Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.
***
Oleh: Roesfitawati - Tangerang
Di bulan Januari 2020 ini, usia pernikahan saya genap delapan tahun. Meski kecil, kami sudah memiliki rumah sendiri yang diramaikan oleh dua orang anak yang masih kecil. Rumah yang dahulu terasa cukup untuk berdua, terasa lebih sempit ketika si kakak bertambah besar. Kemudian ketika si adik lahir, kesempitan itu semakin terasa.
Ingin hati membeli rumah baru yang lebih luas, tapi kondisi keuangan masih belum mendukung. Membeli rumah dengan cara kredit bank juga bukan pilihan kami. Cukup satu kali merasakan siksaan pinjaman berbunga dan sulitnya keluar dari jeratan riba. Maka hal pertama yang saya lakukan adalah “menerima” kondisi rumah yang mungil tersebut.
Hal kedua adalah bertanya pada diri sendiri, “Ini rumah mau diapakan supaya kelihatan lebih lega?” Lalu saya teringat pada suatu rumah milik seseorang. Rumah besar di kawasan elit, tapi berantakan dan tidak nyaman karena terlalu banyak barang. Sampai akhirnya saya bisa menarik kesimpulan bahwa penyebab rumah berantakan adalah karena jumlah barang melebihi kapasitas rumah.
Kerapihan Rumah
Di awal tahun 2000-an dulu saya pernah menonton tayangan Oprah Winfrey dengan bintang tamu desainer interior, Nate Berkus. Di antara dua poin yang masih saya ingat adalah:
1) jika suatu barang sudah tidak terpakai lebih dari satu tahun, maka itu mungkin pertanda bahwa kita sudah tidak membutuhkan barang tersebut, dan,
2) rumus one in - one out, jika membeli satu barang/baju baru maka satu barang/baju harus keluar dari lemari/rumah. Dua poin tersebut semakin terngiang setelah tinggal di rumah mungil saat ini.
Salah satu momen yang juga menjadi teguran bagi saya adalah saat melihat beberapa baju yang berada di pojokan-pojokan kamar. Penyebabnya adalah lemari baju sudah tidak mampu lagi menampung baju-baju baru saya. Karena sudah tidak ada tempat kosong di rumah, maka tidak mungkin untuk membeli lemari baru. Kemudian, saya sortir pakaian yang sudah lama sekali tidak dipakai dan tidak ingin disimpan. Hijab dan pashmina yang lebih cocok untuk gadis-gadis muda dan tidak mau dipakai lagi, saya berikan ke para keponakan.
Lalu saya membongkar lemari baju anak-anak. Barang-barang kebutuhan bayi yang sudah tidak terpakai tapi masih disimpan buat kenangan, saya kumpulkan dan berikan ke klinik bidan di dekat rumah. Ternyata justru lebih bermanfaat karena pasien bu bidan juga banyak dari kalangan tidak mampu. Mewek deh.
Saya juga mulai memilah barang-barang lain di rumah, memisahkan antara yang masih terpakai, yang mungkin masih terpakai, dan yang tidak terpakai. Mulai dari kotak penyimpanan mainan anak-anak, rak buku, rak sepatu, serta laci-laci penyimpanan untuk tas, pakaian dalam, dan alat-alat makan.
Demi kerapian rumah yang berkelanjutan, saya dan suami berkomitmen bahwa pakaian saya tidak boleh lebih dari satu lemari; pakaian suami dan anak-anak tidak boleh lebih dari satu lemari dan satu laci; tas saya tidak boleh lebih dari satu laci; sepatu sekeluarga tidak boleh lebih dari satu rak yang ada di rumah; serta peralatan untuk makan dan memasak juga tidak boleh melebihi tempat penyimpanan yang tersedia. Dengan demikian, kami bisa menghemat waktu untuk membersihkan dan merapihkan rumah, dan lebih banyak waktu untuk istirahat.
Lebih Berhemat dalam Banyak Hal
Kini saya sedang berada di masa “stop buying anything”. Hampir semua warna pakaian sudah punya, jadi tidak ada alasan untuk beli baju baru. Bahkan stok makanan yang disimpan tidak boleh melebihi daya tampung kulkas dan laci makanan yang sudah ada.
