Cukup Itu Datangnya dari Hati, Bukan dari Banyaknya Saldo yang Dimiliki

Endah Wijayanti diperbarui 14 Sep 2020, 12:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Ada yang bilang uang bukan segalanya. Hanya saja uang tetaplah kita butuhkan dalam kehidupan. Mengatur keuangan, membuat rencana keuangan untuk jangka waktu tertentu, mewujudkan impian melalui perencanaan finansial yang baik, rencana investasi dan membeli rumah, hingga pengalaman terkait memberi utang atau berutang pasti pernah kita alami. Banyak aspek dalam kehidupan kita yang sangat erat kaitannya dengan uang. Nah, dalam Lomba Share Your Stories September 2020: Aku dan Uang ini Sahabat Fimela semua bisa berbagi tulisan terkait pengalaman, cerita pribadi, kisah, atau sudut pandang terkait uang. Seperti tulisan berikut ini.

***

Oleh: Ariel

Berasal dari kampung dan keluarga pas-pasan, banyak orang yang saya temui berpikir saya adalah orang yang akan silau pada digit uang. Saya masih ingat, bos pertama saya saat pertama kali bekerja di Jakarta adalah seorang yang sangat royal dengan anggota timnya. Dia punya hobi yang unik, dia sangat senang membagikan uang hanya karena menurutnya reaksi tiap orang ketika menerima uang adalah hal yang menarik.

Pada saat uang proyek yang kami kerjakan bersama telah cair, hal yang paling dinantinya bukanlah membelanjakan bagiannya sendiri, tetapi melihat bagaimana wajah-wajah anggota tim yang lain ketika menerima honor bagian mereka. Dan saya adalah orang yang reaksinya paling mengecewakan buatnya. Apalagi ketika dia melihat saya tidak segera membelanjakannya ini dan itu.

Si Bos yang baru mengenal saya tidak tahu, meskipun memang jumlah honor yang saya terima saat itu adalah sebuah digit yang besar untuk gaji seorang fresh graduate, itu bukanlah kali pertama saya melihat angka nol sebanyak itu di rekening saya. Ya, saya memang berasal dari keluarga dengan ekonomi yang bisa dibilang hanya dicukup-cukupkan, tetapi jauh sebelum saya hijrah ke Jakarta, saya sudah pernah merasakan mempunyai rekening yang gendut.

Cerita rekening gendut ini dimulai ketika selembar surat yang menyatakan saya diterima sebagai mahasiswa undangan di sebuah PTN ternama sampai ke tangan saya. Surat undangan tersebut datang dengan sehelai lampiran yang menyatakan jumlah uang yang harus saya bayar untuk melanjutkan studi saya di sana. Pertama menerima surat itu, tangan saya bergetar, karena sudah tahu ayah saya tidak punya uang sebanyak itu. Tapi ayah yang saya kabari melalui ponsel monofonik butut milik saya saat itu hanya bilang, “Tenang saja, tidak usah kamu pikirkan.” 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Pengalaman Sewaktu Kuliah

Ilustrasi./copyright shutterstock

Singkat cerita, setelah melewati berbagai drama dan kodian proposal pengajuan bantuan studi, ayah secara menakjubkan berhasil memenuhi jumlah uang yang diminta universitas berikut ongkos kami untuk berangkat ke Pulau Jawa. Bahkan, jumlah donasi yang berhasil kami himpun cukup untuk biaya awal hidup saya selama berbulan-bulan di sana nantinya. Inilah awal dari rekening gendut tersebut dan pengalaman pertama saya mengelola keuangan sendiri.

Menyadari bahwa orangtua saya tidak akan bisa mengirim bantuan uang ke depannya selama studi saya, saya otomatis membatasi pengeluaran saya setiap bulannya. Saya membagi uang yang saya dapatkan ke dalam pos bulanan, dan memastikan saya tidak menghabiskan melebihi jumlah tersebut setiap bulannya. Kalaupun jumlahnya melebihi, jumlahnya tidak signifikan. Saya juga selalu mencatat pengeluaran saya di sebuah buku kecil untuk memantau seberapa boros pengeluaran bulanan saya. 

