Fimela.com, Jakarta Kita semua pasti punya pengalaman tak terlupakan terkait negeri kita tercinta Indonesia. Ada kebanggaan yang pernah kita rasakan sebagai bagian dari Indonesia. Kebanggaan terhadap keindahan alam Indonesia, kekayaan tradisi dan budaya, kecintaan terhadap masyarakat Indonesia, dan lain sebagainya. Kita pun punya cara tersendiri dalam mengartikan kebanggaan terhadap tanah air ini. Melalui Lomba Share Your Stories Bulan Agustus: Bangga Indonesia ini, Sahabat Fimela bisa berbagi cerita, pengalaman, dan sudut pandang tentang hal tersebut.
***
Oleh: Anna Marie Happy
Saya lahir dan besar di Wonosobo, sebuah kota berhawa sejuk di Provinsi Jawa Tengah. Ya, kabupaten yang terkenal dengan wisata Dieng dan “salju” belakangan ini. Cerita mengenai Dieng pasti sudah banyak yang menulis. Kali ini saya mau bercerita petualangan lidah saya mencicipi kuliner-kuliner khas Indonesia.
Sebagai penduduk asli Jawa Tengah, lidah saya dekat dengan masakan bercita rasa manis dan gurih. Saya sangat suka mie ongklok, makanan khas kota saya. Bagi saya ini adalah makanan terbaik di Wonosobo. Saya juga suka makan kupat tahu, gado-gado, lotek, rujak, batagor, dan sajian berbumbu kacang.
Petulangan lidah saya dimulai ketika saya meninggalkan Wonosobo untuk kuliah di Salatiga. Karena saya ngekos, saya lebih banyak makan di luar. Walaupun masih di Jawa Tengah, ternyata cita rasa masakan Salatiga berbeda dengan masakan Wonosobo. Ada beberapa yang asing di lidah karena menurut saya, masakan Salatiga lebih manis daripada masakan Wonosobo.
Di kampus Indonesia mini tempat saya kuliah, saya punya banyak kawan dari berbagai daerah di Indonesia. Saya jadi kenal dengan budaya daerah lain dan juga kulinernya. Setiap teman-teman pulang kampung, saya sering dibawakan oleh-oleh seperti kacang dari Sumba, kacang goyang dari Manado, dan amplang dari Kalimantan Barat.
Saya juga sering ikut teman-teman makan di warung makan yang menjual makanan autentik daerah lain seperti Manado, Toraja, dan Sumatera Utara. Awal mencoba, rasanya asing, ada yang terasa sangat pedas atau kurang manis, dan kurang asin. Walaupun terasa asing, itulah petualangan bagi saya, petualangan rasa di satu kota.
Lulus kuliah, saya bekerja di Surabaya. Di sana saya mencoba berbagai kulinernya seperti lontong kupang, gado-gado Surabaya, mie ayam pangsit dan masakan rumahan khas Surabaya. Menurut saya, kuliner Surabaya cenderung bercita rasa asin dan banyak yang menggunakan petis udang atau petis ikan. Tidak semua makanan khas Jawa Timur saya coba karena memang ada yang saya tidak suka. Walaupun sempat merasa asing, tetapi makanan-makan itu terasa ngangeni ketika saya meninggalkan Surabaya.
Selanjutnya, saya bekerja di Jogja. Jogja memang bukan kota asing buat saya termasuk kulinernya karena saya cukup sering ke Jogja. Di Jogja, saya paling suka menyantap nasi gudeg yang dijual mulai pukul 22.00 maupun ikan bakar. Sebagai kota dengan pelajar yang datang dari berbagai sudut Indonesia, banyak juga yang menjual makanan khas daerah. Saya pernah diajak makan di warung yang menjual ikan bakar khas Bali dan Indonesia Timur yang dimakan bersama papeda. Walaupun rasanya tidak manis seperti ikan bakar khas Jawa Tengah, tapi saya suka dengan rasanya. Apalagi itu pengalaman pertama saya makan ikan dengan papeda.
Petualangan selanjutnya ketika saya bekerja di Jakarta. Saya terkejut ketika menyantap nasi uduk Betawi dengan sambal kacangnya yang terasa asin. Saya kira sambal kacangnya manis seperti sambal kacang khas Jawa tengah. Tapi enak juga menyantap nasi uduk dengan sambal kacang asin kecut.
What's On Fimela
powered by
Pengalaman Petualangan Kuliner
Saya juga mencoba kupat sayur Betawi, gado-gado Jakarta, pempek Palembang autentik, ketoprak, asinan, warteg, warung makan Cirebon, Chinese food ala Pontianak, lumpia bengkoang, dan makanan vegetarian. Sementara, teman kos saya yang asal Jawa Barat suka sekali masak makanan khas Jawa Barat.
Selanjutnya saya bekerja di Solo. Ternyata Solo menyimpan kekayaan kuliner yang berbeda dengan kota-kota lain di Jawa Tengah. Misalnya lothek. Di Wonosobo, Salatiga, ataupu Jogja, lothek disajikan dengan potongan kupat dan saus kacang yang kental. Sementara di Solo lothek disajikan dengan mie kuning dan saus kacang yang tidak terlalu kental. Begitu juga dengan kupat tahu Solo yang berbeda dengan daerah lain di Jawa Tengah. Kupat tahu di Solo disiram dengan kuah kecap dan ditaburi kacang tanah utuh, sedangkan di kota lain disiram dengan saus kacang
Petualangan kuliner membuat saya tahu bahwa setiap daerah punya ciri khas masing-masing. Saya paham kuliner daerah belum tentu bisa dinikmati oleh orang dari daerah lain. Boleh saja tidak merasa cocok di lidah, tetapi sebaiknya jangan berkomentar negatif apalagi di ruang publik.
Saya pernah membaca komentar seorang foodgram asal Surabaya yang gagal paham dengan teman-temannya yang suka makan gudeg Jogja yang menurut dia rasanya terlalu manis. Saya juga sering mendengar komentar teman-teman saya mengenai makanan daerah yang menurut mereka rasanya aneh sehingga mereka tidak mau makan.
Petualangan kuliner membuat saya mudah berdaptasi ketika bepergian ke luar daerah, misalnya ketika ke Bali. Ketika teman-teman merasa tidak cocok dengan makanannya, saya tetap menikmatinya. Saya kangen berpetualang kuliner lagi. Semoga pandemi ini segera berlalu sehingga saya bisa kulineran lagi.
#ChangeMaker