Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.
***
Oleh: Rhey Kanakava - Tasikmalaya
Gelap, aku masih terbaring dengan mencoba mencari celah cahaya. Memincingkan mata demi melihat jarum jam yang menunjukkan waktu tengah malam. Sunyi, detaknya justru lebih nyaring di telinga yang semakin membuatku susah memejamkan mata.
Sedari tadi setelah Isya’ aku merebahkan tubuh lelahku, rasanya tulang punggung ini patah karena lelah memanggul beban berton-ton jumlahnya. Remuk hingga berbaring saja tak membuatku merasa lebih baik. Padahal aku tidak melakukan pekerjaan kasar yang membutuhkan banyak tenaga. Laptop saja masih menyala dengan layar putih tanpa huruf. Aku ingin menulis banyak cerita berisi mimpi, harapan dan juga kisah inspiratif sebagai terapi healing-ku. Tapi justru itu membuatku sangat lelah. Energiku seperti terserap tanpa sisa tapi tidak menghasilkan apa pun. Sungguh aku lelah.
Sayup terdengar gonggongan Belle, si Husky milik tetanggaku. Masih di tengah malam yang sepi. Sudah hampir 60 menit aku terjaga dengan rasa yang tidak mudah aku ungkapkan. Ruas jari ini sudah habis aku runut dengan istighfar. Tapi aku masih juga merasa khawatir untuk hal-hal yang sebenarnya tidak aku lakukan.
Rasanya bernapas saja makin sulit, sesak. Pergolakan ini tidak juga berakhir, hasrat ingin terus berjuang seiring ingin mengibarkan bendera putih, aku menyerah kalah. Ingin kembali kepada pelukan sang Pencipta. Tetesan air mata membasahi sajadah yang menjadi saksi bisu curahan hatiku malam ini.
Hari-hari menjelang akhir tahun membawaku dalam kenangan luka lama yang 3 tahun ini aku coba lepaskan. Aku pikir semuanya sudah selesai, aku healing, aku memaafkan dan aku dalam perjalanan melupakan. Ternyata tidak, badai itu menghantamku kembali, telak.
Sesak di Dada
Aku tak percaya bisa kembali ke fase yang sudah kukubur dalam-dalam. Ratusan slide yang tak ingin aku ingat kembali bermunculan tanpa perintah si amigdala. Hampir setiap hari kuhabiskan waktu dalam gelembung kesedihan, air mata diam-diam dan marah yang memuncak tapi aku tidak punya samsak untuk melampiaskannya, hingga akhirnya aku menyerang aku sendiri. Bangun dari tidur bukan lagi hal menyenangkan di pagi hari, butuh dorongan kuat untuk menyeret tubuh ini berdiri tegak.
Seperti ada setan yang diam di kiri kanan tubuh ini. Keduanya membisikkan hal yang bertentangan satu dengan lainnya, antara tidak peduli dan overthinking terhadap semua hal. Kekhawatiran yang berlebihan sampai-sampai aku tidak bisa melakukan sesuatu hal yang benar. Buatku ini salah, itu tidaklah benar. Semua kacau porak poranda. Dan aku menyalahkan diri sendiri. Iya benar, I'm judging myself and I'm really savvy to do it.
Perselingkuhan mantan suami bukan hanya menyebabkan perceraian saja. Rasa kehilangan percaya diri, tidak berdaya, tidak layak dicintai dan tidak dihargai menjadi efek jangka panjang yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu aku. Lagi-lagi aku terjebak dalam situasi yang membuatku terus bertanya, “Kenapa ini terjadi padaku, Tuhan?” dan “Andai saja aku tidak begini” terus saja bergantian tanpa pernah ada jawaban yang memuaskanku.
Terngiang juga segala tuduhan yang membuatku merasa kerdil dan tidak adil. Aku ingin marah sekeras auman singa di tengah savana tapi juga tidak sanggup mengeluarkan sumpah serapah demi merendahkannya, yang justru makin melukai hatiku sendiri.
Tak Boleh Menyerah
Tahun lalu dengan keyakinan penuh aku lewati ini semua karena aku sudah belajar menerima dan mencintai diri sendiri. Berusaha tidak menyisihkan rasa sakit bahwa aku ini ditinggalkan tanpa nafkah, menerima menjadi janda dengan segala stigmanya, belajar mengambil sisi positif dan hikmah dari setiap kejadian yang saat itu terjadi tidak pernah terlintas di benak, oh akan seperti akhirnya.
Hasil tidak akan mengkhianati usaha, meski prosesnya terasa lambat dan tidaklah instan. Masih terus berdamai dengan keadaan dan berusaha terus memaafkan diri sendiri. Perjalanan untuk terus bertumbuh, mencintai diri sendiri dan mampu mengucap syukur sekecil apa pun tetap aku jalani setiap hari. Seorang teman pernah berbagi kisahnya, bahwa segala rasa yang ada saat ini tidak pernah berlangsung untuk selamanya. This too shall pass.
Sedih tidak untuk selamanya dan bahagia pun sama. Jangan terjebak dalam situasi yang menyeretmu lebih dalam. Banyak hal baik yang bisa kamu lakukan walaupun kecil bagai biji sawi. Tuhan menciptakan kamu dengan tujuan dan dia tidak pernah salah. Jangan pernah putus asa, tidak ada yang tidak mungkin terjadi jika Tuhan berkehendak.
Aku memutuskan untuk kembali melepas hal yang tidak mungkin aku kontrol. Lebih gentle dan mencintai diri sendiri. Masih banyak mimpi dan harapan yang aku perjuangkan. Sebelum bulan Januari ini berakhir, aku akan kembali tegak dan fokus dengan tujuan yang ingin aku raih. Aku tak lagi mengizinkan rasa cemas dan depresi ini merebut semangat hidupku kembali. Masa depan masih layak kuperjuangkan sampai titik darah penghabisan dan aku tak boleh menyerah.
Tasikmalaya, 28 Januari 2020
#GrowFearless with FIMELA