Bahagia Ada dalam Genggaman Kita, Bukan Perkataan Orang Lain

Endah Wijayanti diperbarui 06 Mar 2020, 09:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan egois. Justru dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Di antara kita ada yang harus melewati banyak hal berat dalam hidup sampai rasanya sudah tak punya harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Melalui salah satu tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba My Self-Love Story: Caramu untuk Mencintai Diri ini kita akan memetik sebuah inspirasi baru yang dapat mencerahkan kembali hidup kita.

***

Oleh: Sherly Gondo

Pagi Fimela readers, perkenalkan aku Sherly Gondo. Di sini aku akan mengulas kisah hidupku dari yang minder sampai berusaha mencintai diriku sendiri terlepas dari apa kata orang-orang yang kontra.

Aku anak pertama dari tiga saudara kembar. Dari kecil bisa dibilang kehidupan kekuatan mentalku sangat diuji. Mulai dari kehidupan rumah tangga orangtuaku yang kandas ketika usiaku 5 tahun dan punya saudara kembar yang memang harus dipisahkan karena ibuku tidak mampu membiayai 3 anak sekaligus dengan posisi single parent.

Saudara kembarku diberikan ke kakak laki-laki tertua dari orangtuaku dan satunya lagi ke kakak perempuan tertua dari orangtuaku. Sebetulnya kami kembar tahu satu sama lain bahwa kami ini saudara kandung meskipun kami jarang komunikasi dan jarang bertemu satu sama lain. Tapi diriku dituntut tidak boleh mengakui saudara kandung kembaraku sebagai saudaraku.

Selain itu di tempat keluarga mamaku karena aku dan mamaku bukan dari keluarga yang bisa dikategorikan kelas menengah ke atas di saat itu, tapi masih tergolong cukup. Keluarga mamaku sering memperlakukan kami seperti ada jembatan pemisah. Mulai dari bantuan sekolah, uang bulanan dan di mana akhirnya mamaku memutuskan tidak menerima bantuan lagi dari keluarga mamaku. Kalau ditanya alasan mengapa tidak mau menerima lagi, ya boleh dibilang kami sudah terlalu lelah, ketika kami sudah cukup berjuang untuk hidup tapi harga diri kami masih diinjak-injak, pastinya ada titik lelah juga ya karena itu manusiawi.

Dengan berjalannya waktu pun dan semakin dewasa usiaku beranjak, jujur rasa minder dan tidak diterima dalam lingkungan sosial semakin besar, kadang aku pun harus menemui hinaan dan cacian dari setiap langkah yang aku ambil. Waktu sekolah, aku harus menerima cacian yang kalau ada sebagian anak usil yang mengatakan aku anak haram karena papaku tidak pernah muncul untuk ambil rapor.

Di dunia kerja, aku pun harus mengalami diskriminasi yang dihadapkan dengan perkataan bahwa memperkerjakan diriku karena kasihan tidak punya papa. Ada lagi dimana seorang manajer terkadang menyinggung bangku kuliah, padahal manajerku tahu bahwa diriku tidak kuliah. Tapi dikatakan selalu dalam perumpamaan dan ujungnya selalu berkata, “Oh ya sih, kamu nggak kuliah." Mungkin readers kalau itu terjadi di dalam diri readers, tentunya kadang jenuh.

2 dari 3 halaman

Terpikir untuk Bunuh Diri

Ilustrasi/copyright unsplash.com/@icons8

Sesekali diriku ingin bunuh diri, tapi hati kecil tidak mengizinkannya. Tapi ada daya tekanan mental yang kuterima membuat pribadiku menjadi minder, dan sering merasa diriku tidak pantas hidup di dunia, kalau ujungnya cuma dihina dan dicaci maki. Namun tidak lama berselang stelah proses hidup yang tak lalui bertahun-tahun, di usia 23 tahun diriku dikenalkan oleh teman SMA-ku seorang teman. Dan sampai sekarang kami masih berhubungan baik dengannya. Dialah yang membuat diriku untuk belajar mencintai diri sendiri, agar ketika orang lain mengganggap kita rendah, setidaknya kita bisa kuat menghadapi dan menerima bahwa hidup di dunia akan selalu ada pro dan kontra yang tidak akan selamanya positif dan tidak akan selamanya negatif.

