Ritual Budaya Cheng Beng di Kota Belinyu, Bangka yang Penuh Makna

Endah Wijayanti diperbarui 27 Agu 2020, 10:20 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti punya pengalaman tak terlupakan terkait negeri kita tercinta Indonesia. Ada kebanggaan yang pernah kita rasakan sebagai bagian dari Indonesia. Kebanggaan terhadap keindahan alam Indonesia, kekayaan tradisi dan budaya, kecintaan terhadap masyarakat Indonesia, dan lain sebagainya. Kita pun punya cara tersendiri dalam mengartikan kebanggaan terhadap tanah air ini. Melalui Lomba Share Your Stories Bulan Agustus: Bangga Indonesia ini, Sahabat Fimela bisa berbagi cerita, pengalaman, dan sudut pandang tentang hal tersebut.

***

Oleh: GG

Kota Belinyu adalah sebuah kecamatan yang terletak di bagian Utara Kepulauan Bangka Belitung. Aku dibesarkan di sana hingga menyelesaikan pendidikan terakhirku. Lulus SMA aku melanjutkan kuliah di Bandung dan bekerja di Jakarta.

Lama di perantauan tidak membuatku lupa akan kampung halaman. Kenangan indah tentang kota Belinyu begitu melekat dalam pikiranku. Kenangan terhadap teman-teman sepermainan masa kecil, guru-guru, sekolah dan pantainya yang indah dengan pasir putihnya membuatku begitu merindukan suasana pulang kampung.

Sejak novel dan film Laskar Pelangi booming, kepulauan Bangka Belitung menjadi tersohor dan banyak wisatawan berdatangan ke Pulau Bangka untuk melihat keindahan pulau kecil yang sarat dengan keindahan laut pantai, kuliner, dan budayanya. Setahun lalu aku memutuskan untuk pulang ke Bangka. Rasa rinduku dengan kampung halaman akhirnya dapat terwujud. Selama berada  di kampung halaman aku selalu menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat yang menjadi kenangan masa kecil, bertemu teman-teman bahkan mencicipi jajanan tradisional yang ternyata sampai sekarang masih tersedia di pasar bahkan penjualnya pun masih kukenal.

Dari semua tempat yang kususuri ada hal menarik yang membuatku belajar tentang nilai-nilai kebajikan, yaitu Festival Budaya Cheng Beng (sembahyang kubur) yang setiap tahunnya dirayakan pada tanggal 5 April atau tanggal 4 tahun kabisat. Ritual Budaya Cheng Beng merupakan perayaan yang besar bagi masyarakat Tionghoa dibandingkan tahun baru imlek. “Tradisi ini telah dilakukan dari generasi ke generasi, semua suku Tionghoa diajarkan untuk menghormati orang tuanya dan leluhur yang sudah tiada, sehingga  sebagai wujud  penghormatan, balas budi kepada orang tua dan leluhur maka tradisi Cheng Beng merupakan momentum yang wajib dirayakan,”  jelas sahabatku Koh Eddy.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Mengandung Banyak Nilai Kebajikan

Budaya Cheng Beng./Copyright Yang Goe

“Makam yang  dikunjungi akan dihiasi dengan berbagai hiasan. Peralatan sembahyang berupa garu (hio), lilin, uang kertas (nyiunci) yang terdiri dari uang perak (gin cua ) dan uang emas (kim cua), sesajen berupa teh, kue, arak, nasi, samsang (tiga jenis daging), tahu kuning, buah disesuaikan dengan kesukaan para leluhur semasa masih hidup. Penataan hantaran makanan akan ditata sedemikian rupa sebagai persiapan menyambut kedatangan arwah leluhur ke bumi, megahnya pesta kubur disesuaikan dengan status sosial yang dimiliki oleh para keluarga yang masih hidup. Biasanya kalau orang nyekar ke kuburan hanya membaca doa, nah dalam ritual Cheng Beng berbeda prosesinya tetapi maknanya sangat sarat dengan simbol-simbol kebajikan dan pesan moral kepada anak turunan leluhur,” jelas Koh Eddy lagi.

Hal yang menarik bagiku adalah ternyata jenis kue-kue seperti kue apam kukus, kue beras, kue bolu kukus, sangkolun, dan kue-kue tradisional lainnya adalah kue jajanan pasar yang memiliki makna dan  justru diperoleh dari buatan etnis melayu. Dua keyakinan dan budaya yang berbeda ternyata bisa bersatu dalam ritual budaya Cheng Beng. Aku melihat bagaimana sibuknya penduduk pribumi mempersiapkan benda-benda yang akan dijual pada saat perayaan Cheng Beng kepada masyarakat Tionghoa.

Aku merasa kagum dan bangga bahwa kampung halamanku Belinyu walaupun sudah berganti masa tetapi hidup berdampingan dan saling menjaga toleransi antar umat beragama justru masih dipertahankan. Bahkan terjadinya perkawinan antar budaya antar etnis Melayu dan Tionghoa menambah harmonisasi yang terjadi.

Aku membayangkan seandainya daerah-daerah lain yang sering terjadi konflik antar budaya, bisa seperti kota Belinyu yang hidup rukun, sungguh indah dan damainya dunia, dan satu hal yang patut kusyukuri bahwa aku sangat bangga terlahir sebagai orang Indonesia yang memiliki keanekaragam suku, budaya, dan agama. Ritual Cheng Beng memang mengajarkan arti persatuan, selain bagaimana menghormati leluhur dan orangtua yang sudah meninggal. Sungguh warisan budaya yang memang harus dipertahankan.

#ChangeMaker