Membuka Usaha Bimbingan Belajar di Rumah, Setiap Momennya Selalu Aku Syukuri

Endah Wijayanti diperbarui 01 Nov 2020, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.

***

Oleh: Novita Prima

Sekira empat tahun yang lalu, aku memutuskan untuk berhenti memberikan les privat pada hari kerja karena mempertimbangkan beberapa hal. Hal pertama adalah karena anak bungsuku yang seringkali melontarkan protes keras kepadaku karena kesibukan pekerjaan. Si bungsu saat itu baru berusia lima tahun dan si sulung sebelas tahun. Hal berikutnya adalah ketika itu si sulung sedang berada pada tahun terakhir di sekolah dasar.

Bukan hal mudah untukku, saat harus memutuskan berhenti memberikan les privat. Mengajar les privat adalah satu-satunya usaha sampinganku, aku mengupayakan tambahan peghasilan dari situ. Pagi hingga sore hari aku mengajar pada sebuah sekolah swasta di kotaku dan sorenya sepulang mengajar aku melanjutkan mengajar les privat dari rumah ke rumah, biasanya menjelang waktu isya aku tiba di rumah. Memang tidak setiap hari aku memberikan les privat di luar, setidaknya tiga kali dalam sepekan aku mengajar les privat.

Meskipun semua hal yang kulakukan kutujukan untuk anakku, tapi toh sebagai anak keinginan mereka sederhana saja, ingin mempunyai lebih banyak waktu dengan ibunya. Adalah suatu kewajaran bila ada kecemburuan terhadap pekerjaan yang kulakukan, namun demikian aku pun telah memberikan pengertian yang kiranya dapat dimengerti oleh anak seumuran mereka.

Setelah cukup berpikir dan menimbang baik buruknya, akhirnya kuputuskan untuk tidak menerima les privat lagi di hari kerja. Bila ada tawaran untuk mengajar les privat, aku akan menerima di akhir pekan (sekali dalam sepekan). Waktunya tidak lebih dari 3 jam saja, dan itu dapat dimulai dari siang hingga sore hari. Jadi ketika pagi, aku tetap dapat melaksanakan tugas domestik di rumah dan sebelum petang tiba aku telah kembali pulang dan masih tersedia banyak waktu untuk keluarga di rumah. Hal itu berlaku pada hari Sabtu. Pada hari Minggu sama sekali tak kuterima pekerjaan apa pun.

2 dari 4 halaman

Mengatur Prioritas

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Setelah hari keputusan itu, hampir dua belas bulan lamanya, tak ada satu pun tawaran les privat pada akhir pekan. Dan aku sama sekali tak menyesalinya, aku telah memperhitungkan segalanya. Lagipula keputusanku berhenti sebelumnya adalah karena menimbang masukkan dan kondisi anakku saat itu.

Begitu tidak lagi mengajar les privat, sepulang mengajar di sekolah, kusediakan waktu untuk mempersiapkan dan mendampingi pembelajaran si sulung dalam menghadapi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), seperti yang kusampaikan tadi, si sulung sedang berada pada tahun terakhirnya di SD. Anak sulungku yang sebelumnya kudaftarkan di lembaga bimbingan belajar, akhirnya keluar dari sana. Lebih baik kami mempersiapkan USBN berdua saja. Kami telah membicarakannya dan bersepakat untuk melewati segala persiapan ujian ini bersama tanpa bimbingan belajar dari luar.

Di tahun yang sama si bungsu berada pada tahun terakhir di Taman Kanak-Kanak, si bungsu juga sedang mempersiapkan diri untuk masuk SD. Mungkin langit sudah menggariskan demikian, di saat anakku akan naik ke jenjang sekolah yang baru, dimantapkan pula hatiku untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk jalanan saat sore hingga malam, saat aku datang dari rumah ke rumah untuk mengajar les privat.

Lewat setahun aku bebas penuh dari tanggung jawab mengajar les privat dan kedua anakku pun sudah berganti status. Si sulung sudah SMP dan si bungsu menjadi murid SD. Sampai kemudian ada tawaran mengajar les privat lagi. Aku tetap pada komitmenku sebelumnya, tidak menerima les di hari kerja karena aku harus langsung pulang ke rumah selepas mengajar di sekolah. Alhamdulillah, jadwal yang kuajukan dapat diterima oleh calon murid. Jika sudah rezeki, memang tidak akan lari kemana.

Anggapan bahwa untuk memulai sebuah usaha membutuhkan modal materi yang cukup besar dan untuk menjadi bos atau pimpinan atas usaha itu haruslah punya banyak karyawan dulu, menurutku tidak sepenuhnya benar. Apa yang terjadi padaku tidak seperti itu, setelah beberapa tahun lamanya menjadi guru les privat hingga memutuskan untuk berhenti dan ketika memulai lagi berkomitmen untuk membatasi waktu pelaksanaannya juga mengajukan beberapa persyaratan tertentu kepada calon murid (orangtua calon murid) sesuai standarku dan kemudian jika mereka setuju, hal tersebut akhirnya menjadi kesepakatan kami. Aku pikir setelah semua itu, aku telah menjadi bos untuk diri dan usahaku sendiri.

