Ibu Tidak Menangis di Hari Kematian Ayah

Endah Wijayanti diperbarui 13 Jul 2020, 10:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.

***

Oleh: B

Sepuluh Desember 2019 ayahku meninggal setelah 12 tahun lebih ayahku mengidap kencing manis. Kedua mata kakinya terinfeksi, membuatnya kesulitan berjalan dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari dua kali ayahku dioperasi untuk membersihkan lukanya yang terinfeksi, namun lukanya terus menjalar. Terakhir ayahku dibawa ke rumah sakit tahun lalu, ia meninggal setelah dirawat selama tiga hari. Dokter mengatakan lambungnya terinfeksi dan mengalami kebocoran.

Ya, aku sedih. Sedih sekali. Aku merasa di umurku yang menginjak angka 24 aku belum siap kehilangan sosok ayah. Aku pun baru menyadari bahwa aku begitu menyayanginya beberapa tahun terakhir. Ayahku tak pandai berbicara, aku dibesarkan dengan tak banyak kata-kata. Namun aku tahu, begitu juga sebaliknya dia amat menyayangiku.

Namun yang paling aku sesali dari semuanya bukan karena kepergian Ayah. Hal terburuknya adalah aku membenci ibuku. Ibuku tidak menangis pada hari kematian Ayah. Sejak hari itu, aku terus mengutuknya. Aku pun bingung mengapa aku bisa menanam kebencian pada seseorang yang telah melahirkanku. Aku tidak bisa mehanan rasa benci yang meluap-luap dalam dadaku setiap kali melihatnya, saat ia berbicara, saat ia tertidur. Aku membencinya. Namun tak pernah kuungkapkan pada siapa pun.

Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti, hanya saja aku merasa bahwa ibuku tidak benar-benar menyayangi ayahku. Aku merasa, mereka hanya terjebak dalam sebuah hubungan pernikahan. Mereka menikah di usia yang sangat muda, ayahku lulus SMA dan ibuku kalau tidak salah masih SMP. Dulu mereka sempat bercerai, namun waktu itu mereka sudah memiliki tiga anak, mungkin pertimbangan ini yang membuat mereka terpaksa kembali. Setelah itu mereka memiliki anak lagi yang salah satunya adalah aku.

Tadinya aku kira keluargaku baik-baik saja. Namun saat aku beranjak remaja, aku mulai menyadari kehidupan orang tuaku tak seperti kebanyakan orang tua pada umumnya. Di mana orang tua saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan domestik dan keperluan anak-anak mereka. Orang tuaku tidak terlihat sebagai sebuah tim, mereka cenderung mengerjakan semuanya sendiri-sendiri. Ayahku bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan begitu juga ibuku. 

2 dari 3 halaman

Keluargaku Tidak Baik-Baik Saja

Ilustrasi/copyrightshutterstock/Photo_DDD

Aku sering mendapati mereka bertengkar, hingga melemparkan barang-barang. Mereka terbiasa melakukannya di depan anak-anak mereka. Namun, satu hal yang termaafkan dari ayahku, ia tidak egois seperti ibuku. Ia masih memerhatikan anak-anaknya, menjadi pendengar yang baik dan mengurusi semua kebutuhan anak-anaknya. Tidak seperti ibuku yang hanya mementingkan dirinya sendiri.

Aku tak mengerti, belakangan ini aku melihat ibuku seperti monster yang jahat, terlebih setelah kepergian Ayah. Kalian mungkin tidak akan percaya jika kuceritakan apa saja yang membuatku sangat begitu membencinya. Aku membenci sifat-sifatnya yang egois, gila harta dan suka berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Pertengkaran orang tuaku sering dipicu oleh cara berbiacara ibuku yang keterlaluan. Ia melakukan itu kepada semua orang bahkan aku dan kakak-kakakku kerap dibuat sakit hati.

Aku selalu menyayangkan sikap Ibu kepada Ayah, di saat pernikahan mereka yang sudah hampir 50 tahun. Aku merasa ibuku tidak pernah merasa nyaman saat berhadapan dengan Ayah, apalagi saat mereka sedang berbicara. Ujung-ujungnya selalu bertengkar yang dipicu oleh ibuku.

