Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.
***
Oleh: S - Jakarta
Roda kehidupan memang tidak bisa ditebak, betul adanya kita bisa berada di puncak dan tak lama berselang kita dalam keadaan jatuh dan terpuruk sangat dalam. Seperti yang kualami dua tahun belakangan ini. Sebelumnya aku adalah pribadi yang cukup diperhatikan orang-orang karena aku cukup beruntung dari segi fisik, penampilan, pekerjaan, materi dan lain-lain. Aku tipe wanita periang, menikmati hidup dan punya banyak teman tetapi semua itu mulai berubah semenjak aku sering sakit-sakitan. Aku adalah ibu pekerja dari dua anak yang alhamdulilah baik, soleh, sehat dan lucu-lucu, mereka adalah cahaya hidupku.
Anak sulungku berusia 12 tahun dan yang bungsu berusia 3 tahun saat itu. Masih teringat dengan jelas di kepala dan pikiranku betapa histerisnya aku pada saat dokter mengatakan bahwa aku menderita penyakit virus yang sampai dengan saat ini belum ditemukan obatnya. Virus yang menyerang dan membunuh ketahanan imun tubuh seseorang sehingga fisik ini sama sekali rentan dan tidak memiliki pelindung akan penyakit yang datang menghampiri. Jenis penyakit yang masih sangat tabu di kalangan masyarakat Indonesia dikarenakan definisi yang diketahui selama ini oleh masyarakat awam tentang jenis penyakit ini adalah penyakit "dosa".
Ya, kalian benar. Aku didiagnosa terkena tiga huruf itu (HIV), yang paling tragis, yaitu aku baru mengetahui hal itu setelah sekian lama aku mengira sakitku hanya flek pada paru-paru yang aku dapatkan sedari aku masih kecil di usia 6 tahun. Itu pun tak diketahui penyebabnya, setelah beranjak dewasa sebelum menikah flek pada paru-paruku kumat mungkin efek dari kurang asupan makanan yang baik, terlalu capek dikarenakan pekerjaan dan aktivitas yang padat dan yang paling menjadi penentu kembalinya sakit flekku ini adalah dari pikiran. Aku adalah tipe yang sangat pemikir dan bisa dikatakan agak sensitif, jadi apa pun itu langsung menjadi beban pikiranku.
Setelah kelahiran anak bungsuku memang fisikku semakin hari semakin drop jauh, aku selalu sakit-sakitan, badanku turun drastis sampai berat badanku tak lebih dari berat anak kelas 1 SD.
Seperti rawat inap yang terdahulu aku selalu sendirian dan tidak ditemani oleh siapa pun karena pasanganku bekerja di luar pulau dan hanya pulang satu kali dalam setahun, aku pun tak pernah mau merepotkan ayah dan ibuku. Anak-anakku pun masih terlampau kecil pada saat itu. Aku lebih tenang apabila mereka menungguku di rumah sampai aku pulih dan diperbolehkan kembali pulang ke rumah.
Berusaha Bertahan
Saat itu adalah malam takbiran, malam sebelum Hari Raya Idulfitri yang dinanti oleh semua umat muslim di seluruh dunia. Saat itu aku sedang dirawat inap di salah satu RS di kotaku dikarenakan kondisiku sangat drop, sesak napas, dan demam. Dokter mengabari hal itu tepat malam hari di malam takbiran itu pada saat dia sedang visit, sontak hal itu sangat membuat aku syok luar biasa dan hampir tidak bisa menerima hasil tes yang disampaikan oleh dokterku.
Aku menangis kencang sejadi-jadinya setelah dokter menjelaskan sakit yang aku derita. Rasanya dunia ini tiba-tiba berhenti berputar, pikiranku berkecamuk kacau, memikirkan semua hal dan pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di kepalaku. Mengapa hal ini bisa terjadi padaku? Dari mana aku bisa mendapatkan sakit ini? Tertular dari siapakah aku? Dari manakah penyebabnya? Bagaimana dengan nasib anak-anakku? Apakah mereka terjangkit sakit yang sama? Apakah aku menularkan pada mereka? Bagaimana nantinya reaksi suamiku apabila dia mengetahui sakitku ini?
Ya Tuhan aku belum siap untuk pisah dari anak-anakku sambilku terus menangis tersedu-sedu. Beruntungnya dokterku sangat baik, dia hanya berbicara bahwa tidak perlu melihat ke belakang, tidak khawatir akan hal-hal penyebab sakitku dan lain-lain. Berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, tenangkan hati, ikhlaskan semua yang telah terjadi dan fokus pada kesehatanku saja, karena anak-anak masih membutuhkan mamanya. Hal itu yang membuat diriku terdiam sejenak dari raunganku saat itu.
Keesokan harinya, di kamar perawatanku di rumah sakit itu, dengan selang infus yang masih menempel di lengan kananku aku tetap menjalankan salat Ied sendirian. Sambil menangis tersedu-sedu aku memohon ampun kepada Tuhan yang menciptakanku, memiliki, dan nantinya akan mengambilku kembali.
Walaupun hatiku sangat sedih tapi aku juga bersyukur bahwa dokter yang merawatku memiliki kepedulian yang tinggi dan mengambil keputusan untuk langsung mengambil tes itu tanpa sepengetahuanku. Mingkin kalau saat itu aku tidak mengetahui aku mengidap sakit itu bisa saja aku terlambat ditangani dan mungkin berdampak lebih parah bahkan mungkin aku bisa saja kehilangan nyawaku.
