Fimela.com, Jakarta Tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun (toxic relationship). Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang memberi kita luka jelas membuat kita menderita. Namun, selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun tersebut. Selalu ada pengalaman yang bisa diambil hikmahnya dari hal tersebut. Simak kisah Sahabat Fimela berikut yang diikutsertakan dalam Lomba Let Go of Toxic Lover ini untuk kembali menyadarkan kita bahwa harapan yang lebih baik itu selalu ada.
***
Oleh: Budi Rahmah Panjaitan
Aku lahir dari keluarga yang terbilang berkecukupan dan aku adalah anak tunggal perempuan. Sejak masih TK hingga SD, aku merasakan perhatian berlebihan.
Masa SMP, masa di mana aku mulai beralih menjadi sosok remaja. Aku sangat bahagia lama aku mendambakan hal ini. Kurasa, sekarang adalah saat yang tepat untuk mempunyai teman akrab.
Menjelang libur semester, ada kegiatan camping yang akan dilakukan di sekolah. Sebagai persyaratan semua siswa harus menandatangankan surat izin untuk ikut kemping kepada orang tua. Dengan rasa optimis, saat dijemput pulang aku mengeluarkan surat itu di dalam mobil. Aku memberitahu kepada mama papa kalau aku akan ikut camping. Sayang, aku tidak diizinkan. Aku sangat sedih. Harapanku untuk ikut camping sirna sudah.
Aku Lelah Terus Begini
Hari demi hari terus berlalu. Tiada hal yang berbeda dari biasanya. Aku masih merasa sendiri karena tidak memiliki teman. Ya, hari-hariku semu. Berjalan hambar.
Hingga suatu hari aku nekat. Aku pulang dengan teman-temanku dan berencana untuk menonton ke bioskop bersama. Jelas saja, mama dan papa sangat khawatir dan panik mencariku. Bahkan mereka hampir saja menelepon polisi untuk bisa menemukan aku. Mereka benar-benar sangat marah.
Akibat tindakanku itu, papa mama sepakat untuk membuat aku home schooling. Habis sudah harapanku untuk menikmati masa remaja yang kupikir bahagia. Lagi-lagi dengan alasan rasa sayang dan tidak ingin melihat aku kenapa-kenapa. Aku semakin terpuruk dan rasanya tidak ingin lagi melihat dunia yang indah ini. Aku menangis seharian, tidak ingin makan dan mengkunci kamar. Hal tersebut membuat orang tuaku panik.
Di saat yang bersamaan aku berpikir untuk melakukan suatu hal yang bisa membuat orang tuaku sadar apa yang mereka lakukan itu tidaklah benar. Aku sudah tahu skenarionya. Saat mereka ingin mendobrak pintuku, aku seakan ingin mengiris tanganku dengan pisau silet. Aku juga bertingkah layaknya orang yang sedang gila.
Saat itulah papa dan mama menangis histeris melihat keadaanku. Berulang kali mereka menciumku, memelukku, dan kudengar secara perlahan ada kata maaf yang mereka lontarkan. Saat itu hatiku tersentak, apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ini menjadi jalan bagiku agar terbebas dari rasa beracun ini?
Nyatanya ya, semua seakan membaik. Mama papa yang tadinya mengekangku dengan alasan rasa sayang, sudah tidak seperti dulu lagi. Terlebih lagi saat kami bertiga pergi ke psikolog untuk mendapatkan arahan mengenai hal ini. Papa mama sekarang paham cinta dan rasa sayang yang seharusnya menguatkan malah membuat anaknya lemah tak berdaya. Sejak saat itu, aku mulai menikmati hariku, terbebas dari home schooling dan bebas mengembangkan minat belajar dan bakatku.
#ChangeMaker