Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.
***
Oleh: Tyana Arsya
Ujar-ujaran bijak berkata bahwa nama adalah doa. Di dalam nama, terselip harapan dan mimpi orangtua yang seharusnya, (jika tidak bisa dibilang wajib) diwujudkan oleh sang anak. Tapi aku membuang nama pemberian orangtuaku agar bisa hidup layak!
Sebelum lebih jauh bertutur, ada baiknya kita berkenalan dulu. Namaku Nur. Tentu saja ada versi lengkapnya. Tidak panjang, sebab aku terlahir hampir 32 tahun lalu, di mana nama yang simpel lebih hits. Yang jelas, tiga huruf depan nama panjangku itu adalah muara kisah ini.
Berbeda dengan masa sekolah dasar yang apa adanya tapi seru dan sukar dilupakan, masa SMP, justru adalah titik balik di mana aku memutuskan membenci nama pemberian orangtua dan memprotes Tuhan akan tindakannya mengirim tiga huruf itu ke kepala ayah dan ibu ketika aku lahir.
"Nur itu kan artinya cahaya, kok kamu gelap, sih? Cahaya kegelapan apa gimana, nih?" Seorang anak laki-laki dari kelas yang sama, berkata dengan nada canda di hadapan banyak orang. Seketika semua sepakat menatapku dari atas sampai bawah. Nyata memang, wajah kusam dan kulit tubuh legam ini jauh dari definisi 'cahaya'.
Lain waktu, seorang pedagang kasesoris rambut di lapak dalam pasar tradisional, menyoalkan namaku ketika seorang teman menyapa tepat di depannya. Ia berkomentar sembari tertawa-tawa kecil seolah itu adalah lelucon segar yang pantas dibahas bersama agar suasana semakin meriah. Aku hanya bisa diam memendam malu dan luka sekaligus. Pura-pura sibuk melihat-lihat aneka jepitan rambut lucu di teras lapak, air mata kularang keras untuk turun menyuarakan rasa hati.
Sejak itu, perlahan tapi pasti, dalam hati mulai menimbun dendam dan harap bahwa suatu hari nanti aku akan membuang nama sialan ini agar bisa bergaul tanpa rasa risih. Dan itulah yang kulakukan selama bertahun-tahun kemudian. Lari dari nama asli, bersembunyi dalam nama yang berbeda sembari terus mengutuk diri yang semakin ke sini semakin tak sesuai ekspetasi.
Menerima dengan Lebih Ikhlas
Ya, aku berpikir bahwa dengan memiliki nama yang cantik dan kekinian, nada hidup akan lebih merdu. Tapi ternyata nama cantik buatan itu pun mengandung racun. Semakin cantik nama yang dipakai, orang dengan mudah memandang dengan tawa tertahan seolah berkata, betapa kecantikan nama itu tak seimbang dengan fisikku yang sangat standar.
Sekitar awal tahun 2012, ketika divonis dokter harus menjalani pengobatan enam bulan, aku mulai banyak berpikir tentang banyak hal, terutama penyangkalan-penyangkalan yang kulakukan. Ada rasa getir manakala satu per satu keunggulan nama pemberian orangtua mulai tersibak.
Ah, betapa aku buta selama ini. Terlilit dalam jaring haus pujian dan lupa bersyukur. Hanya karena segelintir orang yang berlidah keras, aku menutup mata atas doa yang telah disematkan orang tua sejak menjejak dunia pertama kali.
Ketika mantap untuk berhijab, aku memutuskan untuk menerima nama pemberian orangtua itu dengan ikhlas dan menyadari bahwa sebenarnya akulah yang enggan melihat banyak hal baik yang terjadi ketika nama itu disandang, dan itu tidak kudapatkan selama masa penyangkalan. Dan mengenai ucapan orang, perihal ketidakcocokan antara nama dan kondisi fisik serta hal lain yang menyertainya, aku memilih untuk membuktikan bahwa cahaya tidaklah harus datang dari sesuatu yang gemerlap melainkan ia bisa saja hadir dari sesuatu yang biasa saja tapi memiliki niat untuk bersinar dan cantik hati itulah cahaya diri sebenarnya.
#ChangeMaker