Saat pertama didiagnosa sakit itu, nilai CD4-ku sangatlah rendah, nilaiku hanya 10 saja, sebagai informasi jumlah CD4 yang dimiliki oleh manusia normal adalah 1.500, sedangkan untuk penderita seperti aku nilai 100 pun sudah sangat buruk dan bisa berakibat fatal seperti kelumpuhan, hilang ingatan, dan komplikasi dengan penyakit-penyakit lain yang tak kalah berbahaya, apalagi nilaiku hanya 10. Tapi aku sangat bersyukur dengan nilaiku yang sedemikan rendah aku masih dapat beraktivitas seperti biasa, bekerja, dan menjalankan tugas sebagai ibu bagi kedua anak-anakku. Aku pun komplikasi dengan TB paru-paru jadi selain terapi rutin HRV yang aku harus jalankan seumur hidup untuk tetap menjaga virus itu diam di tempatnya dan tidak berjalan-jalan di tubuhku. Aku pun harus mengonsumsi obat-obatan TB tersebut selama 6 bulan nonstop.
Semua Ini Berat
Sungguh bagiku semua ini sangatlah berat, tak pernah terbayangkan sebelumnya, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Hal ini aku rahasiakan dari ibuku, anak-anakku, dan suamiku, tetapi ayahku dan adik-adik perempuanku mengetahui hal ini karena jujur aku sangat membutuhkan dukungan mereka. Alhamdulilah mereka sangat bisa menerima keadaan ini dan selalu berdoa dan men-support diriku selama aku terpuruk. Aku belum berani mengatakannya kepada suamiku karena aku takut suamiku akan meninggalkanku dan mengambil anak-anakku menjauh dariku.
Satu tahun lebih sudah aku menjalani hari-hariku dengan sakitku ini. Mulai dari sering drop dan sakit-sakitan karena virus dan bakteri yang sangat mudah menghampiriku dan masuk ke dalam tubuhku. Badanku yang menjadi sangat kurus, luka-luka memar dan sangat gatal menyiksa diseluruh tubuhku. Yang paling parah adalah stres yang kualami dan kegelisahan yang sangat berat akibat dari sakit ini.
Beberapa kali aku bagaikan mau dijemput ajal, tidak bisa bernapas dan bertingkah seperti orang gila karena ketakutan dan efek obat terapi ARV-ku yang keras. Aku pun seringkali keluar masuk UGD saat itu. Setiap malam aku menangis dan selalu berdoa sebelum tidur agar esok hari aku masih bisa terbangun dari tidurku dalam keadaan masih bernyawa dan tetap bisa memeluk anak-anakku.
Teman-teman di kantor tidak mengetahui apa sakitku, karena aku takut apabila orang-orang mengetahui sakitku aku bisa mendapatkan masalah dalam hal pekerjaanku. Mereka sering kali melihatku dengan pandangan kasihan dan jijik, karena penampilan fisikku yang tidak sehat dan tidak elok, tapi aku menguatkan diriku dengan mulai belajar untuk tidak menggubris pandangan dan perkataan merek. Aku balas pertanyaan mereka dengan senyuman walau perih sekali rasanya di dalam hati ini.
Tahun Ini Ingin Memperbaiki Semuanya
Tahu 2019 telah berlalu, di tahun 2020 ini yang aku inginkan hanyalah kesempatan untuk memperbaiki semua, hubunganku dengan orang tuaku, berbuat kebaikan, dan lebih mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku. Dari sakitku ini aku belajar untuk selalu bersyukur karena masih banyak orang yang kondisinya lebih berat dari aku baik dari segi kesehatan maupun kehidupan.
Saat ini suamiku telah mengetahui sakitku, saat itu dia pun menangis dan memelukku dan dengan besar hati berjanji untuk terus mendampingi aku sampai saatnya tiba. Umur itu rahasia Yang Maha Kuasa kata suamiku. Kita manusia dalam kondisi sehat dan sakit tidak akan pernah mengetahui kapan saatnya kita akan dipanggil oleh Tuhan.
Hatiku sekarang jauh lebih tenang dan optimis menjalankan hari-hariku. Kondisiku sedikit lebih baik sekarang walaupun nilai CD4-ku masih dibawah 20. Aku didampingi dan didukung oleh keluarga, pasangan, anak-anak, dan konselorku yang selalu memberikan semangat di saat kondisiku sedang drop. Tak pernah terlewat peluk dan cium anak-anakku setiap hari karena aku tak mau menyesal nanti.
Hatiku pun tenang karena suami dan anak-anakku tidak terjangkit sakitku. Dalam keseharianku kini aku terus mengucap syukur atas kebaikan Sang Pencipta, berpikiran positif, lebih menikmati hidup dan yang paling penting jangan pernah sakiti orangtua dan berbuat baik kepada sesama walaupun hanya hal-hal kecil.
Bagi teman-teman di luar sana yang sedang mengalami sakit fisik yang amat sangat, tetaplah semangat. Aku yakin kalian dapat menjalani semua cobaan dan ketetapan Tuhan ini dengan kuat, tabah, dan ikhlas. Selalu ingat Tuhan memberikan kita cobaan berat ini bukan karena Tuhan membenci kita tetapi justru karena Tuhan sangat menyayangi kita.
#GrowFearless with FIMELA