Menjadi Salah Satu Puteri Daerah, Cara Terindah Tuhan untukku Mencintai Salatiga

Endah Wijayanti diperbarui 19 Agu 2020, 07:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti punya pengalaman tak terlupakan terkait negeri kita tercinta Indonesia. Ada kebanggaan yang pernah kita rasakan sebagai bagian dari Indonesia. Kebanggaan terhadap keindahan alam Indonesia, kekayaan tradisi dan budaya, kecintaan terhadap masyarakat Indonesia, dan lain sebagainya. Kita pun punya cara tersendiri dalam mengartikan kebanggaan terhadap tanah air ini. Melalui Lomba Share Your Stories Bulan Agustus: Bangga Indonesia ini, Sahabat Fimela bisa berbagi cerita, pengalaman, dan sudut pandang tentang hal tersebut.

***

Oleh: Safira Vicky Jamis

Pernahkah teman-teman pembaca mendengar Salatiga? Kota kecil yang berada di antara Semarang dan Yogyakarta ini dikenal sebagai kota toleran di Indonesia. Ya, jumlah populasi muslim dan non-muslim di sini hampir sama, namun kota ini selalu menjaga kerukunan hingga kini.

Salah satu hal yang kulihat sendiri dan membuatku terkejut adalah ketika bulan puasa aku pulang bersama teman menjelang waktu berbuka, kami melewati gereja. Banyak jemaat gereja menyodorkan takjil untuk para pengendara bermotor yang lewat (terutama yang berhijab dan penampilannya seperti seorang muslim), aku tak sempat menerimanya karena terburu-buru untuk segera sampai ke asrama.

Aku bisa berada di sini karena sedang menempuh perndidikan di salah satu perguruan tinggi  di sana. Awalnya aku melihat kota ini biasa saja, kecil, tidak hingar bingar seperti kota Semarang (aku tinggal di rumah eyang di Semarang selama SMA), intinya tidak ada sesuatu istimewa di sana sampai aku melihat sendiri pemandangan yang barusan aku ceritakan. Ternyata hal sederhana itulah yang membuat sebagian orang jatuh cinta pada kota ini, termasuk aku.

Aku tidak terlalu antusias pada hari-hari pertamaku di sini, pun kampusku tadinya bukan yang aku minati. Karena terlalu stres, ngemil menjadi pelarianku hingga membuat berat tubuhku tak lagi ideal, bahkan ketika berangkat kuliah kusempatkan membeli snack di warung dan makan langsung di sana. Geli rasanya mengingat kondisi tubuhku waktu itu, membangkitkan banyak tanya dari kawan yang sejak dulu mengenalku atas perubahan fisikku namun aku tak bergeming.

Kebiasaan jajan di warung yang berbuntut keterlambatanku masuk kelas, berujung malu untuk masuk membuatku memutuskan untuk bolos. Di semester pertamaku, aku tidak terlalu mengharap IPK yang bagus melihat kebiasaanku selama ini dan ternyata benar. Kurang 0,5 lagi untuk mencapai minimum cumlaude. Aku pun menyadari banyak yang harus kuperbaiki, maka pada semester 2 aku mulai mengurangi kebiasaanku itu, belajar lebih rajin, memasang fokus yang lebih saat di kelas, dan alhamdulillah ada peningkatan pada IPK dan perubahan berat badanku menuju ideal.

2 dari 3 halaman

Langkah Baru untuk Perkembangan Diri ke Depan

Safira Vicky./Copyright dok. Safira Vicky

Pada semester 3 aku mulai tertarik untuk belajar speaking lebih dalam, mengingat jurusanku memang Pendidikan Bahasa Inggris yang sudah sewajarnya memiiki kemampuan berbahasa Inggris aktif. Kehadiran situs kanal video masa kini turut andil dalam prosesku belajar, aku bisa memilih “tutor” yang kurasa menyenangkan, aku berlatih tanpa mendengar ungkapan “sok Inggris” yang diam-diam aku tahu di belakangku.

Lama kelamaan speaking skill-ku mulai mengalami kemajuan, pelan-pelan membuka mataku bahwa memperluas network/relasi adalah hal yang mestinya tak diabaikan. Berawal dari iseng mem-follow Instagram salah satu kenalan temanku yang menjadi Duta Bandara Jenderal A. Yani Semarang, awal kariernya sebagai penyiar radio, Duta Kampus, dan MC, namanya Berli membuatku berpikir bahwa kemampuan public speaking membuat value (nilai) diri kita bertambah. Banyak orang rupawan namun tak memaksimalkan potensi dan abai akan prestasi, terlalu fokus memoles diri hingga lupa menambah nilai dalam diri mereka, aku tak mau jadi salah satu dari tipikal seperti itu.

Memasuki semester 4, audisi Duta Kampus dibuka. Banyak dorongan dari orang terdekat untuk kumengikuti audisi itu, mulanya tak terpikir olehku untuk mendaftar, namun mereka meyakinkanku bahwa aku berpeluang disana. Setelah mempersiapkan semuanya, aku mulai meyakinkan diriku bahwa aku bisa menjalani audisi dengan baik. Keesokan hari saat pengumuman, aku tak menyangka bisa ada namaku di salah satu daftar nama finalis Duta Kampus terpilih.

