Fimela.com, Jakarta Jika menyebut Dian Sastrowardoyo, layak menjadi salah satu cerminan perempuan mapan. Dilihat dari bentangan karier maupun kehidupan pribadinya, ibu dua anak itu saat ini sudah berada di fase yang mungkin diidamkan banyak orang, memiliki karier yang cemerlang tanpa harus mengorbankan kepentingan keluarga untuk menggapainya.
Namun seperti manusia pada umumnya, kemapanan hidup yang dimilikinya pun tak serta merta didapatkan. Dalam prosesnya, baik dari segi karier maupun kehidupan pribadi, perempuan 37 tahun itu membutuhkan waktu yang tak sebentar. Diakuinya, hal tersebut baru bisa didapatkan oleh istri dari Indraguna Sutowo itu ketika ia sadar akan pentingnya mencintai diri sendiri.
Bagi Dian, mencintai diri sendiri atau self love merupakan bagian penting untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupannya di depan kamera sebagai public figure dan sosok Dian Sastro sebagai personal.
What's On Fimela
powered by
"Aku percaya di satu sisi aku bekerja sebagai di dunia hiburan, pekerja dalam dunia hiburan juga perlu punya work life balance. Kalau temen-temen yang nggak di dunia hiburan, ngantor nih, pulang kantor dia sama keluarga dong atau sama temen-temen. Dia nggak bisa selalu diteror sama atasannya untuk ngerjain kerjaannya di hari Minggu misalnya. Karena Sabtu-Minggu emang bukan jamnya dia kerja. Berarti sebagai pemeran di dunia hiburan aku work life balance-nya gimana ya. Kalau selama ini kan belum ada preseden yang dijadikan acuan, jadi aku membuat preseden aku sendiri bahwa saya bekerja secara profesional 100%. Kalau lagi sama keluarga di mall atau lagi sama anak-anak, aku akhirnya bikin boundaries, 'sorry ya mba, sorry ya bu, mohon pengertian ya aku lagi sama keluarga, saya lagi liburan'," ungkap Dian Sastrowardoyo saat berbincang dengan Fimela.com beberapa waktu lalu.
Membuat batasan untuk memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan di ruang publik pada akhirnya memberikan kenyamanan dalam kesehariannya. Dengan sikap demikian, pemeran Cinta dalam film AADC itu seolah melakukan langkah berbeda dari perempuan Asia kebanyakan yang masih sungkan untuk menolak permintaan orang lain.
"Ada yang bilang aku sombong, saat aku menolak memenuhi permintaan orang untuk foto, di saat lagi nggak kerja. Tapi honestly, aku merasa saying no dengan sopan ya itu adalah bentuk self love aku. In my personal experience, aku jadi sangat nyaman dalam hidupku dengan belajar bilang nggak, terutama soal foto bareng itu," paparnya.
Pada akhirnya, selain bisa menjadi nyaman menjalani kehidupannya sebagai istri dan ibu di luar sorotan kamera, sikap Dian yang demikian pun bisa memberikan dampak positif dalam perjalanan kariernya sebagai pelaku seni peran.
Menurutnya, dengan menerapkan 'pagar' tersebut, ia bisa menikmati kesehariannya sebagai ibu tanpa perlu khawatir mendapat 'gangguan' dari para penggemarnya.
"Aku merasa ini (pekerja seni) adalah pekerjaan aku, bukan perangkap hidup atau bukan kayak tekanan jiwa. Temen-temen aku yang kerjanya jadi aktor atau jadi aktris banyak yang merasa ini adalah hukuman hidup, beban jiwa. Ini bukan resiko menurutku. Tapi dengan kita bisa bilang 'nggak', itu sudah menunjukkan kita mencintai diri kita. Kan ngga perlu bodyguard atau manager untuk bilang 'nggak'. Aku pengen bisa ke pasar sendirian dengan anakku, tanpa bodyguard dan manager. Jadi aku harus bisa bilang nggak dulu dong buat diriku sendiri," ucap Dian.
Tekanan sebagai Public Figure
Meski saat sudah mampu sedikit meng-inovasi arus 'budaya Timur' yang masih sungkan untuk menolak, pada prosesnya Dian ternyata sempat merasa hidupnya 'terkurung' dalam publikasi. Mengawali karier sejak usia remaja, dirinya juga merasa tekanan publik terhadap 'citra baik' yang harus diberikan seorang public figure pada setiap masyarakat, cukup menguras batinnya.