Ibuku tak pernah suka diberi masukan oleh ayahku, ia selalu melawan ayah. Bahkan menjelang seminggu kematian ayahku, waktu itu Ayah sudah sakit-sakitan, mereka bertengkar. Ibuku menghujani ayah dengan kata-kata yang tak seharusnya diucapkan seorang istri kepada suami, sampai-sampai ibuku menyumpahi agar Ayah mati saja.

Satu hal yang aku sangat malu mengakuinya, bahkan aku malu membicarakannya dengan diriku sendiri, Ibuku sangat tergila-gila dengan uang dan harta. Aku tadinya menyangkal hal ini, sampai malam saat jenazah ayah disemayamkan di rumah, saat tamu-tamu pelayat berdatangan. Kalian tahu? Ibuku semalaman tak keluar dari kamar, sibuk mengobrak abrik semua isi lemari untuk mencari uang yang ditinggalkan ayah. Mengetahi hal itu, hatiku hancur. Sehancur-hancurnya.

Bahkan, saat malam kematian Ayah di rumah sakit, ibuku tidak ikut berkabung bersama kami untuk mengirimkan doa. Ibuku mengasingkan diri sibuk menelepon  teman-temannya, memberitahukan mereka bahwa suaminya sudah meninggal. Seolah ia bahagia dengan kematian Ayah.

3 dari 3 halaman

Bertengkar dengan Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Sampai ayahku dimakamkan bisa dihitung dengan jari ibuku berziarah ke makam Ayah. Terakhir lebaran kemarin, itu pun buru-buru sekali. Ibuku seperti ingin menghapus kenangan tentang ayah, membuang semua barang-barangnya, mendekor ulang rumah yang didekor ayah, mengecat ulang rumah yang warnanya dipilih ayah dan menjual semua harta peninggalan ayah. Tentunya uangnya itu untuk dirinya sendiri.

Bahkan, dengan terang-terangan ibuku mengatakan jika perasaanya lebih membaik setelah ayahku pergi. Katanya, Tuhan tak mau membebani keluarga kita dengan penyakit ayah yang tak kunjung sembuh selama bertahun-tahun.

Bahkan ibuku tak pernah segan menceritakan semua aib-aib ayah selama hidupnya kepada orang lain. Ingin sekali aku menghentikan jika hal itu terjadi, namun aku hanya bisa diam dan menangis. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya.

Aku tidak nyaman dengan perasaan ini, bagaimana bisa aku akan membenci seumur hidupku orang yang tinggal serumah denganku. Jika di rumah aku memilih lebih banyak diam di kamar  agar tak sering bertatap muka dengan ibuku. Bisa kalian bayangkan betapa tidak enaknya dihantui rasa benci terus menerus. Aku selalu berharap jika saja posisi ayahku bisa diganti dengan Ibu, agar aku tak harus menanggung perasaan semacam ini.

Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar perasaan benci kepada ibuku bisa hilang. Aku pun selalu berusaha untuk bersikap baik kepada ibuku dan melupakan semuanya, namun tak pernah bisa. Sampai detik ini aku masih membencinya. Jika bisa memilih, aku tak akan pernah minta dilahirkan oleh ibuku. Aku sempat berpikir, apakah ini adalah karma bagi ibuku atau cobaan yang harus aku hadapi. Namun jika ini adalah ujian dalam hidupku, aku berharap semua ini segera berakhir.

Hingga pada suatu malam, aku dan ibuku bertengkar hebat. Sebelumnya aku tak pernah bertengkar dengan siapa pun, bahkan Ibu. Jika ada yang menyakiti, aku lebih memilih diam, karena memang tidak suka rebut. Namun malam itu, aku benar-benar dibikin sakit hati. Mungkin sakit hatiku malam itu adalah akumulasi dari sakit hati dan rasa benciku selama ini kepada ibuku, sehingga meluap dan tidak bisa aku bending.

Tentunya, ibuku menghujaniku dengan bermacam kata, persis seperti yang sering dilakukan kepada Ayah. Tetapi aku tak membalasnya, aku hanya mengatakan bahwa ia telah gagal sebagai seorang ibu. Setelah mengatakan itu aku keluar rumah dan belum kembali sampai hari ini. Dengan membawa sejuta rasa benci pada ibuku.

#ChangeMaker