Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.
***
Oleh: Hariya Amalina
Aku seorang perempuan berumur 22 tahun dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Aku merasa masa kecilku dipenuhi banyak kasih sayang, baik dari Mama atau Ayah. Aku tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain, meraih cukup banyak prestasi, mampu mewujudkan cita-cita mereka dan juga keinginanku sendiri untuk berkuliah di universitas bergengsi. Ah iya, kami memiliki banyak foto keluarga. Setiap pergi ke mana saja selalu ada dokumentasi, meski hanya dari kamera handphone ala kadarnya. Dari lensa, keluarga kami tampak sempurna.
Sejak SMA aku sudah hidup jauh dari orang tua. Banyak momen yang aku lewatkan selama tujuh tahun hidup di perantauan. Namun hal tersebut bukan hambatan untuk berbagi cerita. Mamaku sangat terbuka dan siap sedia mendengar segala keluh kesahku meski via telepon. Saat ada libur untuk pulang, dua tiga hari di rumah tidak terasa. Oleh karena itu, sembari menunggu panggilan kerja, sekarang aku berusaha memanfaatkan waktu bersama keluargaku.
Aku sadar bahwa kehidupan rumah tangga tidak ada yang sempurna, apalagi jika hanya satu pihak yang berusaha. Selama ini ayah tak tahu kalau sebenarnya aku mengetahui cukup banyak lika-liku dalam keluarga kami. Namun siapa sangka, ternyata yang aku tahu hanya permukaannya saja!
Pagi itu aku mendengar cerita lebih banyak dari mama. Astaga, aku pikir masa kelam itu telah berlalu. Aku kira ayahku sudah jauh lebih baik dan terus berusaha memperbaiki dirinya, menebus luka yang telah beliau torehkan pada mama. Tapi nyatanya? Ayahku tidak berusaha dan terus-menerus kabur, lari membawa harga dirinya sebagai suami, terlalu mengagungkan posisinya sebagai kepala keluarga hingga lupa bagaimana pun juga saling menghargai dan memahami itu kunci bahagia sesungguhnya.
Berada di Posisi Serba Salah
Aku berada di posisi yang serba salah. Aku berusaha bicara pada mama dan ayah di waktu berbeda. Pada keduanya aku menyampaikan pendapatku sebagai anak, berusaha memposisikan diri dari sudut pandang mereka, dan mencoba netral, tidak membela atau menyalahkan siapapun. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Kadangkala belum mulai bicara, lidahku rasanya kelu. Air mata menetes sebelum kata yang aku susun keluar dari mulutku. Lalu aku hanya menangis tersedu, duduk di hadapan ayah atau mama, kemudian diam mendengarkan alasan. Alasan yang menurutku itu-itu saja, saat mendengar penjelasan dari sudut pandang ayah. Sejujurnya aku lelah dengan kondisi ini. Aku merasa gagal menjadi mediasi untuk keduanya.
Masalah kembali muncul. Hal sepele yang dibesar-besarkan oleh ayah. Lalu mulailah rentetan ancaman 'ditinggal pergi' yang sudah muak aku dengarkan. Kejadian ini bahkan bukan pertama kalinya untukku! Aku sudah mendapat ancaman seperti ini sejak duduk di bangku SMP. Apakah aku kuat? Tidak. Aku terlalu rapuh dan tetap saja menangis meski sudah tahu kemungkinan muaranya. Semakin dewasa aku juga makin tahu bahwa sebenarnya ada banyak tumpukan tangis dan sesak yang mama sembunyikan dalam diam.
Rumah kami kembali hening beberapa hari, terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Lagi-lagi ayah memutuskan untuk pergi. Aku lelah, tapi 'tanggung jawab moralku' sebagai anak pertama tidak rela melihat kondisi ini terus berulang pada keluargaku. Aku ingin setegar mama! Aku ingin jadi wanita kuat sepertinya. Setidaknya, aku akan terus berusaha menjadi penengah untuk mereka. Aku tidak akan berhenti dan diam saja sampai menemukan titik tengah terbaik untuk keduanya, untuk aku dan adikku. Aku akan terus kuat sampai akhirnya tiada lagi perselisihan, tiada lagi ancaman, dan kami bisa menjadi keluarga normal. Mama, ayah, aku sangat menyayangi kalian berdua.
#ChangeMaker