Dari sini banyak hal telah kupelajari, khususnya tentang negoisasi dan personal branding. Pekerjaan sampinganku atau katakanlah ini usaha sampingan, membutuhkan materi kecil sebagai modalnya, karena ini adalah usaha jasa. Namun demikian, bukan berarti usaha ini minim risiko, justru ada tanggung jawab yang besar di dalamnya, ada satu pencapaian tertentu yang harus terpenuhi. Tidak hanya itu saja, etika berkomunikasi pun harus kukuasai agar tak terjadi salah paham di kemudian hari. Yang tak kalah pentingnya adalah memahami karakter masing-masing orang (murid dan orangtua). Jika salah satu hal tersebut tidak terpenuhi, maka nilai jual atau personal branding di mata murid dan orangtua turun sudah.

Menjalankan les privat bukan hal yang mudah namun tidak susah juga, ada seni tersendiri yang harus dikuasai, bagian kecilnya seperti yang kusampaikan tadi. Setiap usaha pasti ada risikonya, jadi meski minim modal materi, tetap saja butuh keseriusan, tanggung jawab, dan komitmen dalam menjalankan les privat ini. Dan sebagai seorang lady boss, sedikit pun aku tak pernah takut konsisten menjalankan semua itu.

Beberapa tahun berlalu sampai aku menyelesaikan tanggung jawab mengajar les privat di setiap akhir pekan dari pintu ke pintu dan berpindah dari rumah satu ke rumah yang lain. Hingga pada pertengahan tahun 2019, setelah melewati sebuah kontemplasi, aku mencoba peruntungan dengan membuka kelas les sore dan malam di rumah. Bagaimanapun juga aku tetap membutuhkan penghasilan tambahan karena kebutuhan semakin meningkat.

Saat itu si sulung sudah kelas 3 SMP dan si bungsu kelas 3 SD. Aku memutuskan untuk membuka kelas di rumah karena dengan begitu aku tetap dapat membersamai anakku sekaligus dapat menambah penghasilan dari rumah. Mengajar di rumah memang hasilnya tak seberapa jika dibandingkan dengan mengajar privat door to door, namun di sini keuntungannya adalah aku punya lebih banyak waktu di rumah dan tetap dapat bersama anakku.

3 dari 4 halaman

Membuka Usaha Les di Rumah

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Aku mempersiapkan beberapa hal terkait rencanaku membuka kelas di rumah, terutama perangkat untuk promosi dan administratif. Lembar kehadiran siswa, jadwal kelas, dan brosur sederhana telah kudesain dan kucetak seperlunya. Semua tahap ini kulakukan sendiri, agar bisa menekan pengeluaran.

Aku juga telah menyiapkan beberapa sistemasi pembayaran les, dari metode harian, mingguan, hingga bulanan telah kupersiapkan alur pembayarannya. Semua itu harus kuperhitungkan dengan benar dan cermat, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, namun hal ini kulakukan agar orangtua murid tidak terbebani soal biaya les, jadi mereka dapat memilih sesuai kemampuannya.

Hal terkait pembayaran ini penting untuk dibicarakan di muka agar tidak menjadi kesalahpahaman atau malah menjadi masalah di kemudian hari. Mengenai bahan ajar dan materi pembelajaran tidak menjadi soal. Aku masih aktif mengajar di sekolah, jadi aku masih bisa update tentang bahan ajar. Di rumah pun aku punya cukup koleksi buku sebagai referensi mengajar. Yang menjadi tantangan dan soal besar di sini adalah bagaimana mendapatkan murid untuk kelas yang akan kubuka di rumah.

Rasa pesimis itu pernah ada ketika telah berminggu-minggu hingga berganti bulan brosur tersebar dan promosi dari mulut ke mulut telah dilakoni tapi tak kunjung jua membuahkan hasil. Jika sudah begini, obatnya ya hanya tetap bersyukur saja atas keadaan yang ada dan menjalani semua sesuai dengan porsinya dengan tetap bergembira dan lapang dada.

Untuk promosi, aku dibantu oleh ibuku dan si bungsu. Si bungsu kuminta untuk membawa brosur saat pergi ke sekolah dan mengaji. Aku minta tolong kepadanya agar nanti brosur dibagikan pada teman-temannya. Kalau ibuku, tanpa kuminta tolong beliau sudah sigap mempromosikan aku pada ibu-ibu lainnya yang berada di lingkungan sekitar rumah. Meski promosi telah gencar dilakukan, tapi tidak begitu saja aku mendapatkan murid untuk kelas di rumah.