Setelah merenung, aku berpikir mungkin dari momen ini Tuhan ingin membuatku mencintai kampusku ini, selain sebagai wadah pengembangan diri. Hari-hari karantina kulalui dengan semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kupunya. Saat hari grand final, aku tak keluar sebagai juara umum namun Tuhan memberiku hadiah berupa juara favorit, alhamdulillah aku mensyukurinya. Artinya, predikat itu tidak akan memberatkanku karena sesuai dengan kemampuanku. Dengan itu, aku semakin memacu diri untuk lebih produktif lagi.

3 dari 3 halaman

Kebanggaan Tersendiri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/pixs4u

Suasana Salatiga kini tak lagi se’kosong’ awalnya. Aku mulai menikmati kegiatanku di kampus, mengikuti agenda rutin Duta Kampus, menjadi lebih dikenal oleh para dosen, membuka kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lain. Pada awal liburan semester 4, komunitas Mas & Mbak Duta Wisata Kota Salatiga membuka audisi untuk calon wakil daerah selanjutnya.

Teman-teman Duta Kampus mendorongku untuk mendaftar, aku berpikir apa salahnya mencoba. Bukan coba-coba yang hanya iseng saja, namun tetap kusiapkan dengan semaksimal kemampuanku, masalah lolos/tidaknya kuserahkan pada Tuhan setelah aku berjuang. Jujur aku cukup gugup saat hari audisi, kompetisi ini diikuti oleh putera-puteri satu kota membuatku agak gentar karena mereka tentunya juga memiliki kapabilitas yang baik.

Meski tangan dingin dan gugup, aku tetap berusaha  tenang saat menjawab pertanyaan karena kontrol diri sangat penting, jika jawaban benar namun terlihat gelisah dan panik maka akan mengurangi penilaian juri (setidaknya itulah yang dipesankan oleh salah satu temanku). Tak disangka, pengumuman sore hari sangat membahagiakanku, aku masuk lagi menjadi salah satu finalis.

Tuhan telah memberikan banyak berkatNya untukku, aku sangat mensyukuri dan bahagia atas kesempatan berharga ini. Hari-hari karantina Duta Wisata ini lebih menantang dibandingkan Duta Kampus yang hanya setengah hari, kami harus sudah berada di Rumah Dinas Walikota Salatiga untuk menjalani karantina pada pukul 7.30, sampai pukul 22.00, bahkan saat malam menuju Grand Final kami pulang pukul 24.30. Namun aku tak menyia-nyiakan kesempatan yang kugunakan sebagai ajang belajar satu sama lain dengan teman-teman. Juga karena momen ini belum tentu terulang kembali.

Kembali kutata niat, dan aku harus siap ketika aku tak mendapat predikat karena ini kompetisi ketat yang tak hanya menilai penampilan fisik namun aspek kepribadian, public speaking, bagaimana membawa diri dan memaksimalkan potensi diri, pemikiran yang terbuka untuk  selalu belajar di setiap peristiwa/kegiatan saat karantina, dan lain sebagainya. Hal ini yang seringkali keliru dipahami oleh orang banyak, setelah kujalani ternyata perjuangan yang sangat berat selain menjaga penampilan, kami ditempa dan dinilai berdasarkan berbagai aspek yang luas tadi, tidak hanya secara fisik.

Aku tak membebani diri untuk menjadi juara, namun memaksimalkan upaya untuk menambah ilmu dan wawasan disana, kalaupun kebetulan mendapat juara maka itu adalah bonus. Saat penyebutan nama 10 besar pada malam Grand Final, aku merasa tubuhku tak lagi kuat berdiri dan memutuskan untuk turun panggung. Ayah Ibuku yang datang malam itu lansung membantuku duduk, aku merasa stagen di kain jarik (kain batik yang dipakai sebagai bawahan) ku terlalu kencang lalu ibuku mengendurkannya. Dan ternyata sampai akhir acara aku tak mendapat predikat kategori (favorit, fotogenik, dsb.).

Sebetulnya ada hal yang patut disyukuri dari kondisiku saat itu, jika aku menjadi juara maka mungkin aku sudah tumbang di atas panggung. Tuhan memang merencanakan hal yang baik untuk umat-Nya. Melalui peristiwa-peristiwa yang kualami membuatku menyadari bahwa tak hanya Yogyakarta yang istimewa, namun juga Salatiga. Kota yang damai, dingin, dan tetap rukun meski dengan perbedaan keyakinan yang ada.

Terima kasih atas pembelajarannya selama ini. Terima kasih kuucapkan untuk Pandawa (Paguyuban Duta Wisata) Salatiga  atas kesempatan berharga ini, kota Salatiga yang aku cintai dan aku banggakan, aku bersyukur menjadi bagian dari kalian.

#ChangeMaker