Mungkin saya tidak benar-benar 100% berhenti membeli apa pun. Tetapi ketika ingin membeli sesuatu, pertimbangannya banyak. Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah, “Apakah ini kebutuhan atau keinginan?” Jika barang tersebut merupakan suatu kebutuhan, maka layak dibeli. Namun jika barang tersebut hanya sebuah keinginan, maka pertanyaan berikutnya adalah, "Manfaatnya apa? Kapan akan digunakan? Akan disimpan di mana?” dan “Barang apa di rumah yang harus dibuang atau disedekahkan kepada orang lain?”
Sebagai contoh nyata, saya punya teman yang memproduksi tas-tas dengan desain dan kualitas bagus. Tapi laci penyimpanan tas saya sudah penuh. Jika saya membeli tas baru, maka akan merusak susunan tas yang sudah baik dan bahkan mungkin merusak tas-tas yang sudah ada. Sudah dua bulan berlalu dan saya belum juga membeli tas tersebut, karena sebenarnya saya memang tidak butuh tas baru meskipun kadang masih suka lihat model-model tas cantik di laman Instagram milik teman tersebut. Namun koleksi tas yang saya miliki sudah bisa membuat saya berganti-ganti tas untuk berbagai kegiatan seperti bekerja, jalan-jalan, liburan, ke acara pengajian, bahkan untuk membawa beberapa pakaian dan makanan untuk anak-anak saat bepergian.
Demikian halnya dengan keinginan membeli botol minum baru. Kadang sering tertarik saat melihat botol minuman yang unik. Tapi jumlah botol minum yang tersedia di rumah sudah mengakomodir kebutuhan untuk saya, suami dan anak-anak. Bahkan jika kami semua menggunakan botol minum masing-masing di saat bersamaan, tetap masih ada botol-botol minum yang tidak digunakan dan hanya disimpan di laci. Sehingga, tidak ada alasan untuk membeli botol minum baru meskipun harganya murah atau sedang diskon.
Contoh lain yang saya alami adalah menahan diri membeli peralatan makan, misalnya piring dan mangkuk yang motifnya indah. Peralatan makan yang ada sudah cukup memfasilitasi kami untuk bisa makan bersama sekeluarga. Konsekuensinya, semua peralatan makan harus dicuci sebelum waktu makan berikutnya tiba. Jadi ketika hari libur, maka dalam sehari terdapat tiga momen mencuci piring. Berhubung tidak punya Asisten Rumah Tangga (ART) dan anak-anak juga masih kecil, saya dan suami bergantian melaksanakan tugas mencuci piring. Hal ini memang melelahkan, karena kami seperti kurang waktu istirahat. Tapi sisi positifnya adalah dapur selalu terjaga kebersihannya, dan tidak ada pemandangan piring kotor yang menumpuk terlalu lama.
Hidup yang Lebih Bahagia
Musibah banjir yang menimpa rumah orangtua pada momen pergantian tahun 2020 juga mengajarkan hal penting pada saya. Rumah orangtua yang cukup luas namun tidak terlalu banyak barang di dalamnya, membuat kami lebih mudah dan lebih cepat untuk membersihkan dan merapikannya kembali. Begitu banjir surut, lantai rumah orangtua kami sudah bersih kembali. Barang-barang sudah diletakkan kembali di tempatnya semula, kecuali beberapa barang yang masih basah dan harus dijemur.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan tetangga rumah orangtua. Dua hari setelah banjir surut, rumah tersebut belum dibersihkan sama sekali. Beruntung si pemilik rumah merupakan orang yang cukup aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan setempat. Pada hari ke-3 dan ke-4 setelah banjir surut, sejumlah orang datang untuk membantu membersihkan lantai yang masih penuh lumpur, serta memisahkan barang-barang yang masih bisa disimpan dan yang terpaksa harus dibuang.
Musibah banjir tersebut juga membuat saya lebih selektif menyimpan barang-barang lama yang memiliki kenangan tersendiri. Jika semua benda kenangan akan disimpan, berarti butuh tempat penyimpanan yang banyak. Maka barang-barang kenangan yang terendam banjir di rumah orang tua juga harus dipilah. Jika tidak memberikan manfaat di masa depan, lebih baik dibuang demi rumah tidak berantakan.
Hidup dengan barang secukupnya justru membuat saya lebih bahagia, karena pengeluaran bisa diminimalisir dan hemat energi untuk membereskannya. Saya pun terlatih untuk tidak iri dan tidak tergoda jika melihat teman-teman berbelanja di bazaar kantor atau pun melalui online shops.
#GrowFearless with FIMELA