Tolok Ukur Kebahagiaan Orang Bisa Beda Satu Sama Lain

Endah Wijayanti diperbarui 29 Jan 2020, 10:50 WIB

Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.

***

Oleh: Roxanne Akil - Jakarta

Sebenarnya setiap awal tahun adalah waktunya kita semua untuk bikin resolusi. Semua menuntut dan memaksakan diri untuk berubah atau berevolusi untuk menjadi lebih. Lebih baik, lebih kurus, lebih seksi, lebih sehat, dan lain sebagainya. Tapi ada satu hal yang pasti luput dari keinginan kita untuk berubah tersebut, yaitu resolusi untuk mendapatkan kedamaian di hati (our inner-peace).

Menurut saya hal ini adalah core dari semua masalah dalam hidup yang ingin kita ubah untuk menjadi lebih baik. Logikanya bagaimana mau konsisten dalam perubahan kalau core-mind kita enggak di reset terlebih dahulu. Bagaimana kalau sudah mati-matian mengubah lifestyle kita seperti olahraga berlebihan atau diet terlalu ketat, tetapi karena inner-peace kita terganggu atau zen moment-nya enggak ada lagi, bagaimana bisa kita konsisten apalagi berkomitmen untuk terus menerapkan lifestyle baru kita tersebut?

Jadi penting rasanya sebelum kita melangkah ke suatu perubahan baik secara fisik atau mengganti gaya hidup secara drastis, better to make peace with ourselves.

Awal cerita, di tahun-tahun sebelumnya saya niat banget untuk berubah jadi lebih sehat! Tapi healthier outside ya. Dan saya memutuskan untuk olahraga rutin 2-3 kali seminggu, kemudian diet ekstrem juga saya lakukan. Dengan tekad yang bulat, saya konsisten hanya selama 1-2 bulan aja. Ketika mood lagi enggak stabil, saya cenderung cheating terus. Mulai dari malas olahraga sampai konsumsi makanan dan minuman yang saya batasi sendiri. Satu kali cheating, rasanya masih tidak berdosa, eh tapi kok lama-lama setiap saya dapat masalah saya jadi "menghalalkan" diri saya buat cheating! Akhirnya sekarang saya kembali hidup normal lagi seperti dulu tanpa ada batasan-batasan keras, karena menurut saya itu salah.

Until someday, saya ketemu masalah yang cukup kompleks dan sudah sampai “di ubun-ubun kepala” kasarnya. Seperti biasa dong, saya curhat dengan teman dekat saya. Kemudian dia share kalau pernah mengalami hal yang serupa dan suggest saya untuk coba konseling dengan bantuan psikolog profesional.

Awalnya saya bilang, “Kan saya nggak ada mental illness." Terus teman saya itu bilang, “Ya ampun lo tuh konvensional banget ya, datang ke psikolog bukan berarti lo punya gangguan kejiwaan." Pada saat itu saya masih ngeyel dan gagal paham. Masih negatif saja bawaannya.

Sampai akhirnya ada satu momen di mana puncak ketidakstabilan emosi saya datang, dan orang-orang terdekat saya “mungkin” merasa saya menarik mereka untuk turut ikut merasakan emosi saya seperti kemarahan, keputusasaan, dan kesedihan. Bukannya malah saya mendapatkan perhatian atau simpati yang diharapkan dengan sangat, orang-orang terdekat tersebut malah berbalik antipati, bahkan ada yang sampai jadi emosional. Kalau dipikir-pikir sekarang mereka pastilah kesal, karena saya mengalami moodswing yang pastinya annoying banget. Dan tanpa sadar saya menolak atau mengabaikan saran dan masukan positif dari mereka, karena yang saya butuhkan saat itu hanyalah pembenaran dan perhatian.

 

 

2 dari 3 halaman

Dan itulah momen saya yang menyadari bahwa I HAVE TO CHANGE THE OLD ME!

ilustrasi./Photo by JoelValve on Unsplash

Kekecewaan saya tersebut akibat tuntutan kepada orang-orang terdekat akan pembenaran dan kasih sayang tak beralasan, membuat saya sadar kalau didiamkan hal tersebut bisa menjerumuskan saya ke lubang yang dalam. Lubang yang tanpa disadari bisa membuat saya jatuh lagi semakin dalam, di mana saya bisa jadi sendirian dan orang-orang jengkel dengan perilaku saya dan cenderung menjauhi.

