Kota Malang dan Kisah yang Belum Selesai

Endah Wijayanti diperbarui 27 Agu 2020, 07:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Tulisan kiriman Sahabat Fimela.

***

Oleh: Anditi

Jika ditanya, nanti kalau dilahirkan kembali ingin dilahirkan di keluarga yang tinggal di mana? Maka aku akan menjawab kota Malang. Meskipun aku tidak lahir di Kota Malang, tapi kota ini adalah tempat terbaik untukku belajar tentang banyak hal. Termasuk tentang mencintai dan dicintai.

Aku bertemu dengannya di acara Ospek Kampus. Kami adalah peserta kala itu. Ia terlihat berbeda dengan peserta lainnya. Kemeja putihnya dilipat sesiku, tak terlihat seperti mahasiswa baru yang tunduk dengan para senior. Dia yang berbeda menarik perhatianku. Kami satu fakultas, tapi ia berbeda jurusan denganku. Dari kertas yang dikalungkan aku tahu namanya Bintang.

Seminggu setelah Ospek, perkuliahan pun dimulai. Sebagai anak rantau dan tinggal lumayan jauh dari kampus, memaksaku untuk datang ke kampus lebih awal. Maka, inilah awal aku dekat dengan Bintang. Ternyata ia juga tipe anak pagi. Ia selalu datang pada pukul 06.30 meskipun kuliah baru dimulai tiga puluh menit kemudian.

Kami selalu bertemu di Taman Fakultas. Berawal dari cerita komik yang ia suka dan ternyata aku pun menyukainya, kami dekat. Obrolan pagi menjadi rutinitas kami. Sesekali kami bertemu di luar kampus. Kami pun menjadi dekat, rutinitas berkirim kabar pun menjadi satu hal yang tak boleh dilewatkan. Mengobrol berjam-jam di telpon pun menjadi hal yang seru.

Namun semua berubah ketika kami memulai tahun kedua perkuliahan. Kami mulai jarang bertemu, ia tak lagi menjadi "manusia pagi". Ia selalu datang lebih lambat. Kami jarang mengobrol dan seperti ada sekat, yang akhirnya aku tahu ia sedang mendekati salah satu teman sekelasnya. Sadar diri, akhirnya aku mundur. Apalagi setelah kejadian aku berkirim pesan dan ternyata dibalas oleh teman perempuannya itu. Aku pun mengambil jarak dengannya.

2 dari 2 halaman

Bagian dari Masa Lalu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Mal2TH

Meskipun mengambil jarak, kadang kami masih menyempatkan bertemu. Sekadar menyapa atau makan es krim. Aku ingat pertemuan terakhir kami berakhir kurang menyenangkan. Kami salah paham, yang aku ingat setelah kejadian itu aku menangis sepanjang sisa hari dan memutuskan untuk benar-benar menghilang darinya.

Sejak kejadian itu, kami tidak bertegur sapa. Hingga kami lulus kuliah, dan aku memutuskan pindah dari kota Malang. Sesekali aku mendengar kabarnya yang kini sudah menikah dengan perempuan itu dan memiliki seorang putri. Ia tinggal di Malang, membangun keluarga bahagianya.

Sekarang setelah hampir enam tahun meninggalkan kota Malang aku memutuskan kembali ke kota ini. Bekerja dan tinggal di kota ini. Kadang terpikir ingin bertemu dengan Bintang, sekadar menyapa. Tapi Tuhan sepertinya enggan mempertemukan kami lagi. Kadang berpikir, Malang kan kotanya tidak besar kenapa tidak ada satu pun kebetulan yang mempertemukan kami? Lucu, ya?

Malang mungkin menjadi kota yang mengenalkanku pada istilah patah hati sebelum sempat memulainya. Jika saja kami tidak berpisah mungkin tidak akan membuatku mempertimbangkan untuk menerima pria lain. Atau jika kami tetap dekat, selamanya kami hanya teman dan tidak lebih dari itu. Bukankah melepaskan dan memberi kesempatan pada orang lain juga bentuk kebahagiaan?

Hai, Bintang... semoga selalau bahagia ya kamu.

#ChangeMaker