Aku lupa tepatnya bulan apa di tahun 2019, ketika aku mendapatkan murid les yang pertama untuk kelas di rumah, mungkin dua atau tiga bulan selepas masa promosi pertama. Murid pertamaku ini teman sekolah si bungsu, jadi saat kelas di rumah, otomatis ada dua murid di sana, si bungsu dan temannya. Inilah salah satu keuntungan non material yang kudapatkan dengan bekerja dan menjadi bos di rumah, kewajibanku mendampingi belajar anakku terpenuhi sekaligus aku dapat penghasilan juga dengan memberikan kelas tambahan di rumah. Ini salah satu bentuk anugerah yang kuterima dariNya, bukankah anugerah itu tidak selalu materi bentuknya?

4 dari 4 halaman

Selama Pandemi

Ilustrasi/copyrightshutterstock/bunyiam

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, hingga kemudian murid yang kedua bergabung pada kelas tambahan di rumah. Alhamdulillah, muridnya nambah juga. Di saat murid pertama baru bergabung di rumah, tak berapa lama aku menawarkan membuka kelas gratis untuk murid SMP di rumah. Kelas ini untuk siapa saja yang berminat, khususnya bagi murid yang kesulitan dalam biaya pendidikan.

Kelas untuk murid SMP ini kukhususkan untuk persiapan menghadapi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2020. Kebetulan si sulung juga akan menghadapi UNBK. Kuutarakan niatku ini pada kepala sekolah si sulung, dan beliau menyetujuinya. Gayung bersambut. Jadwal telah kutentukan, dua hingga tiga kali dalam sepekan aku membuka kelas gratis persiapan UNBK 2020 di rumah.

Jumlah murid yang hadir pada kelas gratis ini tak tentu jumlahnya. Paling sedikit dua dan paling banyak tujuh setiap sesi. Kalau diambil rata-rata ya antara empat hingga lima murid yang konsisten hadir. Tak mengapa meski jumlah tak selalu sama, aku senang melihat rumah semarak dengan kegiatan pembelajaran dan lagi-lagi aku beruntung dapat sekalian mendampingi si sulung mempersiapkan UNBK, meski terkadang dia yang sering ogah-ogahan ikut kelas di rumah dan kabur meninggalkan temannya karena teman yang datang didominasi perempuan dan dia laki-laki sendirian. Ah anak remaja, ada-ada saja perangainya.

Sambil menjalankan kelas gratis tetap pula kujalankan kelas di rumah untuk dua orang muridku lainnya, hingga tahun 2019 berganti ke 2020 semua tak lagi sama. Tepatnya 16 Maret 2020, saat kebijakan Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) dimulai akibat adanya pandemi Covid-19, sosialisasi jaga jarak dan pembatasan aktivitas di luar rumah masif didengungkan dan pada pelaksanaannya otomatis membuat perubahan dalam keseharian, tak terkecuali perihal kelas tambahan yang kulaksanakan di rumah.

Tak ada lagi murid datang ke rumah, bahkan yang kelas gratis pun tidak, bukan karena aku tak mau mengajar, tapi ini semua karena imbas dari kebijakan yang ada. Karena kebijakan SFH atu kini disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) orangtua pun tidak mengijinkan anak-anak untuk keluar rumah. Selain adanya PJJ, pemerintah juga memutuskan meniadakan UNBK di tahun 2020, padahal kami telah bersiap menghadapinya, ya tapi apa hendak dikata, langit telah menggariskan yang lain dan pemerintah juga telah menentukan kebijakannya.

Kadangkala aku berpikir, jika pada saat itu aku bekerja pada oranglain, tidak menjadi pemimpin atas usahaku membuka kelas di rumah, mana bisa dengan seenaknya aku membuka kelas gratis dengan jumlah murid yang lebih banyak dari kelas berbayar. Jelas si empunya usaha akan serius menghitung untung ruginya.

Aku bersyukur diberikan kesempatan yang demikian, meski tidak mempunyai usaha yang wah dengan keuntungan melimpah dan disertai jumlah karyawan yang bukan main banyaknya, setidaknya aku masih mampu untuk membagi ilmu dengan yang membutuhkan dan itu belum tentu akan kudapatkan jika aku tidak berkecimpung di bidang usaha ini. Dan satu hal lagi yang tak kalah pentingnya, aku tidak kehilangan waktuku bersama mereka yang kucinta di rumah. Tidak ada lagi kecemburuan dari anakku atas pekerjaan yang kulakukan.

Meski saat pandemi Covid-19 tidak ada lagi murid datang ke rumah, aku tidak berkecil hati, semua pasti ada gantinya, dan paling tidak aku telah belajar dari semua yang kujalani sebelumnya. Di awal tahun ajaran 2020-2021 atau tepatnya pertengahan tahun ini, aku memulai lagi kelas tambahan di rumah dengan sistem daring.

Satu hal penting yang kupelajari adalah dalam menjalankan usaha atau pekerjaan apa pun jangan pernah menyerah dan merasa kalah, selalu ada jalan untuk yang berusaha. Tetap bersyukur dan berbagi atas segala yang kita punya. Because I am a lady boss, I never lose, I either win or learn.

#ChangeMaker