Fimela.com, Jakarta Media sosial sejak Sabtu (7/11/20) tengah malam dipenuhi dengan ucapan selamat kepada Biden-Harris yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Amerika Serikat (AS). Feed Instagram juga dimeriahkan dengan tulisan "Madam Vice President" untuk menyambut dan memerikan selamat kepada Kamala Harris yang baru saja mengukir sejarah sebagai perempuan berkulit hitam dan keturunan Asia Selatan pertama yang terpilih menjadi wapres AS.
Terpilihnya Harris ini menjadi simbol kehancuran stigma yang selama ini mengakar di Negeri Paman Sam, bahawa hanya pria, yang sebagian besar didominiasi kulit putih, dapat menduduki posisi tertinggi di dunia politik AS selama lebih dari dua abad.
Ayah Harris berasal dari Jamaika, sementara sang ibu berasal dari India. Posisi Harris untuk bersanding dengan Joe Biden merupakan sebuah simbol perwakilan multi kulturalisme yang menggambarkan AS. Namun, selama ini, multi kulturalisme ini belum pernah terwakili di pusat-pusat kekausaan di Washington.
Sebagai perempuan berkulit hitam, Kamala Harris merasa lebih mudah untuk berbicara secara personal tentang kebrutalan polisi dan rasisme sistemik yang masih terjadi di AS hingga sekarang. Terpilihnya Harris menjadi wapres juga seakan menjadi sebuah pembalasan usai Hillary Clinton kalah pada pilpres 4 tahun lalu.
Perjuangan untuk Tegakkan Keadilan Rasial
Sejak dia masih kecil, Harris diajari bahwa jalan menuju keadilan rasial sangat panjang. Sebagai perempuan yang terlahir dari darah campuran, Harris merasa dirinya harus berbicara lantang mengenai ketidakadilan, khususnya yang terjadi pada kedua orangtuanya, imigran, dan pejuang hak-hak sipil di AS.
Ketika dia naik ke panggung di Texas, the New York Times menulis, Harris berbicara tentang perannya. Dia mengatakan kalau kadang rakyat AS merasa berjalan sendirian di sebuah ruangan.
"Ya, saudariku, kadang kita mungkin merasa satu-satunya orang yang berjalan di ruangan itu," katanya kepada sebagian besar hadirin yang berkulit gelap di Fort Worth. "Namun, satu hal yang kita semua tahu, kita tidak pernah berjalan sendirian, kita semua berada di ruangan tersebut bersama-sama."
Harris sebenarnya sudah bersinar sejak awal. Mulai dari menjadi bintang baru di politik Demokrat selama dua dekade belakangan, hingga menjabat sebagai jaksa wilayah San Fransisco, serta jaksa agung California sebelum menjadi senator AS. Namun yang mengagumkan dari Harris adalah biografi personalnya.
New York Times menulis, Harris mendalami masalah keadilan rasian sejak dia masih di Oakland dan Bekeley, California. Dia menulis sebuah memoar tentang kenangan, teriakan, dan nyanyian "lautan kaki yang bergerak" sebagai sebuah protes. Dalam memoarnya, dia ingat pernah mendengar Shirley Chisholm, perempuan kulit hitam pertama yang melakukan kampanye nasional untuk presiden, berbicara di sebuah pusat kebudayaan kulit hitam di Berkeley tahun 1971. "Bicara soal kekuatan!" tulisnya.
Semangatnya untuk menegakkan keadilan rasial bukan muncul tiba-tiba saat menjadi senator. Harris sejak masih menimba ilmu di kampus sudah dikelilingi dengan berbagai masalah ketidakadilan rasial di sekitarnya. Dia berkuliah di Howard University, sebuah kampus bersejarah bagi kaum kulit hitam yang paling bergengsi sebelum mengejar kariernya sebagai jaksa untuk kasus KDRT dan eksploitasi anak.
Dalam kampanye-kampanye sebelumnya, Harris menyampaikan berbagai masalah, mulai dari sang ibu yang berprofesi sebagai peneliti kanker dan meninggal tahun 2009, suaminya yang berkulit putih dan memeluk agama Yahudi, dan anak tirinya, Momala. Kisah-kisah ini banyak menarik perhatian di Oakland hingga mencapai 20.000 orang yang berkerumun, dan menjadi permulaan kesuksesannya sebagai wapres AS terpilih.
#ChangeMaker