Mbah Lindu Meninggal Dunia, Hingga Akhir Usia Masih Masak Gudeg Yogya Legendarisnya

Novi Nadya diperbarui 13 Jul 2020, 11:18 WIB

Fimela.com, Jakarta Mbah Lindu meninggal dunia di kediamannya di Klebengan Blok E-6, Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta, Minggu, 12 Juli 2020. Penjual gudeg legendaris di Yogya itu meninggal dunia di usia 100 tahun karena penyakit tua.

Hal itu dijelaskan putrinya Ratiyah seperti mengutip dari Merdeka.com, Senin (13/7). Sebelumnya, Mbak Lindu sempat terjatuh di dapur pada Sabtu, 6 Juli 2020 dan mendapat perawatan di RS Panti Rapih selama dua hari dan setelah itu kembali ke rumah.

"Kata dokternya memang tidak ada yang sakit. Memang karena sudah tua saja. Kemudian disuruh pulang ke rumah. Di rumah ya masih sempat membantu masak dan mengupas telur," ujar Ratiyah.

Sang penjual legenda gudeg Yogya tersebut akan dimakamkan hari ini, Senin (13/7) di pemakaman umum Klebengan. Selamat jalan Mbak Lindu, doa kami semua menyertaimu...

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Sosok Mbah Lindu Semasa Hidup

Komentar William Wonsgo melalui Instagram tentang Mbah Lindu. (via: Tweeter)

Para penikmat kuliner gudeg, pasti sudah tidak asing dengan sajian yang dijajakan oleh Mbah Lindu. Ia menjadi adalah penjual gudeg legendaris yang telah tersohor seantero negeri.

Dikutip dari Kanal Global Liputan6.com, semasa hidup, Mbah Lindu berjualan dari pukul 5.00 hingga 10.00 WIB, tak jauh dari keramaian Malioboro. Ia berjualan dengan kondisi yang sederhana.

Mbah Lindu duduk di tengah dan dikelilingi panci dan wakul besar yang berisi lauk-lauk gudeg. Para pembeli yang memilih makan di tempat duduk di bangku 1,5 meter yang tersedia.

Bagi mereka yang memilih pesan untuk dibungkus, Mbah Lindu mengemasnya dengan cara kuno yakni dengan 'dipincuk' atau daun pisang dijepit dengan lidi. "Si mbah sendiri yang memasaknya. Resepnya masih sama dari dulu ya seperti ini," ujar Mbah Lindu dalam bahasa Jawa, kepada Liputan6.com, Selasa, 19 Januari 2016 lalu.

Kesetiaan Mbah Lindu pada gudeg telah dibuktikan sejak dulu. Kala itu, awalnya ia harus berjualan keliling Yogyakarta dengan kaki dari rumahnya di Klebengan.

"Nek kapane iki aku wis lali. Sak durunge Jepang teko. (Tahunya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum Jepang datang). Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak satu. Jualannya ya saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan tidak ada bus kota," katanya .

3 dari 3 halaman

Simak video berikut ini

#ChangeMaker