Mengajar dari Rumah, Keseharianku Dampingi Murid-Murid yang Kebanyakan Tak Berponsel

Endah Wijayanti diperbarui 08 Apr 2020, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengubah rutinitas di tengah panedemi virus corona ini memang tidak mudah. Mengatasi rasa cemas dan was-was pun membuat kita tak nyaman. Kita semua pun berharap semua keadaan akan segera membaik. Melalui Lomba Share Your Stories: Berbagi Cerita tentang Pandemi Virus Corona ini Sahabat Fimela berbagai cerita dan harapannya di situasi ini. Langsung ikuti tulisannya di sini, ya.

***

Oleh: Shanti Dwijayanti Parnarini

Work from home. Salah satu istilah yang akhir-akhir ini sedang nge-trend di tengah pandemi Virus Corona. Aku, sebagai seorang pengajar di sebuah sekolah dasar cukup kerepotan. Karena sekolahku termasuk pinggiran. Di mana orangtua murid kebanyakan tidak memfasilitasi anak-anak mereka dengan piranti yang memuat kecanggihan teknologi jaman sekarang. Hanya 50% dari seluruh jumlah murid yang memegang smartphone. Sehingga aku pun harus menggunakan media sosial paling sederhana dan hampir setiap orang punya, yaitu What's App.

Setiap pagi, aku mengurusi anak bungsuku yang masih berusia dua tahun lebih dahulu. Memandikannya, menyiapkan makanannya, dan mengondisikannya agar aku bisa memegang HP-ku untuk memulai rutinitas WFH-ku. Sedangkan anak pertamaku, berusia 11 tahun (sekaligus muridku sendiri juga). Dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Aku juga selalu memberinya materi dan tugas yang sama seperti temannya tanpa memberi pengecualian ataupun keistimewaan.

Hari pertama, aku meminta bantuan salah seorang murid di kelasku untuk mengumpulkan nomor WA teman-temannya agar bisa kumasukkan ke grup khusus yang kubuat selama mereka belajar di rumah. Awalnya berjalan lancar. Dari 54 murid yang ada, sudah 30an anak yang masuk ke dalam grup. Sisanya memang tidak memiliki HP.

Sebenarnya, aku ingin sekali kegiatan belajar online yang keren seperti para pelajar di kota yang menggunakan aplikasi agar bisa tetap bertatap muka meski hanya lewat layar smartphone. Tapi aku tak bisa berharap terlalu tinggi, karena aku sadar kemampuan siswaku yang tidak semuanya memiliki fasilitas HP.

2 dari 3 halaman

Rutinitas yang Tidak Mudah

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Hari kedua, aku mulai memberi materi yang kali pertama. Kusertai tugas sederhana menjawab beberapa pertanyaan terkait materi. Kubatasi sebelum jam 12 siang harus terkirim semua hasil pekerjaannya. Namun, harapan tinggal harapan. Entah mengapa, mereka tidak bisa menyelesaikan tepat waktu. Sehingga aku memberikan keringanan bisa dikumpulkan besoknya.

Hari ketiga, keempat, dan seterusnya bukan semakin berkembang baik. Namun malah semakin mundur. Banyak siswa yang hanya membaca tanpa memberikan tanggapan/respons atas materi yang kuberikan. Hanya segelintir saja yang tetap mengikuti dengan antusias. Sementara aku bukan tipe guru yang suka mengancam/menakuti siswa agar bergerak sesuai perintahku. Jadi, aku sebelumnya menulis permintaan maaf dan mengeluarkan sejumlah siswa dari grup WA yang kubuat itu dengan tujuan agar tidak memberi pengaruh negatif pada siswa yang masih aktif.

Aku terus memberikan motivasi pada siswa yang tersisa agar mereka tetap semangat mengikuti materi demi materi, karena aku berjanji akan memberikan nilai plus pada mereka yang masih tersisa. Hingga hari ini, hanya tinggal 17an siswa yang masih aktif dalam grup tersebut.

Aku memberi tugas yang bervariasi agar mereka tidak jenuh. Tidak hanya menjawab pertanyaan pada materi. Aku juga menyuruh mereka merekam suara mereka saat bernyanyi lagu wajib, membaca sebuah dongeng, menggambar, juga membuat cerita tentang perasaan mereka tentang virus corona. Sebisa mungkin aku membuat tugas yang tidak merepotkan orangtua mereka. Karena profesi mereka yang rata-rata sebagai buruh kasar tambak garam sudah cukup menguras tenaga mereka seharian. Jangan sampai aku juga menguras pikiran dengan menyusahkan untuk menyelesaikan tugas anak mereka.

3 dari 3 halaman

Tetap Lakukan yang Terbaik

Ilustrasi | unsplash.com/@christianw

Jadi, begitulah rutinitasku setiap hari selama work from home. Pagi aku menyapa mereka, memberi materi/tugas. Siang hingga sore aku sibuk dengan urusan dapur, rumah, anak dan suami (sambil aku mengontrol/mengoreksi hasil pekerjaan siswa yang sudah selesai). Saat aku menjelang tidur pada malam hari, aku menyiapkan materi dan tugas untuk diberikan kembali pada besok harinya. Walaupun yang tersisa hanyalah 25% dari jumlah murid keseluruhan, semangatku tak surut.

Aku tetap percaya, tak ada hasil yang mengkhianati proses. Setidaknya, aku telah memaksimalkan segala usaha untuk tetap mengajar dan mendidik mereka setiap hari dalam keterbatasan fasilitas yang mereka punya. Tak jarang juga aku selipkan pesan-pesan moral ataupun pengetahuan umum tentang corona di sela waktu luang dengan mengirimkan pesan gambar pada grup.

Semoga pandemi ini bisa segera berakhir. Agar Indonesia bisa kembali normal seperti sedia kala tanpa adanya lagi social distancing. Aku sebagai guru, dan mereka sebagai siswa; lebih merasa berbahagia jika bisa sekolah bertatap muka seperti biasa tanpa perantara sosial media pada layar smartphone. Bermain, bercengkrama, bercandatawa, berdiskusi langsung, cium tangan seperti biasa, membeli jajanan pada abang penjual keliling. Ah, betapa kami sangat merindukan semuanya itu.

#ChangeMaker