Temanku ini mengubahku dari awal mulai dari cara berpakaian, dari gayaku yang menurutnya jelek diubah jadi lebih baik, tapi jangan dibayangkan seperti sosialita ya. Setelah gaya berpakaian membaik, pola pikirku pun dibantu olehnya untuk berubah perlahan-lahan. Setelah diubah pelan–pelan oleh temanku, jadinya aku lebih baik dalam menghadapi segala perkataan orang. Tapi bukan berarti semua mulus ya, adanya kalanya diriku ya terpuruk kembali.

Apalagi saat ini jujur, aku pun ada di fase yangn bisa dibilang tidak peduli, bisa dibilang galau. Kenapa demikian? Karena orangtuaku sakit, ya bersyukurnya dengan mamaku sakit ini hubungan dengan keluarga mamaku mulai membaik meskipun tidak 100%, tapi sangat disayangkan kedua adikku yang masih belum mau membuka nurani mreka, ketika melihat mamaku sakit. Masih tetap dengan sikap acuh tak acuh. Tapi dengan kejadian ini pun, aku harus menghadapi kenyataan kedua adikku sudah berkeluarga, sedangkan diriku harus kandas dua kali berturut-turut dalam membina sebuah hubungan. Kadang di saat seperti ini, orang-orang selalu sering mengatakan, “Ngapain kamu susah-susah rawat ortumu, kan kamu juga harus bahagia. Masa sih, kamu nggak mau menikah." Itulah hal yang sering harus aku terima.

3 dari 3 halaman

Ujian Hidup Menguatkan

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@d-ng-nhan-324384

Ucapan tentang menikah itu sudah benar-benar menghantui diriku. Mulai dari ikut aplikasi dating online, minta dikenalin teman-teman yang berujung pada kekecewaan semua. Jujur itu membuat sempat mental down juga sih, tapi entah kenapa semenjak aku belajar mencintai dan menerima diriku sendiri, ketika down aku bisa bangkit kembali dalam waktu yang singkat.

Dan diriku kadang menanamkan di dalam pola pikirku bahwa “Toh bukan mereka yang hidupi diriku, mereka cuma bisa komentar. Yang berhak men-judge diriku bukan mereka-mereka yang nyinyir. Tapi Tuhan-Ku." Jadi apabila sekarang dicerca begitu, aku pun jauh lebih kuat menghadapinya. Karena apa? Ya itu, karena aku sudah dalam proses menerima diriku dan memutuskan siapa yang berhak mencintai diriku dan memilih jauh-jauh dari toxic.

Untuk Fimela readers, mungkin kisahku ini tidak lengkap kuceritakan, tapi kurang lebih aku berharap kalian bisa mengambil makna dari kisahku. Bahwa di luar sana masih banyak kok yang lebih susah dan jauh lebih sulit dari gejolak hidup yang harus tak alami. Hidup yang harusnya punya saudara tapi tidak diakui, aku paham smua karena sebab akibat, jadi aku menerima mungkin di kehidupan ini, diriku belum beruntung tapi jika diizinkan untuk reinkarnasi semoga aku bisa ditakdirkan memiliki kehidupan yang lebih beruntung.

Dengan rasa syukur inilah, aku berhasil menghadapi semua hinaan dan cacian yang terjadi selama masa hidupku. Teori memang mudah, tapi ada pepatah, “Ujian dalam hidup itu, yang bisa membuat kita lebih kuat." Itu memang benar karena sudah aku buktikan sendiri, semakin berat ujian hidup semakin aku kuat juga untuk melaluinya dengan hati tegar. Tetap semangat buat Fimela readers yang sempat merasa minder, kalian harus berjuang melawannya, karena hanya kita lah yang bisa melawan rasa minder itu menjadi sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. Karena bahagia ditentukan di genggaman kita sendiri bukan dari perkataan orang lain.

#ChangeMaker