Pernikahan tanpa Cinta Ternyata Sangat Menakutkan, Mengabaikan Hati Itu Menyiksa

Endah Wijayanti diperbarui 06 Jul 2020, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Lomba My Family Story ini Sahabat Fimela bisa berbagai kisah tentang keluarga.

***

Oleh: D

Dear Fimela, kata orang, keluarga adalah sosok yang akan memahami kita tapi ternyata salah. Saya memutuskan menikah saat berusia 27 tahun, saat pendidikan profesi saya selesai. Pasangan saya memiliki profesi yang sama dan kami adalah teman saat menjalani pendidikan dokter di sebuah universitas negeri di Surabaya. 

Kami menikah setelah berteman 8 tahun. Tanpa cinta dan perasaan apa pun. Kami sepakat pernikahan adalah komitmen untuk hidup bersama, dan jalan terbebas dari masalah drama kehidupan. Selayaknya suami istri kami tinggal bersama, tapi kami seperti memiliki kehidupan sendiri. Awalnya saya tidak pernah mempermasalahkan ini.

Usia pernikahan kami atau jika tidak bisa disebut demikian, komitmen kami sudah 8 tahun berjalan. Perasaan tidak nyaman mulai saya rasakan ketika teman-teman lain sudah memiliki anak. Dan keluarga mereka tampak sempurna. Sementara ketika saya dan pasangan sudah 8 tahun bersama, kami tidak kunjung memiliki keturunan.

Saya pikir pernikahan tanpa anak bukanlah masalah besar. Kami bisa bersama dan bertahan karena memiliki visi yang sama tentang pernikahan. Ternyata saya keliru, pernikahan tanpa cinta ternyata sangat menakutkan. Kami sibuk dengan dunia masing-masing, atau mungkin saya yang terlalu menyibukkan diri agar tidak terlalu memikirkan perasaan saya?

2 dari 2 halaman

Hubungan Hanya Formalitas Belaka

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Hubungan saya dengan pasangan seperti formalitas, ia memperlakukan saya dengan baik seperti usaha untuk menggugurkan kewajibannya. Pasangan tetap menjadi teman yang baik ketika harus menemui saudara, ia pun selalu memberi jawaban yang baik. Tapi entah mengapa semakin mengedapankan logika saya, perasaan itu semakin tidak nyaman.

Saya kembali mengingat nasihat seorang teman ketika sebelum menikah. Ia mengatakan jika menikah hanya mengandalkan logika, maka bertahan adalah keniscayaan. Dan ini yang sedang saya rasakan.

Katanya keluarga adalah sosok yang akan memahami kita saat perasaan hancur. Nyatanya mereka selalu menganggap senyum saya karena benar saya sedang bahagia. Semakin hari, saya pun semakin takut untuk berbicara ke pasangan. Terlalu menjaga perasaannya, apakah benar langkah yang sudah saya ambil?

Agustus nanti usia pernikahan kami genap 8 tahun. Entah, masih sanggupkah saya bertahan dengan pernikahan kami? Kadang saya benar-benar ingin jujur kepada keluarga saya, bahwa saya sedang buruk, saya butuh dukungan mereka. Tapi rasa takut dianggap gagal lebih besar daripada kesedihan saya.

Saya juga ingin mengatakan kepada mereka yang ingin menikah. Tolong sisihkan ruang untuk hatimu dalam pernikahanmu agar perasaanmu pada pasangan dapat menahanmu tetap tinggal saat keadaan sedang tidak baik.

#ChangeMaker