Memaafkan Memang tidak Mudah, tapi Maaf Memudahkan Langkahku

Ayu Puji Lestari diperbarui 18 Mar 2020, 12:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

Oleh: YY

Ada tiga hal yang paling sulit dilakukan di dunia ini yaitu minta maaf, memaafkan, dan mengikhlaskan. Setidaknya itu menurutku. Dan akan jauh lebih sulit jika pada kenyataannya, orang-orang yang telah menyakiti kita adalah orang-orang terdekat seperti keluarga, saudara, teman, dan pasangan. Orang-orang yang kita harapkan menjadi sosok yang paling memahami dan menyayangi kita, tetapi justru merekalah yang dengan tega menyakiti kita.

Di keluarga kecil kami, aku adalah anak sulung dengan seorang adik perempuan. Sejak kecil kami sering diperlakukan berbeda. Setiap kali bertengkar, entah itu karena kesalahan adikku atau kesalahanku atau kesalahan kami berdua, aku dituntut untuk selalu mengalah oleh kedua orang tuaku.

Bahkan ada banyak kejadian yang menunjukkan betapa aku seorang kakak perempuan yang baik dan penyayang. Di saat dia menumpahkan garam, aku akan mengatakan pada ibuku kalau aku yang melakukannya. Di saat dia marah dan membanting mainan kami sehingga pecah dan berserakan di lantai, aku akan mengaku kalau aku yang melakukannya. Demikian pula saat dia bermain hingga kecapekan dan muntah, aku akan dengan senang hati membersihkan muntahannya. Aku tak ubahnya malaikat pelindung yang takut dia sengsara. Sewaktu kecil, aku fine-fine saja dengan itu semua.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Semua Masalah Dimulai dan Aku tak Bisa Menghindar

ilustrasi perempuan/Photo by Taufik Akmal Fadhilah from Pexels

Satu kejadian yang paling tidak bisa kulupakan adalah saat kami bertengkar hingga aku terluka dan berdarah, tak disangka orang tuaku tetap memarahiku dan membelanya. Kejadian itu membuatku trauma dan tidak bisa mempercayai keluargaku sendiri. Berlebihan? Kurasa tidak. Anak kecil memiliki rekaman memori yang sangat kuat di otaknya sehingga dia bisa mengingat kejadian yang paling menyenangkan dan menyedihkan baginya, meskipun hingga puluhan tahun kemudian.

Berbagai macam peristiwa yang tidak menyenangkan sering terjadi hingga kami dewasa. Di mana kami sering meributkan hal kecil hingga hal besar, yang kebanyakan disebabkan karena keegoisannya, hingga aku yang pada akhirnya harus mengalah, meminta maaf, dan orang tuaku yang selalu membelanya. Selalu dan selalu berakhir dengan pola yang sama.

Aku iri ketika dia dibiayai kuliah dan aku harus membiayai kuliahku sendiri. Aku iri ketika dia dengan gampangnya berpindah keyakinan tanpa dicaci maki sedikitpun hanya demi menikahi pria yang dia inginkan, dan aku yang sering dikecam karena membela keyakinanku sendiri. Aku iri dengan tinggi badannya yang mencapai 170 cm sedangkan aku sebagai kakaknya hanya 160 cm. Aku iri dengan kulit putihnya karena kulitku kuning kecokelatan. Aku iri dengan nilai akademisnya yang lebih baik dariku.

Aku iri karena ibuku selalu bercerita kepada orang lain tentang kelebihan-kelebihannya dan sebaliknya, sering menceritakan kelemahan dan keburukanku. Aku iri karena dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan dan aku yang selalu kelelahan dalam berjuang. Aku sedih karena terus menerus dibanding-bandingkan dengannya. Terlebih, aku tak pernah protes dan selalu menerima. Apapun itu.

Aku yang pada awalnya sangat menyayanginya, perlahan berubah membencinya. Bukan hanya adikku, tetapi juga kedua orang tuaku. Aku merasa bahwa merekalah sumber penderitaan terbesarku di dunia ini. Hingga tanpa aku sadari, aku mulai membenci diriku sendiri yang tak pernah bisa mengalahkan adikku dalam hal apapun itu. Aku merasa sungguh menyedihkan dan tak layak untuk dicintai.

