Fimela.com, Jakarta Pandemi global Covid-19 memaksa untuk semua orang untuk mengkarantina diri untuk alasan keselamatan. Termasuk di wilayah terpadat Italia, Lombardy, dalam satu keluarga hanya boleh satu orang yang keluar rumah untuk tugas-tugas penting.
Yang paling merasakan dampaknya adalah mereka yang tinggal di apartemen kecil dan padat. Italia pertama kali mengeluarkan aturan karantina mulai 21 Februari 2020.
Direktur Program Gender, Hak dan Ketahanan di Harvard Humanitarian Initiative (HHI) Dr. Jocelyn Kelly pun mengajak peneliti gender Italia untuk mempelajari bagaimana karantina mengubah kehidupan perempuan di Italia. Salah satu hasil penelitiannya adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang meningkat di Italia sejak karantina diberlakukan.
Koordinator jaringan anti-kekerasan Donne in Rete Contro la Violenza Elena Biaggioni mencatat situasi tersebut membuat orang yang rentan menjadi semakin rentan. Golongan paling rentan di antaranya adalah mereka yang bekerja tanpa kontrak atau tanpa tunjangan jangka panjang terutama perempuan, baik sebagai pekerja rumah tangga atau pengasuh.
Selain menghadapi risiko lebih intens tertular virus karena kesulitan menjaga jarak, KDRT menjadi ancaman terbesar. Pemicunya diawali dengan beban finansial dari berhenti bekerja ditambah tekanan mental dan peningkatan penggunaan alkohol oleh pria.
What's On Fimela
powered by
Pelaporan KDRT Malah Menurun
Namun meski tingkat KDRT meningkat, pelaporan tentang kekerasan itu justru menurun. Biaggioni mencatat terjadi penurunan 60-80 persen pada panggilan telepon ke hotline kekerasan di bulan April dibanding dengan waktu yang sama tahun lalu.
Rupanya salah satu alasan yang terkuat dalam penelitian tersebut adalah perempuan memerlukan privasi untuk melaporkan KDRT dengan rasa aman. Sayangnya, masa karantina telah menghilangkan privasi mereka yang tidak memiliki ruang karena terkurung di apartemen kecil bersama seorang pelaku kekerasan.
Kondisi tersebut membuat perempuan menghadapi tingkat kontrol psikologis, rasa malu, dan manipulasi yang lebih tinggi. Sehingga membuat mereka cenderung tidak meminta bantuan.
Opsi Obrolan Aman
Namun pusat KDRT di wilayah tersebut tidak menyerah. Mereka mencari cara bagaimana tetap terhubung dengan para penyintas lewat opsi obrolan aman.
"Kami harus mengatur ulang, memikirkan ulang, dan menghadapi tantangan baru. Kami menawarkan opsi pelaporan tanpa harus menelepon lewat platform seperti WhatsApp dan Facebook Messenger," ujar Biaggioni.
Menurutnya, di saat pemberitaan Covid-19 mendominasi headline media nasional, penyedia layanan pelaporan untuk perempuan yang rentan jangan sampai terlupakan. Semakin parah pandemi, semakin membahayakan situasi perempuan yang rentan karena tidak sanggup menghadapi krisis.
"Ini adalah keadaan darurat dalam keadaan darurat lainnya. Kami tetap memantau dan masuk dalam agenda," tutup Biaggioni.
Simak video berikut ini
#ChangeMaker