Mahalnya Sebuah Pelukan, Ayah Meninggal di Tengah Pandemi

Endah Wijayanti diperbarui 23 Apr 2020, 09:47 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengubah rutinitas di tengah panedemi virus corona ini memang tidak mudah. Mengatasi rasa cemas dan was-was pun membuat kita tak nyaman. Kita semua pun berharap semua keadaan akan segera membaik. Melalui Lomba Share Your Stories: Berbagi Cerita tentang Pandemi Virus Corona ini Sahabat Fimela berbagai cerita dan harapannya di situasi ini. Langsung ikuti tulisannya di sini, ya.

***

Oleh: Raistamala Nediasani

Panggil aku Mala, anak bungsu dari dua bersaudara. Saat cerita ini kutulis, aku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang patah hati, hatiku hancur lebur. Beberapa minggu yang lalu ayahku meninggalkan aku dan keluargaku, tanpa pamit, tanpa pesan apa pun. Aku tidak pernah membayangkan ditinggal kekasih hatiku secepat itu. Berat? Pasti sangat berat. Tapi tahukah kalian apa yang menjadikan ini jauh lebih berat? Ayahku pergi di tengah-tengah pandemi Covid-19.

Mungkin bagi sebagian orang merasa tidak ada hubungannya Covid-19 dengan meninggalnya ayahku, toh ayahku memang meninggal karena serangan jantung, bukan terjangkit virus Corona. Tapi bagiku, berat sekali rasanya. Di tengah imbauan untuk physical distancing, aku tidak banyak mendapat pelukan saat itu. Pelukan menjadi sangat mahal harganya. Aku harus berusaha berdiri sendiri, berusaha kuat sendirian, berusaha memahami semua yang sedang terjadi sendirian. Cukup banyak yang datang untuk melayat waktu itu, tapi tidak banyak yang mendekat, bahkan memelukku. Padahal pelukan adalah obat terbaik untuk lukaku saat itu. Untuk anak bungsu, anak perempuan satu-satunya yang ditinggal lelaki yang paling dicintainya.

Sabtu, 4 April 2020, adalah hari di mana duniaku menjadi sangat gelap. Hanya bayangan hitam yang terlihat saat itu. Aku tidak butuh materi saat itu, aku hanya butuh sandaran, aku butuh penguat, tapi kalimat "pelukku untuk pelikmu" saat itu benar-benar mahal harganya. Aku tidak marah dengan mereka yang tidak memelukku saat itu, aku paham situasinya. Tapi aku marah dengan keadaan. Aku benci pandemi ini, dia menyulitkanku untuk sembuh lebih cepat. Banyak sanak saudara dan kerabat yang mengabarkan tidak bisa datang untuk melayat karena situasi di tengah pandemi ini. Aku tidak menuntut mereka datang, tapi alm. ayahku pasti akan lebih bahagia jika semua yang dikenal dan dicintainya bisa datang dan mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya.

Bukan hanya soal pelukan dan layatan yang menjadi sulit waktu itu. Bahkan saat menghubungi mobil jenazah gratis, kami harus rela menjawab banyak pertanyaan seputar kematian almarhum. Di tengah pandemi seperti ini, kami tahu mereka takut membawa sembarangan jenazah, harus benar-benar tahu riwayat kematiannya. Iya, aku memang sengaja tidak pakai layanan mobil jenazah dari pihak rumah sakit karena kebetulan aku punya kontak untuk ambulans dan mobil jenazah gratis. Sejak hari itu mindset dan kehidupanku harus berubah. Tulang punggung keluarga kami sudah tidak ada, kehidupan finansial kami secara otomatis akan berubah. Jadi aku meminta ambulans gratis untuk memangkas biaya dan selanjutnya dapat digunakan untuk pembiayaan yang lain.

