Berkeluarga Memang Bukan Hanya tentang Bahagia Saja

Endah Wijayanti diperbarui 22 Jul 2020, 14:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.

***

Oleh: Mustika Adinda

Entah dari kapan aku sangat membenci ibuku sendiri. Bukan karena dia sibuk dengan karier, ibuku ibu rumah tangga biasa. Tapi aku merasa kurang perhatian sejak kecil. Setiap 4 tahun ibuku "rutin" melahirkan. Dulu aku sangat pula membenci adik-adikku. Menurutku mereka perebut kasih sayang orangtuaku dan hanya akan menjadi beban masa depanku.

Sebagai anak sulung, aku dulu iri dengan teman sebayaku yang punya kakak, atau yang merupakan anak tunggal karena tidak ada saingan di rumah. Semua keinginan mudah sekali dituruti, perhatian takkan terbagi. Apalah aku yang sebutir telur saja harus dibagi-bagi dengan adik-adik.

Aku sering melawan dan membantah ibuku, oleh karenanya aku sering mendapat pukulan dan lontaran kata-kata amarah dari ibuku, sedangkan ketiga adikku, sampai dewasa tak pernah kulihat pernah dipukul. Bahkan aku sempat bertanya pada nenek, sebenarnya aku anak kandung atau anak tiri? Kenapa aku merasa ibu jahat sekali. Saat liburan sekolah aku dititipkan ke rumah nenek atau budhe sendirian, dan dijemput pulang saat liburan usai. Sampai nenekku meninggal saat aku SMA, aku lebih dekat dengan beliau daripada ibuku.

Aku juga pernah berencana kabur dari rumah, aku ingin hidup seperti teman-temanku yang dimanjakan orang tuanya. Terlebih aku dulu selalu juara kelas, namun tak sekalipun orang tuaku memberiku hadiah untuk prestasiku. Pernah suatu ketika aku minta dibelikan handphone kepada ayah, ibu menjadi monster selama beberapa hari, semua barang dapur tak tak ada yang tidak berbunyi karena dibanting. Pernah juga aku sangat egois ingin kamar sendiri, sehingga terpaksa orang tua dan ketiga adikku berdesakan di kamar yang lain.

Tidak dekat dengan ibu, bukan berarti aku dekat dengan ayah. Karena menurutku mereka hanya memperhatikan adik-adikku. Kemanapun aku bermain dengan teman-temanku aku harus turut serta membawa salah satu adikku. Kadang aku tertegun melihat foto-foto masa kecilku, seperti bukan aku, karena banyak momen merekam kebersamaan dengan ibu. Hingga SMA, aku sudah mulai berpacaran di belakang orang tuaku, alias backstreet, dengan alasan butuh perhatian, ditambah lagi aku sedang puber, dan tidak ada pelampiasan untuk sekedar berbagi perasaan.

Puncaknya adalah saat hendak melanjutkan kuliah. Orang tuaku berterus terang tidak mampu mewujudkan asaku menjadi apoteker. Akhirnya aku melanjutkan kuliah di sekolah kedinasan di Jakarta dengan alasan gratis dan jaminan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hari-hari menjelang keberangkatanku aku menangis tersedu-sedu, padahal pergi dari rumah adalah keinginanku sedari dulu. Dan setibanya di tanah rantau, aku benar-benar merasakan apa itu homesick, rindu menggebu-gebu kepada keluargaku.

2 dari 2 halaman

Memahami Arti Keluarga Lebih Dalam Lagi

ilustrasi./Photo by Conner Ching on Unsplash

Sejak itulah aku mulai sering berkomunikasi dengan ibuku, bercerita tentang hari-hariku. Tentang suasana kampus, tentang resep masakan rumah yang sangat kurindu, bahkan tentang lawan jenis yang sedang dekat denganku. Sampai tiba waktunya aku ditempatkan bertugas di pelosok Papua, ibuku adalah orang yang paling menguatkanku, beliau bilang akulah pilihan yang memang ditakdirkan ke sana, tak apa, pasti semua ada hikmahnya. Benarlah adanya, aku bertemu suamiku di sana.

Setelah jadi ibu banyak hal yang kusadari, berkeluarga memang bukan hanya tentang bahagia saja. Terlebih saat sudah ada anak, setelah lelah bekerja kemudian anakku masih ingin bermanja-manja saja bisa membuatku marah. Mungkin itu yang dulu ibu rasakan, lelah. Lelah mengurus rumah sendirian dan lelah mengurus anak-anak. Ternyata dulu saat hamil diriku, ibu sempat mengalami trauma psikologis cukup serius karena mempertahankanku, mungkin sebab itu ibu dulu sering tak bisa mengontrol emosinya padaku.

Kini aku pun mengerti kenapa dulu sepotong lauk harus dibagi-bagi, karena ibu memikirkan agar tetap bisa makan di esok hari. Ikatan persaudaraan aku dan ketiga adikku juga sangat kompak karena kami terbiasa berbagi sejak dulu. Tanpa kusadari, orang tuaku sudah menanamkan jiwa kedewasaan, jiwa mandiri, dan semangat berjuang sejak dini.

Tak sekali pun pernah kulihat ibuku menangis, ibu adalah wanita kuat yang sangat taat beribadah, hingga suatu ketika ayahku sempat menduakannya, ibuku masih dengan rela memaafkannya untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Ibuku juga adalah ahli keuangan karena nafkah ayahku dulu yang tak seberapa harus bisa mencukupi kehidupan 6 anggota keluarga, padahal hanya bangku SMP yang ditamatkan. Ibuku juga yang paling tahu diriku, entah aku bercerita atau tidak, ibu selalu tahu jika ada sesuatu terjadi padaku. Ibu, maafkan aku yang belum bisa membalas semua pengorbanmu. Ibu, kaulah teman terbaikku dalam hidupku. Terima kasih ibu.

#ChangeMaker