Fimela.com, Jakarta Kita bisa bersinar melalui setiap pilihan hidup yang kita buat dalam hidup. Baik dalam hal pendidikan, karier atau pekerjaan, dan pilihan soal impian serta cita-cita. Setiap perempuan bisa menjadi sosok tangguh melalui setiap pilihan hidup yang diambil. Seperti dalam tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Oktober 2020: Menjadi Lady Boss Versimu ini.
***
Oleh: Risma Mualifatun Ni'mah
Orang lain memang hanya akan bisa melihat kehidupan kita dari luar. Mereka tidak akan mungkin banyak tahu tentang kita, seluk beluknya hingga hal-hal tersembunyi. Maka wajar jika orang lain hanya bisa berkomentar, memberi tanggapan dan sesekali mengkritik tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kita rasakan.
Seperti itulah yang aku rasakan dan mungkin dialami oleh banyak orang. Aku seorang sarjana, perempuan dengan gelar pendidikan strata 1 dari sebuah perguruan tinggi negeri. Untuk gelar sarjana pendidikan yang aku sandang saat ini, orangtuaku harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama 4 tahun. Jangan tanya bagaimana perjuangan mereka. Tentu tidak dilakukan hanya dengan bersantai.
Aku tahu harapan orangtuaku tinggi terhadapku. Mereka ingin aku, anak pertama mereka, menjadi perempuan yang berpendidikan. Harapan mereka adalah agar aku bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Mereka tidak pernah secara terus terang mengatakan aku harus jadi apa atau aku harus berkarir di bidang apa. Tapi tanpa mereka mengatakan, aku sadar bahwa padakulah harapan mereka bertumpu.
Ternyata kenyataan hidup tidak selalu seperti apa yang semula diimpikan. Sebulan setelah lulus kuliah, aku menikah dengan seorang pria yang bisa dikatakan belum mapan. Kehidupan finansial kami setelah menikah tentu hanya sekadar pada kata cukup. Tidak ada lebih untuk bisa kami bagikan kepada orang lain, terutama orangtua kami. Beruntung sekali, kedua belah pihak keluarga kami sama sekali tidak pernah menunjukkan keberatan. Mereka menerima keadaan kami dan selalu berupaya mendukung apapun usaha kami.
Aku Dulunya Seorang Guru
Aku sempat menjadi guru sukarelawan di taman kanak-kanak. Aku dilihat orang lain sebagai sarjana yang bekerja sesuai ijazahnya. Aku berangkat mengajar di pagi hari dengan seragam guru yang rapi. Aku sering keluar rumah selain untuk urusan mengajar, kadang ada tugas tertentu yang berkaitan dengan sekolah seperti pertemuan rutin atau agenda lainnya. Intinya aku saat itu bukan pengangguran.
Di belakang pekerjaan yang aku sandang, ada beban berat yang sering membuatku tidak tenang. Setiap hari aku melihat ibuku mengesampingkan bisnisnya demi merawat anakku. Tak jarang ibu harus merasakan kelelahan dua kali lipat. Ibu tentu tidak bisa memilih antara pekerjaan dan cucu pertamanya. Tidak ada yang lebih penting dari keduanya. Keduanya adalah prioritas. Ibu menyayangi cucunya dan juga masih bertanggungjawab atas kedua adikku yang masih sekolah.
Jika saja saat itu gajiku sudah cukup besar, aku mungkin berani meminta ibuku untuk fokus saja merawat anakku. Tapi nyatanya untuk kehidupan keluarga kecilku saja, kami masih sering kekurangan. Mana bisa aku mengorbankan masa depan kedua adikku demi pekerjaan yang bukan menjadi tanggungjawab utamaku sebagai ibu dan istri? Karena itulah, aku memutuskan untuk berhenti mengajar.
Ada kelegaan ketika aku berhasil resign. Tapi lagi-lagi ada beban berat baru yang juga membuatku sering berpikir. Aku yang merupakan anak pertama orangtuaku saat itu jadi berstatus sebagai pengangguran. Aku hanya berpredikat sebagai ibu rumah tangga biasa. Sementara bapak dan ibuku melihat anak-anak tetangga berkarir dengan cemerlang. Ada yang pekerja kantoran bahkan ada juga yang menjadi kepala sekolah.
Orangtuaku tidak pernah menunjukkan keluhannya atas statusku sebagai pengangguran saat itu. Sesering apa pun mereka menerima omongan dari tetangga soal aku yang tidak bekerja, mereka selalu bisa menjawab dengan tenang. Mereka bilang, aku dibiayai hingga pendidikan tinggi bukan untuk membuatku menjadi wanita karier, melainkan agar aku lebih kaya pengalaman.
