Benarkah Ada Kekurangan dalam UU Cipta Kerja yang Tidak Sejalan dengan Tujuan Hari Perempuan Sedunia?

Anisha Saktian Putri diperbarui 12 Okt 2020, 11:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Hari Perempuan Sedunia 2020 diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya. Menurut situs International Women's Day, peringatan ini berasal dari perjuangan mendukung hak politik dan hak kerja yang layak bagi perempuan.

Gerakan ini awalnya muncul di Amerika Serikat pada 1908, sebelum menyebar ke Eropa, termasuk Rusia. Salah satu tujuan Hari Perempuan Sedunia ialah hak kerja yang layak untuk perempuan, namun sayangnya UU Cipta Kerja di Indonesia justru berisiko mengalami kemunduran perlindungan pekerja perempuan.

Meski memahami kebutuhan menghadirkan lapangan pekerjaan yang lebih besar, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memiliki catatan kritis terhadap UU Cipta Kerja dalam pengaturan tentang ketenagakerjaan karena memiliki potensi memundurkan pelindungan hak pekerja dan kepastian hubungan kerja yang dapat merugikan perempuan pekerja secara tidak proporsional.

Hal ini ditengarai terkait dengan proses pembahasan yang terkesan terburu-buru dan tertutup untuk partisipasi substantif masyarakat, terutama kelompok terdampak. Sementara, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang telah lebih dulu diajukan dan akan lebih berdampak langsung pada perlindungan dan kesejahteraan perempuan pekerja justru tertunda-tunda pembahasannya.

Pelindungan pada perempuan pekerja juga merupakan komitmen negara pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diadopsi sebagai hukum nasional melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Pasal 11 CEDAW menyatakan bahwa dalam hal perempuan dan kerja, negara memiliki kewajiban termasuk untuk memastikan kesempatan kerja, pelatihan, jaminan sosial ketika pensiun maupun sakit atau cacat akibat pekerjaan, jaminan perlindungan keamanan dan kesehatan yang tidak terbatas pada fungsi reproduksi, serta dukungan untuk memastikan peran sebagai orangtua dapat dilakukan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan tanggung jawab kerja dan kehidupan publiknya.

Namun, pada naskah RUU Cipta Kerja yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu, Komnas Perempuan tidak menemukan terobosan di dalam aspek perlindungan bagi hak-hak perempuan pekerja berbasis pada refleksi atas pelaksanaan UU Ketenagakerjaan dan pengalaman perempuan pekerja selama ini.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Catatan Komnas Perempuan

ilustrasi kepribadian perempuan/Photo by Thanh Duc Phan on Unsplash

a) Tidak ada pengaturan terkait pekerja informal.

b) Aspek kesehatan reproduksi tetap hanya seputar cuti haid, hamil dan melahirkan tanpa dukungan sosial lebih lanjut pada peran perempuan sebagai orangtua dan anggota keluarga.

c) Tidak teridentifikasi penguatan implementasi kewajiban, termasuk sanksi atas pelanggaran perusahaan, pada pemenuhan hak pekerja.

d) Langkah afirmasi dalam pembinaan karir.

e) Tidak menyentuh upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang dikeluhkan oleh perempuan pekerja. Sejumlah terobosan hukum untuk pemajuan perlindungan ini ada dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun masih tertunda pembahasannya di DPR RI.

Sebaliknya, Komnas Perempuan mencermati adanya potensi mengurangi jaminan perlindungan yang sudah ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yang secara tidak proporsional akan merugikan perempuan pekerja.

Model hubungan kerja ini merisikokan perempuan pekerja kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasuk cuti dan tunjangan lainnya terkait fungsi reproduksinya. Peluang untuk perpanjangan jam kerja dan jam lembur dalam kesepakatan yang dibuat di kondisi relasi kuasa yang timpang antara pemberi kerja dan pekerja juga ditengarai dapat menyebabkan perempuan pekerja dihadapkan dengan ketegangan baru di tengah tuntutan peran di dalam keluarga.

Selama ini, penolakan pada lembur sering dianggap sebagai sikap melawan perintah kerja. Potensi kerugian perempuan pekerja juga hadir dari pengaturan tentang pesangon dan pensiun yang pada awalnya cukup rinci diatur dalam UU Ketenagakerjaan tetapi menjadi sumir dalam UU Cipta Kerja, karena diperintahkan untuk diatur lebih lanjut.

3 dari 3 halaman

4 Hal Penting dari Komnas Perempuan

ilustrasi perempuan bekerja/Photo by Mia Moessinger on Unsplash

Menimbang persoalan-persoalan tersebut di atas dan berdasarkan prinsip non regression (nir-kemunduran) dalam semangat penegakan hak asasi manusia, Komnas Perempuan:

1. Mengingatkan kepada DPR dan pemerintah pada potensi UU Cipta Kerja mengurangi daya pelaksanaan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak konstitusional, terutama untuk mengatasi kerentanan perempuan pekerja dari eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan.

2. Mendorong langkah proaktif DPR RI dan pemerintah untuk segera melakukan koreksi pada muatan UU Cipta Kerja dan pada proses perumusan kebijakan selanjutnya agar lebih dapat memastikan dan memajukan jaminan perlindungan hak-hak konstitusional, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan pekerja.

3. Mendorong DPR dan pemerintah untuk lebih peka terhadap kepentingan dan kesentosaan perempuan pekerja dengan segera membahas dan mengesahkan UU yang secara nyata terkait dengan hal tersebut, antara lain RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

4. Mengapresiasi sikap kritis dan konstruktif dari akademisi dan unsur-unsur masyarakat sipil dari berbagai sektor terhadap pengesahan UU Cipta Kerja dalam kerangka memajukan pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, terutama pada hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, rasa aman serta kepastian hukum.

#changemaker