Fimela.com, Jakarta Mengubah kebiasaan lama memang tidak mudah. Mengganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik pun kadang butuh proses yang tak sebentar. Membuat perubahan dalam keseharian dan hidup selalu memiliki perjuangannya sendiri. Melalui Lomba Change My Habit ini Sahabat Fimela berbagi kisah dan tulisannya tentang sudut pandang serta kebiasaan-kebiasaan baru yang dibangun demi hidup yang lebih baik.
***
Oleh: Langit Biru
“Love is short, forgeting is so long.”
Aku selalu ingat penggalan puisi itu. Aku dan kamu—kita, pernah membedah puisi "Sad Boy" karya Pablo Neruda tersebut pada suatu malam.
“Kamu kalau jatuh cinta kayaknya bakal begini deh, persis puisi ini,” kataku.
Kamu terbahak, kemudian menjelaskan tanpa kuminta mengenai peristiwa jatuh cinta ditinjau dari sisi ilmiah. Tentang kerja kimia di otak dan sebagainya. Aku hanya mengangguk-angguk di depan layar, membaca panjang lebar penjelasanmu yang sedang menempuh pendidikan kedokteran.
Aku yang tujuh tahun lebih tua darimu dan sudah berkali-kali mengalami patah hati hanya tersenyum getir. Tentu saja kamu cerdas dalam penjelasan ilmiah ini, sangat cerdas, sama seperti arti nama belakangmu. Namun satu hal yang belum kamu tahu, akan tiba waktunya kamu tidak lagi peduli dengan semua penjelasan ilmiah itu. Sebab jatuh cinta dan merelakan adalah tentang dirimu seutuhnya dan tentang hatimu sebagai manusia yang memiliki rasa.
Pertemuan kita teramat sederhana. Dari sebuah forum menulis dan novel, jarak ratusan kilometer seolah tak ada artinya. Aku tidak ingat kapan aku dan kamu semakin dekat, tetapi kita mulai nyaman menceritakan hal-hal yang tidak mungkin dibicarakan dengan orang lain. Aku tidak pernah mengatakan ini padamu, tetapi setiap kali kamu berkeluh kesah mengenai lelahnya pendidikan kedokteranmu, mengenai hal-hal mengesalkan yang terjadi di sekitarmu, keresahan-keresahanmu, aku menikmatinya. Walau keluhanmu hanya melalui tulisan, aku bisa merasakan kamu sedang bersandar di bahuku. Entah apa nama rasa itu, aku menganggapmu seperti adik yang sedang berkeluh kesah kepada kakaknya. Nyaman, damai, bahagia.
Oh, sial!
Jauh sebelum mengenalmu, aku sangat membenci istilah “adik kakak-an”, tetapi denganmu, sepertinya aku terjebak dan menikmati kebencianku sendiri.
Good job, Universe! Good job!
Satu hal lain yang sungguh membingungkan, aku belum pernah bertemu langsung denganmu, kita hanya menghabiskan waktu melalui tulisan-tulisan, mendengar suaramu pun tidak, video call apalagi, tidak pernah sekalipun. Namun ada yang teramat ganjil dalam kedekatan kita, yang tidak pernah aku rasakan pada pengalaman dengan laki-laki lain sebelumnya. Aku seperti sudah pernah mengenalmu lama sekali. Aku bisa menebak isi kepalamu, apa yang akan kamu katakan, apa yang kamu rasakan bahkan sebelum kamu mengungkapkannya. Aneh bukan? Sejak saat itu aku mulai percaya reinkarnasi itu nyata, bahkan mungkin twin flame.
Pada akhirnya, bulan demi bulan berlalu, aku bisa merasa kalau kamu (sepertinya) mulai menyukaiku.
Halu? Mungkin, karena aku mulai mencari pembenaran-pembenaran bahwa itu hanya imajinasi, sebab hatiku sedang patah teramat hebat di awal perkenalan kita. Aku tidak mau menjadikanmu sebagai pelampiasan patah hatiku. Tentu saja aku tidak akan memastikan dengan bertanya langsung padamu “Kamu suka aku ya?” Hahaha.. aku sudah bisa membayangkan kamu akan tertawa terbahak-bahak sambil mengatakan, “Hati-hati sainganmu banyak!”
Mungkin Cupid sedang overload deadline saat itu, kejar setoran menjatuhkan hati sebanyak-banyaknya manusia, sehingga asal saja menancapkan panah cintanya di hatimu—
dan aku yakini juga—di hatiku.