Hingga pertemuanku dengan seseorang yang sekarang menjadi suamiku mengubah segalanya. Seseorang berhati mulia yang mencintaiku apa adanya. Satu kalimat yang paling berkesan darinya adalah kita tidak bisa menuntut siapapun (termasuk orang tua dan saudara kita) untuk mencintai kita tanpa syarat. Cintailah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kamu mencintai orang lain. Karena jika kamu sudah memberikan cinta yang cukup untuk dirimu, maka orang-orang yang berada di sekitarmu akan lebih mencintaimu.

3 dari 4 halaman

Mencintai Diri Membuatku Merasa Lebih Hidup dan Bahagia

ilustrasi perempuan/Photo by Vino Li on Unsplash

Sejak saat itu, kuputuskan untuk lebih mencintaiku diriku. Aku mulai berani berkata tidak untuk hal-hal yang tidak sepaham dan sejalan denganku. Aku tidak segan menunjukkan rasa tidak suka di depan teman-teman, saudara, hingga orang tuaku sendiri jika yang mereka katakan dan perbuat sudah melewati batas kesabaranku. Aku tidak khawatir lagi bersuara karena aku menyadari kalau kebisuanku selama ini membuatku sakit dan terluka, bukan hanya batin, tapi juga fisik. Ya, pada akhirnya aku sadar kalau selama ini bukan orang lain yang membuatku menderita, tapi akulah yang kurang mencintai diri sendiri.

Aku memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan orang tuaku. Tentang apa yang selama ini kupendam, tentang perasaan terdalamku sebagai seorang anak sekaligus kakak. Tentang segala hal yang terus menghantuiku selama puluhan tahun ini.

Dari cerita ibuku aku tahu jika di keluarganya dia juga diperlakukan seperti itu. Ibuku anak sulung dari lima bersaudara. Dia menjadi kakak tertua sekaligus mengemban tanggung jawab besar untuk selalu menjaga dan melindungi adik-adiknya. Dia yang selalu disalahkan jika terjadi apa-apa pada adik-adiknya. Pola asuh yang sama yang didapat ibuku dari kakek dan nenek juga diturunkan kepada anak-anaknya. Ibarat “the devil circle” atau lingkaran setan yang terus berkelanjutan.

Meskipun sulit dipercaya, tapi aku memahaminya. Kami saling minta maaf dan mengintrospeksi diri. Sejak saat itu, aku menyadari kalau setiap orang harus belajar menghargai dan mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum dapat menghargai dan mencintai orang lain.

Aku berjanji jika suatu hari nanti punya anak, aku akan berusaha menjadi orang tua terbaik untuk anak-anakku. Orang tua yang memberikan kasih sayang utuh untuk semua anaknya. Orang tua yang menyayangi tanpa perbedaan. “The devil circle” harus berhenti di diriku dan tidak akan kuteruskan kepada keturunanku. Karena kita memang tidak bisa memilih akan dilahirkan dari orang tua yang bagaimana, tapi kita selalu bisa memilih untuk menjadi orang tua yang seperti apa.

Aku telah memaafkan dan terus berusaha untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Kuharap suatu hari nanti, aku bisa membuktikan kepada orang tuaku bahwa aku bisa menjadi anak mereka banggakan. Seorang anak yang selalu bahagia karena dia telah mencintai dirinya dengan sebagaimana mestinya. Seorang anak yang bukan hanya telah berdamai dengan orang-orang di sekitarnya, tetapi juga telah berdamai dengan dirinya sendiri. Semoga siapapun yang membaca tulisan ini yang belum bisa memaafkan orang lain dan diri sendiri, dan belum bisa menghargai dan mencintai diri sendiri, bisa melakukannya demi kedamaian di dalam hati. Demi kehidupan yang jauh lebih baik.

4 dari 4 halaman

Simak Video di Bawah Ini

#ChangeMaker