Saya menyadari kalau selama ini saya salah dalam menyadari perubahan yang harus dilakukan. Bukannya olahraga dan diet ekstrem, semua itu hanya akan membuahkan hasil yang sementara. Saya sadari bahwa resolusi-resolusi di masa lampau tersebut itu adalah step selanjutnya setelah saya mengubah mindset saya.

Mindset saya tidak akan berubah menjadi lebih baik kalau saya tidak bisa berdamai dulu dengan diri saya sendiri. Tanpa “Self-Awareness” saya tidak akan bisa memahami diri saya sendiri, karena saya tidak bisa merefleksikan pikiran, perilaku, perasaan dan dampaknya terhadap orang lain. Tanpa “Self-Acceptance” saya tidak akan bisa menerima kelebihan dan kekurangan saya sendiri. Nah, ujung-ujungnya saya baru bisa menerapkan gaya hidup healthier outside tersebut setelah saya mendapatkan “Self-Love”, karena saya melakukan itu bukan untuk dilihat oleh orang lain, bukan untuk di share di social media, tetapi terlebih karena saya sangat mencintai diri saya sendiri.

Hal yang pertama kali saya lakukan adalah datang ke psikolog untuk konseling. Di situ saya mendapatkan banyak metode untuk dapat berjuang mencapai target saya yaitu, mendapatkan my inner peace back. Instead of curhat sama orang-orang terdekat, psikolog menyarankan saya untuk menulis jurnal, dan bahkan sudah ada formatnya, jadi saya enggak akan “ngalor-ngidul” nulis sembarangan (karena menulis aja dibantu dengan step-step yang bikin saya enggak keluar jalur). Efeknya, sejak itu saya enggak pernah cerita drama kantor lagi sama orang-orang terdekat! Sampai mereka nanya gini, “Eh gimana kantor? Kok lo enggak pernah pusing-pusing lagi? Masalahnya udah selesai ya?”

3 dari 3 halaman

Fokus dengan Kebahagiaan Sendiri

ilustrasi./Photo by Paul Kerby Genil from Pexels

Selain itu saya juga lebih banyak membaca buku daripada buka Instagram. Saya juga aktif mengikuti kelas-kelas meditasi, private counselling di rumah meditasi, dan lain sebagainya. Memang ada cost yang harus dibayar dan bahkan beberapa orang bilang kalau saya hanya buang-buang duit saja dalam pencarian kebahagiaan ini. Mereka bilang daripada buang-buang uang untuk kebahagian yang sebenernya sudah ada dari dulu tapi saya hanya overworried dan overthinking, lebih baik dananya digunakan untuk makan, ke gym, spa, salon, dll, dan pastinya menurut mereka saya pasti akan lebih bahagia.

Kemudian saya kembali bertanya kepada mereka, “Dengan gue pergi ke gym, spa, salon, nonton, dll, apakah lo bisa menjamin gue bakalan happier dan I get my inner peace back? Mungkin dengan melakukan itu semua lo dapat kebahagiaan lo sendiri, tapi tolok ukur dan nilai-nilai kebahagiaan orang itu kan berbeda-beda. Apakah menjamin dengan kita melakukan hal yang sama gue bisa sebahagia lo atau lo sebahagia gue?”

Karena bagi saya, tolok ukur kebahagiaan adalah saat saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri dan mendapatkan ketenangan untuk melakukan semua hal selama saya masih hidup. Kalau ada masalah, the old me in the past will say, “Kenapa hidup gue susah? Hancur? Nobody listens to me, I’m alone in the world, blablabla… ,” pokoknya saya bakalan jadi orang yang paling susah sedunia.

Saya yakin hal ini pasti pernah terjadi dalam fase tertentu semua kehidupan manusia, namanya hidup pasti akan menempuh perjalanan naik turunnya. But now, the new me will say, “Face the problem, solve it if you can, life goes on, nothing worst happen, and I don’t care too much!”

So this is how I changed the old me, I hope this journey will inspire you to find happiness like me. I am a happiness seeker.

 

#GrowFearless with FIMELA