Perempuan Menulis: Dulu Dibayar Ucapan Terima Kasih, Kini Dibayar dengan Mata Uang Asing

Endah Wijayanti diperbarui 23 Okt 2020, 08:53 WIB

Fimela.com, Jakarta  Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini. 

***

Oleh: Ranti Uli

Saya tidak pernah menyangka menulis bisa jadi pekerjaan yang sangat menjanjikan. Ketika saya kecil, penulis bukanlah profesi yang bisa dibanggakan. Bahkan, sudah jadi anggapan umum bahwa penulis tidak dibayar dengan layak. Lagipula, dulu saya jarang mendengar perempuan menjadi penulis. J.K. Rowling saja harus menggunakan inisial di bukunya karena saat itu dunia tidak membuka diri terhadap penulis perempuan. Namun, itu tidak menghentikan saya menulis.

Ketika masih sekolah, saya belum menemukan ketertarikan pada dunia kepenulisan. Akan tetapi, saya suka membaca. Saya sangat suka membaca dan selalu menganggap buku adalah kado paling berharga yang seseorang bisa dapatkan.

Saya bersyukur karena orangtua dan saudara kerap menghadiahkan buku untuk saya. Pun, setiap saya memiliki uang saat sekolah, buku selalu jadi benda pertama yang saya beli dengan uang sendiri.

Lalu, saya berkuliah di jurusan yang mengharuskan saya menulis dan menulis. Tiap minggu, saya harus menulis ulasan buku dan laporan kejadian, serta menuliskan opini agar layak terbit di surat kabar. Di tahun terakhir kuliah, mahasiswa diwajibkan magang di media cetak dan elektronik. Selama tiga bulan, saya menjadi wartawan magang di sebuah surat kabar yang membayar saya hanya dengan ucapan terima kasih.

 

2 dari 2 halaman

Tekun dan Konsisten Menulis

Menulis./Copyright Ranti Uli

Saya sempat miris dan merasa menulis tidak layak dijadikan mata pencaharian. Uang memang bukan segala-galanya, tapi saya dulu berpikir untuk apa saya mengerjakan sesuatu tanpa imbalan yang pantas. Menulis bukan sekadar merangkai kata. Menulis adalah proses panjang seseorang hingga punya pengetahuan memilih kata-kata yang tepat untuk ditorehkan dan membuat tulisan itu menambah pengetahuan pembacanya.

Namun lagi-lagi, pemikiran itu tidak menghentikan saya. Yang saya tahu, saya suka menulis dan merasa diri saya bermanfaat lewat tulisan-tulisan saya. Lantas, saya memilih memulai karier di sebuah media cetak di ibu kota karena menulis jadi salah satu tugas utama pekerjaan ini. Setelah enam tahun jadi wartawan, saya berhenti bekerja dan pindah ke luar Jakarta. Saya sempat berhenti menulis, tapi tawaran datang lagi dan saya ambil kesempatan untuk kembali menulis sebagai penulis konten.

Saat itu menurut saya bayarannya juga tidak tinggi. Tapi saya tetap ambil pekerjaan itu karena saya seperti memulai karier yang baru. Kemudian, setelah beberapa tahun menekuni dunia penulis konten, tawaran besar pun akhirnya datang. Bukan main-main, saya diminta menulis untuk sebuah media online yang pusatnya di Jepang dan dibayar puluhan ribu yen untuk satu tulisan.

Akhirnya, saya melihat hasil ketekunan dan konsistensi selama ini. Sekarang, perempuan sudah cukup diterima di dunia kepenulisan. Saya melihat semakin banyak perempuan yang tertarik menulis dan menjadi penulis. Kepada perempuan-perempuan muda, saya tidak akan ragu-ragu menyarankan untuk menekuni keahilian menulis. Ketika ditekuni, menulis ternyata bisa jadi mata pencaharian yang menjanjikan.

#ChangeMaker