Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti punya pengalaman tak terlupakan terkait negeri kita tercinta Indonesia. Ada kebanggaan yang pernah kita rasakan sebagai bagian dari Indonesia. Kebanggaan terhadap keindahan alam Indonesia, kekayaan tradisi dan budaya, kecintaan terhadap masyarakat Indonesia, dan lain sebagainya. Kita pun punya cara tersendiri dalam mengartikan kebanggaan terhadap tanah air ini. Melalui Lomba Share Your Stories Bulan Agustus: Bangga Indonesia ini, Sahabat Fimela bisa berbagi cerita, pengalaman, dan sudut pandang tentang hal tersebut.
***
Oleh: Alifnisla Firdausi Putuwarsi
Kedatangan paman yang merupakan saudara jauh tempo hari lalu menyadarkanku bahwa kegiatan bagi-bagi hasil tani memang betul adanya. Tidak tanggung-tanggung, beliau membawa karung-karung berisi puluhan kilogram sayuran, beras, dan hasil bumi lainnya. Kupikir, narasi seperti itu hanyalah muatan lokal yang jarang ditemui kebenarannya dalam realitas kehidupan. Tebakanku salah, orang seperti beliau ternyata bukan sekadar lakon dalam cerita buku pelajaran anak SD atau dongeng asal-usul tempat legendaris di pelosok Indonesia.
Tetapi, ini bukan cuma tentang paman.
Di tengah gempuran modernitas, globalisasi, revolusi 4.0, dan berbagai isu kemajuan lainnya, pengalamanku tadi bagaikan oasis di tengah panas dan kerasnya kehidupan. Hidup di kota besar kadang memaksaku untuk terus bersinar di kala siang dan tetap gemerlap kala gelap. Langkahku dalam menjalani paradoksal terus berlanjut sambil diiringi lagu Hindia yang sedikit-banyak menyuarakan kegelisahan hati sehari-hari.
Masa pandemi menumbuhsuburkan tekanan dari sana-sini. Ada rasa tertinggal jauh, seperti ikut berkompetisi di balapan sirkuit namun dengan nomor urut terakhir. Di sisi lain, banyak psikolog yang telah mengkampanyekan satu perihal krusial: During pandemic, it’s not about being productive. It’s about surviving. Poin yang aku setujui, maka dari itu aku paham kalau 17 Agustus tahun ini di daerahku sama sekali tidak dirayakan dengan pengadaan lomba yang biasanya diinisiasi oleh anak muda dan diramaikan kerumunan berbagai usia.
Tentang Kampung Halamanku
Pikiranku—yang semakin bercabang setelah wabah Covid-19 merebak—melayang pada konsep kemerdekaan diri. Keberlimpahan waktu luang untuk diri sendiri kujadikan sebagai ajang meditasi. Apa-apa yang ada dalam kepala dan menjalar ke mana-mana bisa sembuh lewat mana, ya? Ah, kalau pandemi mulai mereda, pulang ke kampung halaman ibuku adalah tujuan pertama dan utama. Rindu sekali untuk sekadar sejenak menghilang dan menepi dari hiruk-pikuk kota. Menyelami lagi sisi-sisi lain Indonesia yang mungkin memudar karena aku lupakan seiring bertambah tingginya gedung-gedung raksasa yang jadi spot apik video cinematic iklan properti yang tayang sebelum azan magrib di televisi. Simbah putri tidak pernah absen menonton itu setelah radio kesayangannya tidak bisa lagi direparasi.
Oh, di mana kampung halaman ibuku itu? Temanggung. Nama yang masih meninggalkan banyak tanya ketika sampai di telinga mereka yang tinggal di luar daerah Jawa Tengah. Barangkali ia tidak sepopuler Wonosobo karena ada Dieng yang dingin dan bersalju serta maha indah. Orang-orang pun kerap lupa lokasi Candi Borobudur yang sebenarnya adalah Magelang, kota yang bersebelahan dengan Temanggung di peta. Sungguh, ia punya banyak harta karun tersembunyi untuk disebut “hidden gem” yang menunggu dijelajah lebih jauh.
Jadi, di Temanggung ada apa? Ada tembakau yang namanya sudah dikenal sampai mancanegara, produk pertama yang akan disebutkan sebagai komoditas utama yang telah mampir mendiami cerutu orang-orang sedunia. Dari para pejabat Hindia Belanda hingga pebisnis muda ketika bersantai dan mengangkat satu kakinya di atas meja. Mungkin Indonesia boleh kalah dari Kuba soal produksi, namun kualitas citarasanya tetap nomor satu.
Ada pabrik radio kayu Magno hasil karya anak bangsa lulusan kampus gajah di Sunda. Tekadnya memberdayakan UKM masyarakat sekitar sambil mengincar pasar ekspor di luar pelan-pelan tercapai hingga terus merangkak naik melebarkan sayapnya. Ada tempat wisata, Posong dan Embung Kledung misalnya, yang ironisnya justru lebih sering terpampang di akun Instagram @exploremagelang karena @exploretemanggung tak banyak dikenal.
