Fimela.com, Jakarta Ada yang bilang uang bukan segalanya. Hanya saja uang tetaplah kita butuhkan dalam kehidupan. Mengatur keuangan, membuat rencana keuangan untuk jangka waktu tertentu, mewujudkan impian melalui perencanaan finansial yang baik, rencana investasi dan membeli rumah, hingga pengalaman terkait memberi utang atau berutang pasti pernah kita alami. Banyak aspek dalam kehidupan kita yang sangat erat kaitannya dengan uang. Nah, dalam Lomba Share Your Stories September 2020: Aku dan Uang ini Sahabat Fimela semua bisa berbagi tulisan terkait pengalaman, cerita pribadi, kisah, atau sudut pandang terkait uang. Seperti tulisan berikut ini.
***
Oleh: Resti Siti Nurlaila
Some says money can’t buy happiness, but for me, money is the only way for me to be happy. Kiranya itulah yang ada di benakku, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.
Aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas kala itu. Berasal dari keluarga berkecukupan namun tidak bisa dibilang kaya, aku selalu menganggap uang adalah segalanya. Dalam pikiranku sudah tertanam ide bahwa jika aku memiliki banyak uang, aku bisa melakukan apa pun. Pergi ke belahan dunia mana pun, makan enak semauku dan membeli seluruh keinginan hanya dengan sebuah kartu. Bahkan, pikirku, aku bisa beribadah jauh lebih banyak lag. Pergi haji dan umroh semauku, memberi sedekah sebanyak yang dibutuhkan atau membangun masjid atau pesantren di daerah-daerah pelosok. Jadilah masa remajaku dipenuhi rencana masa depan yang bilang bahwa aku harus menjadi wanita sukses, dan memiliki pendamping yang juga tidak kalah kaya denganku.
Setahun sebelum kelulusan, tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba seorang teman lelaki menyatakan perasaannya di depan kelas, dengan sembunyi-sembunyi. Dia teman yang baik, lelaki yang sopan dan santun, tidak banyak bertingkah, tidak pula nakal dan bergaul ramah dengan teman perempuan dan lelaki yang lainnya. Sejujurnya, aku cukup kaget. Aku tidak menyangka ternyata selama ini dia memperhatikan dan diam-diam menjagaku. Aku sendiri tidak ada rasa padanya, hanya sebatas teman sekelas saja. Tetapi, dia berasal dari keluarga kaya. Ayahnya salah satu dewan direksi di perusahaan baja di kotaku, dan ibunya adalah pegawai negeri sipil. Itulah alasan mengapa aku tidak butuh waktu lama untuk menerimanya sebagai kekasih.
Uang adalah segalanya, cinta bisa menyusul nanti. Begitu pikirku.
Well, semua memang berjalan sesuai dugaan dan harapanku. Setiap kami pergi jalan, dia selalu membelikan apa pun yang kumau. Pergi ke tempat yang kuinginkan. Makan di mana perutku ingin sesuatu. Jika hari ini aku minta boneka beruang, besok lusa boneka itu sudah telentang di kasurku. Kalau aku tiba-tiba bergumam ingin headphone baru, sepulang sekolah dia akan membawaku ke toko aksesoris ponsel dan komputer. Kadang aku diantar-jemput menggunakan motor, tapi seringnya dia mengendarai mobil. Dia ingin memastikan aku dalam keadaan tidak kepanasan dan tidak kehujanan juga.
What's On Fimela
powered by
Ruang di Hati Terasa Ada yang Hambar
Baru dua bulan berjalan, aku merasa ruang di hati yang seharusnya penuh oleh cinta, justru kosong melompong dan terasa hampa. Dia memang selalu ada di sampingku, selalu menuruti semua inginku apalagi jika yang berhubungan dengan uang. Namun perasaanku biasa saja. Tidak ada perubahan. Aku tetap menganggapnya teman. Tidak ada perasaan deg-degan ketika bertemu, tidak ada rindu, tidak ada perasaan telah memilikinya. Aku bahkan tidak cemburu saat ia bersama teman perempuannya. Semua terasa hambar.
Lama-kelamaan, aku justru merasa kasihan sekaligus bersalah. Sudah berapa banyak waktu dan uang yang ia habiskan untukku, nyataku aku malah tidak bisa membalas perasaannya. Dia selalu mengatakan bahwa sehari saja tidak bertemu, dia pusing bukan kepalang. Sementara, aku asyik menikmati akhir pekan di depan TV dengan boneka beruang hadiah tanpa memikirkan dia sedikit pun. Kecuali tiba-tiba aku ingin minta sepatu baru, baru aku meneleponnya dan dia akan langsung mengantarku ke mall. Kecuali aku ingin makan bakso iga pedas, dia akan langsung datang ke rumah tidak peduli jika hujan badai sekali pun.
Ternyata, prinsipku tentang cinta bisa menyusul jika uang selalu ada, itu salah besar. Seberapa pun uang dan hadiah yang kumiliki, cintaku padanya tetap tidak muncul. Sekuat aku mencoba, sekuat itu juga hatiku berteriak bahwa dia hanya benar-benar teman untukku. Tidak lebih.
Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Kukatakan yang sejujurnya, dan dia sama sekali tidak marah. Dia legowo menerima keinginanku, walau pada akhirnya dia menjauh, kemudian tidak pernah bertegur sapa lagi denganku. Sepertinya dia kecewa dan sakit hati. Aku memahaminya. Karena aku ini seperti perempuan matre yang menguras habis hartanya tanpa bisa memberikan balasan cinta sama sekali.
Pengalaman itu jadi pukulan besar untukku di kemudian hari. Prinsipku tentang uang berubah total. Memang, uang itu penting di kehidupan ini. Tapi bukan berarti itu akan terus memberimu kebahagiaan. Kadang, kau bahagia hanya dengan duduk makan bersama orang yang kau cintai, meski makan dengan telur dadar dan berada di rumah kontrakan. Atau berkendara mengelilingi kota malam hari dengan motor bebek jelek dan sering mogok. Percayalah, ada banyak hal-hal kecil di sekitar yang bisa membuatmu bahagia tanpa uang. Kita hanya harus banyak-banyak bersyukur.
#ChangeMaker