Cerita tidak berhenti di situ. Proses persemayaman ayahku juga tidak boleh lama-lama karena adanya pandemi ini. Bahkan kami tidak bisa menunggu banyak saudara yang sebenarnya sudah di perjalanan menuju rumah duka. Ayahku dinyatakan meninggal pukul 06.50 WIB. Sekitar pukul 10.00 jenazah sudah kami bawa ke rumah duka untuk disucikan dan disalatkan. Pukul 11.30 WIB jenazah sudah diberangkatkan ke pemakaman. Aku tidak punya banyak waktu untuk melihat wajah ayahku untuk terakhir kalinya.

2 dari 2 halaman

Harus Tetap Tersenyum untuk Ibu

Berduka./Copyright Raistamala Nediasani

Di balik semua pelik, aku harus tetap tersenyum untuk ibuku, orangtuaku satu-satunya saat ini. Aku bersyukur ayahku meninggal dalam keadaan sehat, tidak merasakan sakit apa pun. Ayahku meninggal dengan raut wajah yang ceria. Aku juga bersyukur aku selalu ada di saat ayahku mulai tidak sadar, kuantar dan kukemudikan sendiri mobilku ke IGD, kuurus sendiri semua adminitrasinya, kutemani saat di mobil jenazah, kumandikan untuk terakhir kalinya, dan kusalati. Hanya satu yang belum bisa kulakukan sampai saat ini, aku belum bisa ke makam ayahku sendiri. Aku perlu meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan kuat kalau berkunjung ke sana. Aku akan kesana dengan raut bahagia supaya ayahku tahu putrinya adalah sosok yang kuat, supaya ayahku tahu dia menitipkan ibuku ke orang yang tepat.

Ayah, doakan aku menjadi orang yang lebih tangguh setelah ini. Kehidupan kami harus terus berlanjut. Ayah, doakan pandemi ini segera berakhir agar pekerjaanku menjadi normal kembali. Agar aku tidak banyak dicemooh orang lagi jika masih terus keluar rumah untuk bekerja. FYI, aku termasuk pekerja harian. Aku punya usaha kuliner yang masih harus ke pasar untuk membeli semua bahan. Tidak jarang aku disentil, “Kok masih keluar rumah sih? Kok masih keluyuran sih? Aku saja belanja online, nggak berani ke mana-mana." Aku ke pasar bukan dengan tanpa was-was. Aku juga takut. Tapi aku lebih takut tidak bisa berpenghasilan dan tidak bisa memenuhi segala kebutuhan. Aku keluar rumah dengan segala proteksi yang aku bisa lakukan. Berhentilah mencemooh, lebih baik mendoakan.

Ayah, aku menulis ini tidak dalam keadaan menangis. Aku tahu ini semua tentang waktu. Perlahan luka hatiku akan membaik. Aku anak ayah yang tangguh, yang ceria. Ayah, aku berjanji akan menjaga ibu dengan sangat baik, belahan jiwamu, yang dulu kemana-mana berdua denganmu. Aku memang tidak menyangka semua yang terjadi di awal 2020 ini menjadi sangat berat seperti ini. Tapi aku percaya, ayah akan bangga dan bahagia ketika aku bisa menjalani hidup sebaik-baiknya hidup setelah tabir gelap ini. Doakan bekalku cukup untuk nanti kita bertemu lagi di surganya Allah. Aku, anak perempuanmu satu-satunya, sangat sayang sama ayah.

Untuk kalian yang saat ini membaca tulisanku, jika kalian masih punya orangtua yang utuh, sayangi dan hormati mereka. Berhentilah menjadi beban pikiran untuk mereka, kurangilah berdebat dengan mereka untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Kalian tidak akan tahu kapan Tuhan akan memanggil orangtua kalian. Tuhan tidak akan bertanya apakah kalian siap ditinggal atau tidak. Jika sudah tiba waktunya, kalian akan menyesali semua perbuatan buruk yang kalian pernah lakukan untuk mereka. Bagaimana pun mereka adalah orangtua kalian, yang sudah merawat dan mencintaimu sejak kalian lahir sampai sekarang.

#ChangeMaker