Kisahku sebagai Penyintas Skizofrenia yang Berjuang Dapatkan Karier Terbaik

Endah Wijayanti diperbarui 06 Nov 2020, 09:46 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.

***

Oleh:  Pramudita Kurnia

Sejak kecil, aku telah merasakan tanda-tanda itu. Suara yang mengiang menemaniku di setiap alur kehidupan. Menggantikan keberadaan teman dan membuatku jauh dari mereka. Aku punya dunia sendiri dan hanya akulah yang mengerti. Dan juga suara itu. Karena suara itu dan bayangan dunia itu, aku tak pernah menyatu dengan kenyataan. Hal ini menjadikan aku sasaran perundungan teman-temanku karena dianggap aneh dan berbeda.

Aku hanya punya sedikit teman yang baik. Aku juga punya teman yang bisa membuatku kaya? Apa itu? Buku. Dari bukulah, kutemukan hal-hal yang membuatku seakan menjelajahi ruang dan waktu. Makanya aku suka belajar. Dari anak yang bodoh dan diremehkan berkembang menjadi pembelajar yang baik. Namun ada satu yang tak bisa aku taklukan. Matematika. Ya, aku selalu menyerah dan menghindari karena seperti tak ada ujung dan solusi. Inilah yang membuatku dapat rundungan kedua dari guru. 

Karena semakin dirundung, semakin parah penyakitku. Prasangka, halusinasi dan kekerasan aku lakukan. Orang tuaku pun membawaku ke ahli jiwa. Baru aku ketahui apa jawabannya, Skizofrenia. Aku senang dan bahagia punya orang tua seperti mereka. Aku bukan anak yang baik, tapi mereka selalu memberikan apa yang aku mau dan butuhkan. Hingga penyakitku seakan tertidur, ketika aku menemukan teman di jenjang perkuliahan.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Pertarungan Dimulai

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Ya, aku memilih pendidikan Bahasa Jepang sebagai jurusan kuliahku. Bukan karena suka kartun. Aku suka sejarah negara Jepang tentunya. Sebagai pembelajar dan peneliti yang baik, aku lulus dengan cepat. Namun semulus itukah perjalanan? Tak pernah disangka. Tidak.

Saat aku lulus, begitu susahnya dapat pekerjaan. Melamar perusahaan sana sini, berkelana dari pusat ibukota hingga pelosok tak ada yang berhasil. Ketika 6 bulan lamanya, aku berhasil mendapat pekerjaan yang sepertinya aku ragukan. Malapetaka dimulai. Tak pernah fokus, selalu salah dalam mengerjakan apa pun dan semuanya terlihat kacau. Bentakan, omelan dan cercaan sudah jadi makanan sehari-hari. Mungkin sudah jengah dengan kinerjaku, mereka membuangku tanpa iba. Begitulah kiranya.

Karena latar belakangku pendidikan, aku mulai mengais pekerjaan sebagai guru bahasa Jepang. Seketika dapat pekerjaan dan bekerja. Ternyata hal yang kupelajari mudah di kelas, tak bisa kuhantarkan pada muridku. Sebagai tenaga kerja lepas, dia dengan mudah membuangku lepas. Pahit memang tapi begitulah kehidupan.

Ketika dua pekerjaan itu gagal, saatnya memulai jalan yang baru. Karena aku suka sejarah dan bahasa asing, aku mengikuti pelatihan pemandu wisata. Riang dan berhasil di kala pelatihan membawaku ke jejaring pekerjaan yang luar biasa menyenangkan. Ya, bekerja sebagai pemandu museum. Dalam masa percobaan dapat dilalui dengan sempurna. Namun tentu banyak yang tak suka. Perlakuan sinis langsung dan tikaman diam-diam pun aku terima. Aku merasa cukup dan berhenti sejenak.

Aku putus asa dari semua karier tak ada yang berhasil. Penyakit itu datang dan sebagai manusia tak berguna mencoba menggores tanganku dengan pecahan kaca. Untungnya papa melihat dan dia menguatkanku. Aku terpuruk. Tak seindah awal dan bayangan manis sebagai pemandu. Lalu menunggu sebagai tuna karya. Apa yang harus aku lakukan?

3 dari 3 halaman

Badai Pasti Berlalu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Dalam keadaan krisis itu, sahabatku datang dengan berita. Ia menawarkanku sebagai guru bahasa Indonesia untuk pekerja asing. Awalnya acuh, sudah gagal rasanya jadi guru bahasa Jepang. Dengan sangsi aku mencoba. Hasilnya ternyata aku berhasil diterima. Pertemuan demi pertemuan dan murid yang kian bertambah, menetapkan langkahku. Ya, akhirnya aku berhasil mendapat karier bagus dan baru kali ini bahagia bekerja.

Aku tidak hanya bangga mengajarkan dan memperkenalkan bahasa Indonesia tapi senang tentunya berbincang dengan mereka. Aku bisa tahu soal Perdana Menteri Shinzo Abe dan Yoshihide Suga dari murid Jepang-ku, konflik tembok Mexico dan Amerika dari murid Mexico-ku, perbedaan wilayah bilingual Bahasa Prancis dan Bahasa Inggris di Kanada dari murid Kanada-ku, budaya Basque dari murid Spanyol-ku dan biji cokelat Kongo untuk cokelat Belgia dari murid Belgia-ku.

Akhirnya sampai pada pandemi ini, aku sempat terpuruk tapi tidak menyerah. Mimpiku adalah menjadi guru bahasa Indonesia untuk orang asing yang lebih baik dan juga sebagai pemandu berbagai museum. Aku mulai belajar segala macam dalam waktu yang berharga ini. Kemampuan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan logika Matematika. Ya, Matematika, melawan ketakutan terbesarku.

Rencanaku adalah menjadi guru bahasa Indonesia untuk penutur asing yang resmi dan diselingi memandu di museum, melanjutkan S2 dan mencari beasiswa di luar negeri serta menjadi peneliti kebudayaan luar negeri dan memperkenalkan bahasa dan budaya negeri sendiri di luar negeri. Aku rasanya ingin menjejaki setiap negara murid-muridku. Karena begitu penasaran akan tanah air mereka seperti yang mereka ceritakan. Tak lupa memperkenalkan bahasa dan budaya negeriku.

Menjadi Lady Boss versi diriku adalah dapat mengatasi setiap grit atau ketabahan dalam kehidupan, dapat mengatur diri sendiri dari segi emosi, kemampuan dan juga senantiasa belajar tanpa henti. Skizofrenia bukanlah penghalang untuk menggapai mimpi tapi sebuah tantangan.

 

#ChangeMaker