Dan tak jarang sisi egoisku melahirkan sebuah gagasan, teruslah seperti itu saja agar cukup aku yang menikmatinya. Biarlah ia tetap menjadi tempat terbaik untuk mencari kedamaian dan memenuhi kebutuhan akan pemandangan hijau, udara dingin, kabut sejuk, dan bening mata air. Jangan sampai Tiktok “feeling good” merusak reputasi sekaligus pesona alam yang jadi nyawa tersendiri. Nyawa untuk anak-anak berseragam merah putih ketika berangkat sekolah dan bertemu bapak-ibu petani di jalanan pematang sawah. Lalu mereka saling mengulum senyum dan bertegur sapa dalam bahasa Jawa krama (halus).
Keramahan yang Penuh Kehangatan
Apa menariknya? Kuberi tahu sebuah rahasia: anak SD itu tinggal di balik bukit, di desa antah berantah yang terpisah jarak berpetak-petak kebun dan sawah dengan petani dari desa seberang. Tidak saling kenal, tidak ada ikatan darah. Murni memanusiakan manusia.
Aku sendiri masih suka takjub oleh pengalaman personalku ketika pulang ke sana bersama keluarga. Kami disambut hangat sejak dari gapura gang jalan utama. Ayah menurunkan jendela mobil untuk “etika sopan santun” kata ibu—seperti merawat tradisi tempat kelahirannya. Sapaan pertama keluar dari seorang wanita paruh baya yang menggendong sekeranjang daun pisang. Beliau sangat ramah, padahal aku tidak begitu mengenalnya.
Setelah mobil diparkir, bahkan sebelum kami turun, ada seorang “pakde” yang umurnya lebih tua dari Ibu namun lebih muda dari simbah putriku, memanggul setumpuk jerami sambil masih menggenggam arit di tangannya. Aku tahu beliau tidak akan membiarkan kambingnya mengembik kelaparan. Tetapi beliau tetap menghentikan langkahnya untuk bertegur sapa dengan kami. Ibu bahkan berbincang pendek dengannya—literally small talk, tidak hanya “say hi”—sebelum beliau melanjutkan perjalanan.
Lalu di warung kidul kali alias kampung sebelah, kami berkunjung ke warung milik teman SMP ibuku. Beliau lagi-lagi membuka pembicaraan yang cukup panjang untuk sebatas basa-basi pertemuan lama. Kami juga mengantongi bonus jajanan kecil pada akhirnya.
Di tiap sudut jalan yang di sisi kanan-kirinya dihiasi tumbuhan teh-teh-an, setiap ada orang, maka mereka akan menyapa kami, sang pendatang atau lebih tepatnya anak pulang rantau. Sebagian besar dari mereka bahkan sudah lanjut usia, namun hebatnya mereka masih tetap ingat dan menganggap kami sebagai bagian dari kesatuan struktural mereka. Tidak jarang mereka menawari kami untuk mampir sebentar untuk sekadar makan siang. Padahal aku hanya tahu mereka sebatas tetangga, bahkan harus kutanyakan pada ibu siapa namanya? Beliau pernah hadir ketika syukuran kelahiranku digelar di sini?
Rasanya kami rekat dan melekat, saling merangkul seperti keluarga. Bukan layaknya orang asing yang tiba-tiba catcalling. Sebaris kalimat tanya, “Sehat to?” berhasil memenangkan hatiku dan meyakinkanku bahwa orang baik, ramah, dan bersahaja bukan cuma ada di film laga atau drama Korea. Suasana desa yang itu selalu aku rindukan karena jarang kutemui di kota. Orang kota itu mengklaim dirinya makhluk sosial, yang apatis bukan? Aku pun mengatakannnya pada seseorang di depan cermin.
Perihal bertukar senyum di lobi kantor, menahan pintu untuk orang yang akan masuk, merelakan jatah antrean bagi mereka yang dikejar waktu, dan banyak lainnya masih canggung untuk dilakukan. Barangkali ini hanya masalah perbedaan budaya dan butuh kacamata dengan perspektif yang tidak sama pula. Walaupun tak bisa dipungkiri, sewaktu-waktu aku ingin merasakan kehangatan masyarakat di Temanggung di sini. Semboyan 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun) yang ditempel besar-besar di dinding kelas semasa sekolah bukan cuma berhenti saat wisuda SMA atau footage komersil Pesona Indonesia—atau menjadi pose template pejabat daerah ketika hendak maju Pilkada.
Percayalah, orang-orang Indonesia yang ramah itu bikin sumringah dan kita patut bersyukur, slogan yang diperkenalkan tiap promosi pariwisata itu masih ada. Kalau tertarik bereksplorasi, yang seperti itu bukan cuma ada di Temanggung dan bukan cuma itu anugerah tanah surga yang kita punya.
Kalau sudah kenal dengan baik—dengan budaya kita sendiri itu… biasanya akan lebih mudah untuk merasa sayang dan takut kehilangan—tumbuhlah keinginan untuk tetap menjadikannya baik. Hitung-hitung, supaya anak cucu kita tetap bisa mengamini slogan-slogan nasionalis nan membanggakan itu pada perayaan-perayaan kemerdekaan yang selanjutnya.
#ChangeMaker