Mengimani Agama yang Berbeda
Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta, bahkan jika Cupid terlalu mabuk saat itu, sehingga tidak melihat bahwa jalanku dan jalanmu sudah bercabang sejak awal. Kamu tujuh tahun lebih muda dariku, dalam euforia mengejar impian sebagai seorang dokter. Ambisimu besar, bisa dengan mudah kutebak dari setumpuk piagam penghargaan dan medali yang kamu dapat. Semangatmu luar biasa setiap kali bercerita tentang keinginan untuk mengambil gelar dokter spesialis. Di saat yang sama, aku sudah memasuki fase kritis, dimana hal-hal yang berhubungan dengan kisah cinta seharusnya segera berujung pada pernikahan. Dari sini saja, aku tahu bahwa hubungan kita tidak akan mudah.
Namun dari semua itu, fakta yang paling mengganjal adalah—
—kita mengimani agama yang berbeda.
Masalah klasik, tetapi berat. Sangat berat untukku yang sudah dikejar deadline keseriusan cinta dan pernikahan. Setiap kali hatiku berpijar merayakan perasaan jatuh hati padamu, logikaku akan berteriak lantang, “Sudahlah.. akhiri saja! Jangan memberatkan langkahmu dan langkahnya!”
Aku pikir, dengan tidak menanyakan perasaanmu kepadaku dan tidak menyatakan perasaanku kepadamu, maka kita akan tetap menjadi kita, tanpa ikatan apapun. Tidak akan ada yang tersakiti, tidak akan ada yang terluka. Sebab aku tahu bagaimana rasanya berkali-kali ditinggalkan. Hal-hal perkara cinta seharusnya tidak menjadi batu sandunganmu.
Hatiku mulai memberontak, memintaku untuk tidak berlama-lama tanpa kepastian. Aku harus menyelesaikan semua ini. Satu yang bisa aku pikirkan, aku harus bertemu denganmu secara langsung—setidaknya sekali saja, lalu aku berjanji untuk menuntaskan perasaan ini, menutup buku mengenai kisah kita bahkan sebelum sampai pada lembar terakhir.
Pertemuan Pertama dan Terakhir
Waktu berlalu dan Tuhan mengabulkan keinginanku. Sampailah aku pada cuti libur pertengahan tahun dan Yogyakarta menjadi tujuanku. Jarak kita semakin dekat, kamu hanya berselisih satu jam perjalanan dari tempatku berlibur. Aku hanya membawa tas ransel kecil berisi dompet, handphone dan charger menuju kotamu, berusaha terlihat secuek mungkin, padahal hatiku patah karena tahu bahwa kemungkinan besar hari itu akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir kita.
Rasanya aneh, ada perasaan gembira yang meledak-ledak, sebab akhirnya kita bertatap muka setelah sekitar enam bulan hanya bertukar kata melalui tulisan, tetapi—hatiku ambyar di saat yang sama. Langkahku ringan saat menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Surakarta, hari masih pagi. Bukan kamu yang menyapaku di pintu keluar Stasiun Kota Solo Balapan, tetapi seorang tukang becak yang sudah tua.
“Naik becak, Mbak? Mau diantar ke mana?” ujar si bapak dalam bahasa Jawa halus.
“Mboten,” jawabku singkat sambil tersenyum.
“Hai! Udah dari tadi?”
Satu sapaan dari kejauhan dan aku langsung mengenali itu adalah kamu. T-shirt warna hitam santai, celana jeans santai, tidak ada yang spesial dari penampilanmu, tetapi binar mata itu tidak bisa menyembunyikan pijar ambisi si pintar yang satu ini—brilliant. Aku membalas senyummu, pertemuan pertama yang seharusnya manis itu langsung buyar karena tukang becak tadi menimpali, “Oalah pantes nggak mau naik becak, ternyata sudah dijemput pacarnya.”
Reaksimu sungguh menyebalkan, yaitu tertawa terbahak-bahak.
“Mboten, Pak!” ujarku sebal sambil berlalu dan menyeretmu menjauh.
Entah wajahku tetap normal atau merona merah saat itu. Kalau diingat-ingat lagi, mungkin Tuhan ingin menjadikan pertemuan pertama kita otentik dan dapat dikenang dalam kemasan yang lucu. Lihat, walaupun kita mengimani agama yang berbeda, Tuhan sungguh baik bukan? Berkat hadiranmu, Stasiun Kota Solo Balapan meninggalkan kisah kecil yang manis.
