Fimela.com, Jakarta Berkembangnya industri fashion berdampak serius terhadaplingkungan dan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri migas. DataSustain Your Style 2020 menyebutkan emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri modeempat kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu.
Jumlah limbah yang dihasilkan sangat besar, mencemari air, dan juga jutaan pohon ditebang tiap tahunnya. Untuk mendiskusi upaya fashion berkelanjutan, maka webinarFashion Berkelanjutan di Masa Pandemi (31/10) diselenggarakan, dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim UniEropa – yang difasilitasi oleh EMPU, jaringan seluruh pelaku rantai nilai fashion berkelanjutan. Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas dalam paparannya menyebutkan kini menghadapi tantangan lingkungan, sementara industri ini terkait erat dengan ekonomi dan pendapatan masyarakat.
“Bila tak ditangani dengan bijak akan menimbulkan kerentanan ekonomi khususnya bagi kaum wanita yang menjadi tenaga kerja terbesar. Dibutuhkan kreativitas dan keberaniandari pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan agar dampak terhadap lingkungan bisa dikurangi," ungkapnya.Terkait dengan fashion di masa COVID-19 ini, Tenik Hartono, Pemerhati Fashion dan Penulisbudaya menyebutkan, pandemi ini bisa menjadi momentum untuk memulai fashion berkelanjutan.”Saat ini pemenuhan kebutuhan pakaian untuk masyarakat menjadi back to basic lebih ke fungsional daripada membeli sebuah koleksi, sehingga sustainable fashion menjadivalid," katanya.
Serat kain berbahan alami
Ada banyak bahan ramah lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk pakaian, salah satunya serat kepompong ulat sutera dari tanaman singkong (Samia Cynthia Ricini), seperti diungkap Valentina Estiningsih pemerhati fashion dan Redaktur Suara Merdeka Semarang“Budidaya ulat sutera ini telah diterapkan di Semarang. Selain berkelanjutan,pengembangbiakannya juga mudah, dan pada akhirnya bisa menjadi penghasilan tambahan untuk masyarakat pedesaan. Hal ini sangat membantu pengusaha kecil, mikro, menengah ataupun pengusaha-pengusaha industri rumahan," katanya. Upaya memanfaatkan limbah atau material sisa yang diolah menjadi produk fashion telah berhasil dilakukan oleh para penenun di Pringga Selatan, Lombok Timur dan Sukarrara, Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka memanfatkan benang sisa-sisa tenunan yang disambungmenjadi sehelai yang kemudian dibuat menjadi Rerempek (campur-campur).
Zicko Haiziah Gazali dari Nine Penenun/Gema Alam yang melakukan pendampingan terhadap para penenun menyebutkan, “Awalnya Rerempeq ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomis,namun setelah membuka pasar lebih luas melalui jejaring salah satunya EMPU dan menyertakanstory telling, Rerempeq kini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Keunikannya terletak pada limbah benang karena itu warna yang dihasilkan tidak akan sama satu sama lain," katanya.Chandra kirana Priyosusilo dari Sekar Kawung mengungkapkan belajar dari pengalaman masalalu Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk fesyen berkelanjutan diantaranya yakni memanfaatkan landscape yang ada menghasilkan pangan dan sandang. Salah satu upayauntuk itu yakni kembali memanfaatkan serat alam diantaranya serat dari pohon Randu Alas,Widuri dan juga Gewang. Tak hanya serat alam, Indonesia juga memiliki serat dari fauna yang berhabitat asli di hutan hujan tropis.
Mendukung fashion yang berkelanjutan menurutnya yakni dengan pola pikir slow fashion atau fashion yang bermartabat dan berdaya hidup, kearifan lokal seperti masyarakat Sumba Timur bisa menjadi inspirasi, pakaian yang dibuat sendiri dan mereka kenakan sendiri."Bagaimana produksi pangan dan sandang itu bisa dihasilkan dari landscape yang sama secara berkelanjutan seperti yang dilakukan oleh budaya-budaya lokal Indonesia di zaman dulu. Satulahan bisa menghasilkan fashion, pangan, papan bahkan obat-obatan," katanya. Diperlukan harmonisasi dari berbagai pihak yakni pemerintah maupun stake holder terkait untuk bisa mewujudkannya.
#ChangeMaker