Di Dunia Ini Tak Ada yang Sempurna, tapi Kita Bisa Memilih untuk Bahagia

Endah Wijayanti diperbarui 20 Jun 2020, 09:31 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengubah kebiasaan lama memang tidak mudah. Mengganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik pun kadang butuh proses yang tak sebentar. Membuat perubahan dalam keseharian dan hidup selalu memiliki perjuangannya sendiri. Melalui Lomba Change My Habit ini Sahabat Fimela berbagi kisah dan tulisannya tentang sudut pandang serta kebiasaan-kebiasaan baru yang dibangun demi hidup yang lebih baik.

***

Oleh: Mawar Sari

Sejak 10 bulan lalu aku resmi mutasi kerja kembali ke kota asalku, Semarang. Kuajak serta juga suamiku, memupus asa kembali ke kota asalnya, Makassar. Lima tahun kami mengabdi di pedalaman ujung timur Indonesia.

Dulu kami mengeluh menderita, ternyata kami bisa melewati semua. Dan sekarang terharu saat mengenang masa-masa di sana. Jarak ke kantor tak sampai 10 menit, karena jangankan macet, kendaraan yang lewat sungguh bisa dihitung, dan tak ada alasan terlambat karena lampu merah, karena listrik negara pun ada saat tempat itu sudah akan kami tinggalkan.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan sarapan, kami berangkat bersama ke kantor. Makan siang pun bisa di rumah sambil istirahat. Tak perlu bawa bekal, meski sesekali saat bosan barulah membeli makan di luar, yang hanya tersedia bakso, lalapan, atau nasi padang dengan harga cukup mahal.

Kami tak pernah pusing dengan setelan ke kantor, seragam dinas dan batik burung cendrawasih adalah andalan. Jilbabku juga itu-itu saja, cuci kering pakai, selama 5 kerja maupun di rumah. Maklum, listrik genset hanya berlaku dari jam 6 sore sampai 12 malam. Kami nyaris tak punya perabotan seperti mesin cuci, bahkan TV. Saat air sumur kering, kami gunakan air hujan, atau mandi di kali saat akhir pekan sambil membakar ayam untuk menu makan siang. Hal sesederhana mandi, bisa dua kali sehari, adalah kebahagiaan.

Saat terjadi perang suku atau kekacauan karena orasi kemerdekaan, kami mengungsi ke kantor polisi atau segera berebut tiket pesawat untuk keluar dari zona merah. Naik pesawat capung, bagian dari tuntutan pekerjaan, hal yang mungkin takkan kurasakan saat di Semarang. Bahkan sampai sekarang, aku terkadang masih merasakan saat mendengar suara petasan bersahutan, karena hal itu mengingatkanku pada adu serangan antara masyarakat dan apparat kepolisian.

Dulu kami tinggal di deretan rumah dinas dengan jatah satu kamar untuk satu keluarga. Tentu bosan, rekan kerja di kantor, tetangga di rumah, hanya mereka saja. Tapi kami saling menguatkan di rantau, saling berbagi makanan, saling mengantrekan minyak tanah saat kapal pembawa minyak tanah  dan bensin datang, ah hangatnya kebersamaan itu takkan terlupakan.

Kini setelah pulang ke kampung halaman, aku harus bangun sangat pagi. Kami berangkat ke kantor memakai busana yang terjadwal setiap hari. Jarak ke tempat kerjaku puluhan kilometer, suamiku bahkan bekerja di kabupaten lain. Ya, kebijakan provinsi melarang pasutri bekerja di kantor yang sama. Sehingga kami membeli rumah di perbatasan kota agar jaraknya di tengah-tengah antara kantorku, dan suamiku. Kami berangkat pagi, pulang hampir malam. Momen makan bersama kadang hanya terjadi saat sarapan, atau di akhir pekan.

 

2 dari 2 halaman

Perubahan saat Tinggal di Kota

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Dulu kami harus ke kantor atau warnet sekadar untuk menerima WhatsApp atau videocall keluarga, karena sinyal ada di tempat-tempat tertentu saja. Sekarang, justru kami harus dengan sengaja mematikan dering telepon saat di rumah, karena tidak mau diganggu dengan tagihan pekerjaan pada saat berkumpul dengan keluarga. 

Dulu tiap sore harus ke pasar untuk belanja karena punya kulkas terlalu mewah rasanya, bosan dengan lauk dan sayur itu-itu saja karena tak banyak pilihan. Anakku dulu lebih sering makan bubur bayi instan dengan selingan buah pisang. Sekarang dengan alasan lelah bekerja, aku lebih sering pesan makanan dari luar, hingga rindu rasa masakan rumahan. Kami dulu harus menghadapi tangguhnya masyarakat pedalaman, dan sekarang berjuang bertemu pimpinan perusahaan yang sering sibuk bukan kepalang. Semua penuh tantangan, penuh perjuangan.

Kami sering jenuh tak ada hiburan, kini sudah ada TV, justru tak pernah kami nyalakan karena kami lebih memilih jadi kaum rebahan. Dulu kukira pindah ke kota penuh dengan kebahagiaan, tapi ternyata tak luput juga dari kekurangan.

Hidup adalah perjalanan untuk menjalani pilihan, pilihan yang tak pernah sempurna. punya kelebihan, dan pasti punya kekurangan. Orang jawa bilang sawang sinawang, kadang kita iri dengan kehidupan orang lain, padahal saat berada di posisi orang lain, belum tentu kita sepenuhnya bahagia menjalani. Bisa jadi, ada pula orang lain yang memimpikan hidup seperti yang kita punya, tanpa tahu apa yang sebenarnya kita rasa. Di dunia memang takkan ada yang sempurna, tapi kita bisa selalu memilih untuk bahagia, dengan selalu bersyukur dan bersabar di setiap keadaan tanpa membandingkan keadaan dengan kehidupan lain.

Semua skenario Sang Kuasa adalah yang terbaik, manusia hanya wajib membawa diri untuk menjalankan peran yang diamanahkan dan terus menjadi pribadi yang lebih baik. Beradaptasi di setiap keadaan dengan mengubah kebiasaan adalah keniscayaan, karena kita hidup untuk masa depan.

#ChangeMaker