Tidak ada yang spesial dari pertemuan pertama kita, hari itu kita habiskan untuk keliling Surakarta dan wisata kuliner. Jam demi jam berlalu sangat cepat hingga sore menjelang. Kamu mengarahkan mobil ke kosan salah satu temanmu, ada keperluan mengambil buku atau entahlah. Aku menunggu seorang diri sehingga punya waktu untuk meneliti bagian dalam mobilmu. Cukup rapi untuk ukuran anak kos, atau mungkin sudah kamu rapikan sebelum kedatanganku?
Dari semua benda yang ada di sana, pandanganku terhenti pada dua benda: jas praktikum warna putih milikmu yang tergantung di jok belakang, dan di spion tengah aku menemukan—rosario.
Well, yeah.
Aku menghela napas panjang, kesadaranku kembali lagi bahwa pertemuan kita hari ini adalah untuk mengakhiri semuanya. Ada perasaan tidak rela jika setelah ini aku harus melanjutkan hidup tanpa kehadiranmu, tapi ya sudahlah, aku terlalu egois untuk jujur pada diriku sendiri bahwa sebenarnya aku ingin tahu bagaimana perasaanmu. Aku terlalu keras kepala untuk mengatur ini dan itu, lupa bahwa ada yang Maha Mengatur, yang seharusnya—ah sudahlah, aku tidak punya kuasa untuk menjadikan apa yang belum terjadi—atau mungkin tidak akan pernah terjadi.
Halaman Terakhir
Ingatanku jelas akan pertemuan pertama kita di Stasiun Kota Solo Balapan, tetapi ingatanku pudar saat malam menjelang dan aku harus kembali ke Yogyakarta. Mungkin karena aku memang belum ingin berpisah denganmu. Mungkin karena aku masih membawa tanda tanya besar:
Bagaimana perasaanmu padaku?
Seandainya pada hari itu aku mengungkapkan perasaanku, apakah aku dan kamu akan memiliki satu kisah yang sama? Yang mungkin singkat tetapi layak untuk diperjuangkan.
Pada akhirnya kisah kita menjadi serpihan kenangan.
Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah bisa menebak kamu telah sampai pada impianmu menjadi seorang dokter. Sedangkan aku, banyak kisah lain terjadi, aku sudah menikah dan memiliki seorang anak yang sedang lucu-lucunya.
Tahun demi tahun berlalu. Aku masih saja mempertanyakan tanda tanya besar itu. Seharusnya aku sudah melupakan semua kisah kita, sebab aku dan kamu telah berpijak di jalan yang berbeda. Perasaanku masih melekat pada kenangan kita yang teramat singkat, sementara logikaku menjerit ingin dibebaskan dari hal-hal sentimentil yang berhubungan denganmu.
Aku terus terjebak pada kebiasaan untuk mempertanyakan hal yang sudah tidak perlu dikejar jawabannya. Aku terjebak pada kebiasaan untuk mengandai-andaikan sesuatu yang sudah selesai kisahnya. Maka dari itu, aku sengaja menulis sepenggal kisah aku dan kamu yang pernah sesaat menjadi kita, untuk meyakinkan diriku bahwa kisah kita sudah selesai.
Inilah halaman terakhir dari perjalanan panjang perasaanku yang seharusnya sudah aku tinggalkan jauh di belakang. Entah tulisan ini layak atau tidak untuk ditayangkan. Yang pasti, setelah aku mengirim kisah ini, aku tidak mau lagi berandai-andai dan terus saja mengulang kenangan tentang kita.
Bagaimana aku bisa menghargai kehidupanku saat ini jika terus saja mengingat yang sudah berlalu?
Bagaimana aku bisa sepenuhnya menikmati kebahagiaan hari ini jika isi kepalaku hanya tentang masa lalu?
Ayolah hati, move on!
Jika memang kamu harus tahu perasaanku, maka Tuhan atau Semesta akan membawamu pada tulisan ini. Jika tidak, ya sudah, berarti itu memang yang terbaik untuk kita. Maka melangkahlah kita di jalan yang berbeda, yang memang seharusnya menjadi pijakan terbaik. Oh aku hampir lupa, mengenai puisi Puedo Escribir yang aku bahas di awal tulisan ini, sepertinya itu bukan untuk kamu, tetapi untuk aku. Anggaplah puisi itu sebagai hadiah dari Cupid yang “tidak ada akhlak” saat menancapkan panah cintanya kepada kita.
Kenangan akan selalu ada dan tidak akan hilang. Melepasmu dan merelakanmu adalah cerita berbeda. Sebab aku percaya—manusia hanya tahu apa yang dia mau, tetapi Tuhan tahu apa yang terbaik untuk kita.
Terima kasih pernah hadir dan membuatku berani untuk melepas dan merelakan. Semoga aku dan kamu selalu berbahagia di perjalanan yang berbeda.
#ChangeMaker