Dengan Dua Anak yang Masih Kecil, Masalah Ekonomi jadi Ujian Terberat Keluarga

Endah Wijayanti diperbarui 25 Jul 2020, 14:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.

***

Oleh: Puji Khristiana Dyah Nugrahaini

Ini kali kedua keluarga kecilku diuji masalah ekonomi setelah akhir tahun 2016 hingga awal tahun 2017 kemarin ujian ekonomi pertama keluargaku datang. Permasalahannya sama. Sama-sama karena suamiku di-PHK dari tempatnya kerja dan waktunya selalu sama. Yaitu setiap pasca kelahiran anak kami.

Desember 2019, ketika anak pertama kali lahir langsung disambut dengan kabar kurang enak. Suamiku di-PHK dari sebuah perusahaan kontraktor tempatnya bekerja karena perusahaan tersebut tiba-tiba gulung tikar. Dari semenjak anak pertama kami lahir hingga umur 3 bulan, kami hidup hanya dengan mengandalkan utang dan kebaikan saudara. Syukurlah, ketika anak pertama kami tepat berusia 3 bulan, suamiku kembali diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor interior.

Bencana PHK itu muncul kembali awal januari 2020 ketika usia anak kedua kami baru 2 minggu dan jahitan pasca caesarku belum juga kering. Berbekal uang tabungan yang seharusnya kami gunakan untuk acara aqiqah bayi, kami mencoba bertahan hidup dengan kerja seadanya. Suamiku mencoba bisnis jual beli bahan bangunan yang justru semakin memperparah keadaan ekonomi kami. Bukannya untung tapi justru ketipu.

Aku yang baru saja melahirkan tidak bisa langsung mencari pekerjaan karena kondisi fisik yang belum memungkinkan. Ditambah lagi, jika aku harus kembali bekerja di luar, kedua anak kami siapa yang akan mengasuh? Terutama bayiku yang belum genap berusia satu bulan. Untunglah, aku selama ini bekerja sebagai penulis konten lepas. 

Rencana awal, kira-kira dua bulan setelah melahirkan aku berhenti sementara mengambil beberapa job tulisan. Aku harus fokus mengurus dua anakku tanpa bantuan siapa pun. Kami mengontrak sebuah rumah kecil satu kamar dengan harga sewa satu juta untuk satu bulan. Tapi, karena setelah suamiku kembali terkena PHK, aku memutuskan untuk tetap mengambil job tulisan demi menyambung hidup.

Mempunyai peran ganda sebagai tulang punggung sekaligus tulang rusuk, aku menerima semua job tulisan yang masuk. Tidak peduli jika ada yang menghargai artikel tulisanku sangat murah. Jauh dari harga layak. Karena aku memang benar-benar butuh uang. Tinggal di kota besar dengan posisi mengontrak rumah dituntut untuk tetap harus kerja keras sekaligus kerja cerdas. Tak hanya mengambil job tulisan, aku juga mengikuti berbagai lomba menulis yang banyak diadakan oleh berbagai instansi dengan harapan jika menang, aku bisa mendapat uang untuk menyambung hidup.

Lagi-lagi, mujur tak dapat di raih, malang tak dapat ditolak. Setelah dua bulan suamiku mencoba mencari kerja ke sana kemari, hasilnya masih saja tetap nihil. Ditambah lagi dengan keadaan pandemi virus corona di mana sektor ekonomilah efek yang paling terasa. Bukannya banyak mendapat lowongan kerja, justru kami melihat banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya akibat lesunya ekonomi karena pandemi ini.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Mencari Pekerjaan

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@garry-mordor-261159

Hati istri mana yang tidak menangis melihat keadaan ekonomi sesulit ini? Setiap kali aku melihat kedua anakku, rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Mimpiku untuk bisa segera punya rumah sementara harus kulupakan terlebih dahulu. Ada banyak hal yang lebih penting di depan mata yang harus didahulukan. Untunglah kami tidak punya cicilan kredit atau utang apa pun. Jadi, kami hanya mencari uang untuk biaya kontrak rumah dan makan sehari-hari.

Hasil tulisanku benar-benar tidak mencukupi untuk memenuhi mahalnya hidup di kota besar. Untunglah kami punya saudara yang baik. Beberapa saudara yang merasa berlebih dan paham dengan keadaan ekonomi kami sering menransfer sejumlah uang pada kami. Sekalipun itu sangat membantu, tapi di dalam hati kecil kami sangatlah malu. 

Aku dan suami berlatar pendidikan sarjana. Seharusnya kami bisa hidup nyaman berbekal ijazah pendidikan yang kami miliki. Namun nyatanya kami masih hidup dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Sejak hamil anak pertama aku memang memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor. Melepaskan begitu saja jabatan accounting manager yang dengan susah payah sudah kuraih.

Bukannya tanpa alasan. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja karena kehamilan pertama dan keduaku berakhir dengan keguguran. Suami memintaku untuk berhenti bekerja di luar agar aku bisa hamil sehat. Akhirnya aku memutuskan mengikuti keinginan suamiku. Sebagai gantinya, aku tetap bekerja dari rumah sebagai penulis konten. Karena menulis adalah hobi yang sudah kutekuni sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Hingga tulisan ini kutulis, keadaan ekonomi kami masih saja memprihatinkan. Utang masih menumpuk. Aku selalu berharap suami secepatnya bisa kembali bekerja agar harga dirinya sebagai seorang laki-laki tidak lagi hancur. Sering aku melihat dia termenung sendiri meratapi nasib. Pemandangan inilah yang kadang membuatku tidak bisa menahan air mata.

Tubuh suamiku semakin kurus. Uban di rambutnya semakin bertambah banyak. Aku tahu, ada banyak rasa malu yang coba dia simpan sendiri. Rasa malu karena tidak bisa memberikan nafkah yang layak bagi keluarga kecil kami. Dia memang tidak pernah bercerita. Tapi dari cara diamnya aku sudah paham. Suamiku menyimpan sesak yang tidak bisa diucapkan.

Kami selalu berdoa agar esok tetap ada rezeki terbaik yang bisa memberi kemampuan pada kami untuk melunasi hutang-hutang dan membeli rumah yang selama ini kami impikan. Amin.

#ChangeMaker