berkuliah.
Tak semenyedihkan yang dibayangkan, di balik rasa lelah yang harus ditanggung, ternyata beragam pengalaman tersebut juga memberikan cerita luar biasa. Aku jadi mengenal banyak orang dengan beragam kepribadian, bahkan juga tak sedikit membawaku mengenal orang-orang yang sangat menginspirasi.
Ikhlas yang Berkelas
Menjadi bagian dari sandwich generation artinya kita akan sering dihadapkan pada keadaan untuk mengalah pada situasi. Ada kalanya hasil jerih payah tak bisa dinikmati karena harus mendahulukan kepentingan keluarga. Pun sesekali harus rela menunda keinginan dan harapan karena satu dua hal mendadak terjadi. Ikhlas sudah pasti harus dikantongi, namun bukan berarti menyerah dengan keadaan namun ikhlas yang berkelas, mempersiapkan diri lebih baik untuk menjemput mimpi.
Aku pernah menunda studi selama satu tahun demi kepentingan keluarga yang kala itu sangat membutuhkan finansial tambahan karena satu hal. Aku rela, karena keluarga memang harus saling mendukung sampai ujung. Tapi bukan berarti aku menyerah untuk meraih mimpi menggapai gelar master. Selama setahun aku justru banyak mengisi hari dengan belajar dan mengikuti berbagai kompetisi yang mendukung keilmuanku nanti.
Sandwich Generation Tetap Berhak Mempunyai Pilihan
Satu yang kemudian menjadi kekhawatiranku saat ini adalah bagaimana lingkungan mendikte seorang sandwich generation, di mana seolah-olah mereka tidak berhak memilih apalagi bagi mereka yang perempuan. Tak punya kesempatan untuk meraih karier cemerlang, tidak akan bisa menikah tepat waktu, tidak boleh egois dengan memaksakan diri melanjutkan studi, dan segudang jeratan lainnya.
No way. Sebagai perempuan sekaligus bagian dari sandwich generation aku masih bisa memilih jalan hidup, begitu juga dengan teman-teman. Mungkin jalannya akan sedikit terjal, tapi hidup tetap kita yang tentukan. Mau jadi jurnalis, mau jadi dokter, mau jadi apa pun. Kita bebas memilih apa yang dicita-citakan.
Terakhir, aku yakin masih banyak di luar sana yang memikul tanggung jawab lebih berat dari kisahku ini. Banyak sekali sosok sandwich generation tangguh yang tidak hanya berhasil meraih mimpinya, namun juga mewujudkan asa adik-adiknya dan keluarga. Aku cuma mau bilang, aku salut dan bangga buat kalian yang sampai detik tidak pernah berhenti.
Dan aku juga yakin Tuhan menempatkan Kita pada posisi saat ini pasti disertai alasan. Kita orang-orang istimewa yang terpilih.
Aku, kamu, dan kita ditakdirkan untuk hebat. Percayalah.
#ChangeMaker