Bijak Atur Keuangan sebab Kita Tak Pernah Tahu Kapan Mendadak jadi Pengangguran

Endah Wijayanti diperbarui 11 Jun 2020, 09:48 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengubah kebiasaan lama memang tidak mudah. Mengganti kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik pun kadang butuh proses yang tak sebentar. Membuat perubahan dalam keseharian dan hidup selalu memiliki perjuangannya sendiri. Melalui Lomba Change My Habit ini Sahabat Fimela berbagi kisah dan tulisannya tentang sudut pandang serta kebiasaan-kebiasaan baru yang dibangun demi hidup yang lebih baik.

***

Oleh: Dwi Purwati

Masih kuingat jelas hari itu di akhir Bulan Februari 2017. Pagi buta aku dan roommate-ku bergegas ke salon untuk dirias yang telah kami pesan jauh-jauh hari. Sambil sesekali aku menghubungi orangtua yang sedang perjalanan ke kampus. Momen wisuda bagiku adalah momen yang membahagiakan sekaligus membuatku gelisah. Bahagia karena perjuanganku selama 4 tahun akan disaksikan oleh kedua orangtuaku. Jelas kulihat raut bangga, haru dan bahagia di wajah ayah dan ibu. Anak pertama mereka lulus dari kampus impian. Sekaligus bayang-bayang semakin jauh dan harus mandiri melintas waktu itu. Dunia yang sesungguhnya sudah di depan mata.

Setiap hari di depan laptop, melamar ke puluhan bahkan ratusan instansi. Setiap hari pula aku menerima email kalau lamaranku ditolak. Sempat membuatku merasa menjadi manusia yang tidak berguna. Di bulan ketiga setelah aku lulus, akhirnya membulatkan tekad pergi ke ibukota. Dengan bekal seadanya dan mengandalkan menginap di kost teman SMA di sekitaran Kota Depok. Subuh keretaku sampai dan paginya aku langsung ke jobfair. Selama tiga hari berturut-turut aku keliling stand demi stand. Memasukkan lamaran yang sesuai dengan kualifikasi.

Sebulan kemudian ada panggilan tahapan akhir yang membuatku sungguh bahagia. Aku diterima di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Langsung kuhubungi keluarga di rumah. Tentu saja syukur dan bahagia terdengar dari nada bicara ibu dan ayah. Doa-doa mereka akhirnya dikabulkan. Doa-doa baik pun kembali diucapkan oleh mereka. Semoga aku bertemu dengan orang-orang baik, semoga diberikan kelancaran di kantor dan sebagainya.

Lingkungan yang sungguh baru dan juga pengalaman baru yang membuatku harus banyak belajar. Beruntungnya, aku cukup mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hari demi demi hari terlewati. Tiada hari tanpa deadline dan tugas kantor. Pulang malam hampir setiap hari. Tetap bekerja meskipun di akhir pekan. Lumayan mengganggu kehidupanku sebagai aku yang dulu.

Tekanan dari kantor yang membuatku stress akhirnya membawaku kepada kebiasaan baru. Sering belanja impulsif, setiap hari makan di tempat makan kenamaan. Tanpa memikirkan kondisi keuangan lebih lanjut, akhirnya tidak punya tabungan dan simpanan. Walaupun tidak sampai berutang, dengan kondisiku yang masih single dan tidak memiliki tanggungan, bekerja di perusahaan bonafide ibukota seharusnya aku bisa memiliki “sesuatu” yang bisa kuandalkan ketika masa sulit datang.

Sampai akhirnya bulan ketiga tahun ini aku menerima surat dari kantor yang memintaku untuk kembali ke rumah karena kondisi kantor yang tidak stabil sejak awal bulan akibat pandemi. Aku dirumahkan dengan gaji terakhir tanpa pesangon dan lain-lain karena kondisi keuangan perusahaan yang benar-benar kacau. Rasanya waktu itu sungguh bagaikan disambar petir siang bolong. Bagaimana mungkin aku mendapatkan pekerjaan pengganti di situasi sekarang dengan cepat? Bagaimana aku bisa hidup di sini untuk bulan-bulan ke depan dengan kondisi keuanganku yang juga kacau. Hanya dengan gaji terakhir tanpa tabungan sepeser pun. Untuk pulang pun tidak memungkinkan.

 

2 dari 2 halaman

Pentingnya Mengatur Keuangan

Ilustrasi/copyrightshutterstock/Selenophile

Rasanya seperti dijatuhkan sampai babak belur. Aku akhirnya pindah ke kosan yang jauh lebih murah dengan kondisi yang benar-benar seadanya. Untuk makan sehari-sehari sangat berbanding terbalik dengan kehidupanku sebelumnya. Sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkan orangtua dan saudaraku. Jadi aku bilang kalau aku baik-baik saja meskipun dirumahkan oleh kantor. Mengaku masih bisa memiliki simpanan yang cukup untuk bertahan hidup. Sungguh menyesakkan ketika membuat pengakuan bohong tersebut.

Kemudian aku banyak merenung dan berpikir. Ke mana saja hidupku selama ini? Setiap hari disibukkan dengan deadline pekerjaan tanpa memikirkan diri sendiri. Jerih payah dan keringat selama ini tidak berwujud apapun sama sekali. Padahal di luar sana banyak milenial mulai melek finansial. Sedangkan aku sibuk dengan memenuhi ego yang tidak pernah puas.

Aku akhirnya disadarkan kalau ini adalah titik balikku untuk menjadi pribadi yang lebih baik, terkhusus dalam pengelolaan dan perencanaan keuangan. Otakku berputar keras bagaimana aku tetap bertahan dan bangkit di kondisi paling terpuruk kehidupan finansialku. Akhirnya aku terjun ke bisnis online. Menjadi reseller kebutuhan pokok dan perlengkapan sanitasi. Sempat terseok di awal karena banyak terjadi salah komunikasi. Namun akhirnya aku bisa mengatasinya.

Setelah hampir 3 bulan menjalani ini, aku benar-benar merasakan betapa berharganya uang kalau sekadar untuk dihamburkan untuk sesaat bersenang. Ada jerih payah dan pengorbanan yang menurutku jauh lebih berharga dari nilai uang itu sendiri. Meskipun pendapatan tidak sebanyak di kantor lama, tapi berasa sekali nikmat dan berkahnya bisa menghasilkan sendiri. Merasakan syukur yang teramat dalam dan dibukakan mataku. Aku semakin banyak belajar dengan mengikuti kelas pengelolaan keuangan. Menyisihkan untuk diri sendiri, untuk berbagi, dana darurat dan juga investasi.

#ChangeMaker