Tentu saja, sehemat apa pun saya, saldo awal rekening gendut itu tidak akan cukup untuk biaya selama 4 tahun studi saya, maka saya pun mulai mencari beasiswa tambahan dari kampus, yang alhamdulillah-nya berhasil saya dapatkan. Berbekal beberapa beasiswa, saya sukses melewati masa studi saya tanpa harus meminta kiriman sekalipun dari keluarga di kampung halaman. Bahkan, saya masih menyisakan beberapa digit sebagai bekal selama beberapa bulan sembari menanti mendapatkan pekerjaan setelah kelulusan, yang alhamdulilah-nya lagi juga cukup untuk kebutuhan dasar saya selama menjadi seorang pencari kerja.

Mungkin yang sedang membaca ini akan berpikir seprihatin apa hidup saya selama menjadi mahasiswa? Tidak kok, tidak sampai hanya makan dengan nasi dan garam saja seperti seorang teman saya yang sangat mencintai deretan angka nol di saldo tabungannya. Saya masih makan nasi berlauk tiga kali sehari. Saya masih bisa menikmati jajanan ringan di sekitar kampus. Sekali dua saya masih menikmati makan di mall dan menonton film di bioskop bersama teman-teman. Saya masih membeli pakaian baru sesekali dan benda-benda yang saya inginkan. Saya pun masih bisa bersedekah dan membelikan kado dan hadiah-hadiah kecil bagi orang-orang saya kasihi.

3 dari 3 halaman

Hidup Secukupnya, Beli Seperlunya

Ilustrasi./Copyright unsplash.com/mimi thian

Bagaimana saya bisa bertahan hidup sendirian di rantau orang tanpa bantuan uang dari orang tua? Hidup secukupnya, beli seperlunya.

Tahu bahwa saya sendirian dan tidak bisa mengandalkan bantuan dari kampung halaman, saya terbiasa menyisakan dana di rekening gendut tadi sebagai dana darurat, meskipun saat itu saya belum tahu sama sekali tentang konsep dana darurat. Saya selalu mengutamakan fungsionalitas di atas gengsi dan tren.

Saya hanya mengganti barang ketika barang tersebut benar-benar sudah tidak bisa dipakai. Saya memang tidak modis ataupun trendi, tapi punya pakaian bersih dan rapi, perut kenyang, kebutuhan bahan kuliah yang terpenuhi, sudah cukup bagi saya, karena yang saya pahami, saya ke sini untuk belajar dan bukan untuk melagak.

Terbiasa hidup seperti itulah yang membuat saya tidak bereaksi ketika uang proyek turun dari bos saya. Saya tahu, hidup dari uang proyekan, kurang lebih akan sama dengan hidup saya saat menerima beasiswa dulu. Saya tidak bisa menghabiskannya di depan karena tidak ada jaminan uang berikutnya akan turun kapan.

Saya menghabiskannya dalam jumlah yang wajar sesuai kebutuhan, bukan keinginan semata. Prinsip inilah yang membuat saya tidak terlibat utang dengan si bos seperti anggota tim lainnya yang selalu kehabisan saldo sebelum termin pembayaran berikutnya tiba. Prinsip yang sama yang membantu saya tetap bertahan hidup setelah keluar dari naungan si Bos dan menganggur beberapa bulan sebelum mendapat pekerjaan yang baru.

Lahir dan besar di keluarga yang berkecukupan tentunya adalah anugerah, namun lahir dan besar di keluarga yang pas-pasan dan hidup dari gaji ke gaji pun adalah sebuah anugerah buat saya. Mengajarkan saya makna berkah dari uang yang kita miliki. Membuat saya tidak ragu pada konsep rezeki dan tentang Allah yang Maha Mengasihi. Membantu saya menyadari bahwa “cukup” itu datangnya dari hati, bukan dari sebanyak apa saldo yang kau miliki.

#ChangeMaker