Omongan tetangga tidak hanya diterima orangtuaku. Orang lain juga kerap menyampaikannya langsung padaku. Mereka bilang sayang sekali empat tahun pendidikanku tidak menghasilkan apa-apa. Mereka bilang ijazahku tidak berguna. Mereka memberi saran padaku untuk bekerja ini dan itu, di sana dan di situ. Tapi aku masih pada pendirianku, aku masih ingin menjadi ibu rumah tangga. Memangnya apa yang salah jika sarjana sepertiku menjadi ibu rumah tangga?
Dan Aku Sekarang Seorang Freelancer
Aku pikir setelah aku berhenti mengajar, keluarga kecilku akan semakin kekurangan. Nyatanya memang Tuhan membuktikan janji-Nya yang telah menjamin rezeki bagi istri dan anak. Aku mencoba peluang berjualan online yang bisa aku lakukan tanpa meninggalkan anak. Aku memanfaatkan ponsel Android bekas yang aku beli dengan harga Rp600 ribu. Aku bersyukur sekali karena penghasilan dari jualan online bisa lebih besar dari gajiku saat masih mengajar.
Di 5 tahun pernikahanku dengan suami, Tuhan memberi kami kejutan satu lagi. Niat coba-coba suami saat mendaftarkan diri mengikuti tes CPNS akhirnya membuahkan hasil. Tidak ada uang ratusan juta yang kami korbankan untuk menyuap karena jelas kami tidak memilikinya. Dengan semua proses yang kami yakin dipermudah Tuhan, suamiku resmi menyandang profesi sebagai guru PNS dengan gaji dan tunjangan yang berkali-kali lipat dibanding penghasilan sebelumnya.
Tanpa meninggalkan kesibukanku dalam berjualan online, aku mencoba peluang sebagai penulis freelancer. Entahlah, sepertinya jalannya tersedia begitu saja. Tawaran untuk gabung di sebuah komunitas kepenulisan membuatku mendapatkan banyak job menulis artikel. Dari pekerjaan itu, aku mendapatkan penghasilan mingguan.
Aku Masih Tetap Ibu Rumah Tangga
Aku tidak berubah selama beberapa tahun belakangan ini. Aku masih sebagai ibu rumah tangga dengan satu orang anak. Bedanya aku tidak sepenuhnya menganggur. Ada banyak pekerjaan yang aku lakukan dan dari itu semua aku mendapatkan penghasilan. Tapi tentu saja orang lain masih menganggapku sebagai pengangguran. Sebab aku tidak pernah terlihat keluar rumah. Bahkan pakaianku hanya baju rumahan yang itu-itu saja.
Namun orangtuaku kini bisa lebih bangga mengatakan pada setiap orang yang mempertanyakan pekerjaanku, bahwa aku bekerja dan berpenghasilan dari rumah. Mereka bisa dengan bangga menyebut bahwa kehidupan keluarga kecilku sudah jauh lebih baik. Satu kebanggaanku bahwa sekarang aku sedang mencoba melunasi salah satu lubang utang kedua orangtuaku. Di sisi lain, aku juga sedang menyiapkan tabungan pendidikan bagi adik bungsuku yang sebentar lagi menempuh pendidikan tinggi.
Selalu ada tanggapan orang lain mengenai diriku yang masih saja betah jadi pengangguran. Bagiku itu bukan masalah serius yang akan mengganggu fokusku. Tak apa, mereka tidak akan tahu bagaimana sebenarnya yang aku lakukan. Bagi mereka aku hanya perempuan yang betah di rumah, tapi mereka tidak tahu bagaimana kesibukanku di dalamnya. Mereka tahu aku tidak memiliki gaji, tapi mereka tidak tahu caraku berpenghasilan.
Memangnya mengapa kalau aku hanya ibu rumah tangga? Bukankah semua orang punya peluang yang sama untuk berkarier dari mana pun, termasuk dari rumah seperti aku? Bukankah semua orang punya kesempatan serupa untuk menjadi lady boss tanpa harus selalu berada di kantor dengan busana kerja yang rapi? Ya, aku sekarang lady boss dengan caraku sendiri. Aku berhak penuh atas pekerjaanku tanpa harus diatur orang lain. Aku pun yang bertanggungjawab atas pengaturan keuangan keluarga agar bermanfaatnya semakin luas, tidak hanya bagi kami sekeluarga dan juga bagi orang-orang di sekitar kami.
Semua pencapaianku bersama suami saat ini tidak bisa diartikan bahwa kami telah mencapai kata sukses. Kami hanya sudah mampu lebih baik dari segi finansial. Karena bagi kami, sukses adalah proses, bukan tujuan akhir. Kami pun tidak pernah berhenti meminta kekuatan dari Tuhan, agar apa pun yang sedang menjadi beban kami saat ini, segera bisa kami tuntaskan. Juga agar keberadaan kami menjadi kebanggaan bagi orangtua kami.
Salam hangat,
Risma
#ChangeMaker