"Dulu waktu awal-awal karier ya, 10 tahun pertama berkarier tuh kayaknya beban banget, kayaknya tertekan banget secara psikologis yang adanya di bawah sadar. Jadi aku nggak sadar bahwa sebenarnya aku tuh happy nggak sih. Bebannya adalah merasa bahwa, kenapa pekerjaan di dunia hiburan ini sebagai aktor kayaknya beban banget secara psikologis. Kita nggak boleh bilang nggak, kita harus selalu ngikutin opini orang, pencitraan diri tuh jadi suatu yang di agung-agungkan banget. Sebenernya kalau secara manusia normal, ini bukan lingkungan kerja yang sangat sehat buat manusia mana pun karena bisa 'memakan' sisi pribadi kita secara psikologis yang agak kurang fair sebenernya," papar Dian.
Yang kemudian ia sesali, kesadaran akan pentingnya memagari diri dari dua hal yang berbeda, yakni pekerjaan dan kehidupan pribadi baru ia rasakan selama 10 tahun terakhir.
"Bagian yang belajar mengatakan 'nggak' itu tuh benar-benar baru aku pelajari 10 tahun terakhir ini. Jadi kebayang nggak, Aku udah 38 tahun, berarti kan aku selama 28 tahun nggak tau caranya ngomong 'nggak'. Betapa bebannya jadi aku, betapa bebannya jadi seorang perempuan Indonesia, karena culture kita tuh nggak pernah ngajarin kita untuk bilang 'nggak'," lanjutnya.
Kemudian, setelah menetapkan diri untuk konsisten memisahkan kehidupan panggung dan pribadi, Dian Sastrowardoyo merasa jauh lebih baik. Melalui cara yang persuasif dalam menghadapi publik yang masih kerap 'mengganggunya' saat tengah menghabiskan waktu bersama keluarga, Dian yakin masyarakat pun akan mengerti dan bisa membedakan mana statusnya sebagai public figure, dan kapan seorang Dian Sastrowardoyo keluar seperti ibu pada umumnya.
"I totally feel happier sejak aku bisa bilang 'nggak', dan sejak merasa bilang 'nggak' itu bukan berarti orang yang jahat. Aku tahu betul aku adalah orang yang seperti apa, dan yang penting aku suka sama diri aku. Kalau orang lain mau nggak suka ya nggak apa-apa, nggak harus semua orang suka juga. Jujur aku lebih sayang sama diri aku sendiri sejak aku belajar mengatakan 'nggak," tegas Dian Sastrowardoyo.
Bentuk Budaya Baru
Terakhir, yang kemudian menjadi concern perempuan kelahiran 16 Maret 1982 itu ialah bagaimana menularkan 'virus' self love pada banyak orang. Menurutnya, self love idealnya penting untuk dimiliki semua manusia, meski kerap diidentikan dengan sosok perempuan.
Teruntuk para perempuan yang masih kerap terkurung dengan sikap sungkan khas budaya Timur, penting menurut Dian untuk bersama-sama mengubah budaya yang sudah mengakar terkait hal tersebut. Tanpa bermaksud menyalahkan budaya yang sudah kadung tertanam di masyarakat, bagi Dian lebih penting untuk setiap orang bisa lebih menghargai diri sendiri, dengan memberikan batas privasi tertentu.
"Part of self love adalah belajar untuk bilang 'sorry'. Biasanya kita perempuan Asia, perempuan Indonesia selalu diajarin harus being pleasant, jarang banget kita tuh diajarin untuk bilang 'nggak'. Berarti kan berapa banyak perempuan yang nggak ngerti self love itu apa. Berapa banyak perempuan yang sebenarnya secara nggak sadar tuh nggak sayang sama dirinya, nggak bisa ngurusin dan melindungi dirinya sendiri, karena kesulitan untuk bisa bilang 'nggak'. Lebih takut nggak disukain sama orang lain dari pada diri sendiri," tuturnya.
Tidak bermaksud menjadikan dirinya role model sebagai perempuan yang sukses menerapkan self love, Diandra Paramita Sastrowardoyo ingin membuka pikiran kaum hawa untuk sama-sama mulai membentuk budaya baru untuk berani menolak sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan kenyamanan diri mereka sendiri.
"Kita memang orang Indonesia, tetapi culture kan juga masih kita bentuk bareng-bareng. Apa benar culture itu adalah sesuatu yang selalu meletakkan perempuan jadi bagian yang selalu tertindas, yang nggak boleh mendapatkan kebebasannya? Saya rasa nggak. Tinggal kita definisiin bareng-bareng aja secara positif, bahwa culture di Indonesia adalah juga sesuatu yang sangat membebaskan manusia untuk mendapatkan kebebasan dalam berekspresi, tanpa harus menindas salah satu di antara itu. Kita harus set up boundaries dan tahu betul, mana yang baik untuk diri kita, dan mana yang tidak baik. Aku nggak mau ikutin kata anda hanya karena saya harus memenangkan your approval gitu'," himbaunya.
"Mau mengatakan tidak itu bukan berarti kamu adalah a bad person, it's self love. Saying no, it's self love," ujarnya mengakhiri.