Kita Perlu Menerima Kenyataan bahwa Sebagian Orang Hidupnya Memang Serba Mudah

Endah Wijayanti diperbarui 26 Mar 2020, 15:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

***

Oleh: NT

Berkali-kali, ketika aku mengingat bagaimana payahnya diriku sendiri, rasanya aku hidup hanya untuk menyesali. Melihat setiap orang dengan mudahnya mendapatkan yang mereka inginkan, sementara aku mesti berjuang berkali-kali lipat untuk hal itu. Sepenglihatanku, mereka ‘cantik’ lalu disusul pintar dan terlahir dari keluarga serba lebih. Apa pun kelihatan sangat mudah bagi mereka, dan mengapa bukan aku yang mendapatkannya?

Ketika dengan mudahnya mereka menarik perhatian khalayak, semua orang memuji apa yang mereka lihat. Sementara aku berdiri di belakang, memperhatikan bagaimana kehidupan bermain-main. Bagaimana pujian-pujian itu dilontarkan, mengapa rasanya tidak cukup adil? Mengapa aku harus ‘jelek’, sedikit bodoh, lalu terlahir di keluarga serba sederhana?

Sedari kecil aku selalu memikirkannya. Karena semua juga tahu, ketika kita terlahir tidak sesuai dengan standar yang dunia buat kita akan terbuang begitu saja, diabaikan sebagai yang tidak ada. Aku kesulitan untuk menghadapi ‘aku’ yang demikian. Ketika aku harus menatap warna kulitku yang agak gelap, kesedihan lain justru muncul. Tidak cukup pintar untuk berada di atas panggung kompetisi, aku tidak bisa memberikan pertunjukkan pdaa mereka dan menjelaskan bahwa tidak ada yang namanya kesempurnaan. Tapi, seakan semua tidak perduli. Mereka hanya melihat bagaimana aku menampilkan diri dan sama sekali tidak menonjolkan apa-apa. Aku mencoba untuk lari dari kenyataan, bahwa aku terus saja membandingkan bagaimana hidup mereka terlalu sempurna. Padahal aku selalu menutup mata untuk melihat sekeliling. Aku tidak pandai bersyukur. Aku bahkan hampir membenci diriku sendiri.

2 dari 2 halaman

Fokus Memperbaiki Kualitas Diri

ilustrasi./Photo by Oleg Magni from Pexels

Hingga, aku mendapatkan ilmu baru. Tentang bagaimana standar cantik itu bukan penentu, hanya buatan manusia bukan Tuhan yang menciptakan. Serta kekayaan bukan pengukur apakah aku bahagia atau tidak. Meski aku juga tidak cukup pintar untuk berhitung, tetapi aku cukup bisa menghitung seberapa banyak bersyukur atas hidup yang Tuhan berikan saat ini.

Sekarang diriku yang pertama, aku harus melihat diriku terlebih dahulu, mencintai dengan sepenuh hati, serta membangun energi positif. Namun, bukan berarti aku melupakan pengalaman negatif begitu saja. Menurut buku yang aku baca belakangan ini: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoh Amat, pengukuran yang benar tentang penghargaan diri seseorang bukan pada bagaimana seseorang merasakan pengalaman positifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatifnya. Karena seseorang yang benar-benar memiliki penghargaan diri yang tinggi mampu melihat bagian negatif dari pribadinya secara blak-blakan, kemudian bertindak untuk memperbaikinya.

Pengalaman negatif yang selama ini terjadi, aku akan terus mencoba memperbaikinya, serta menemukan keberanian dan kepercayaan diri. Menjadi diriku yang apa adanya, berhenti membandingkan diriku dengan yang lain. Karena setiap orang memiliki batasan-batasan diri dan harusnya menerima hal itu serta menjadikannya sebagai sumber kekuatan.

#ChangeMaker