Siapa pun Bisa Pergi tanpa Berpamitan, Maka Kita Perlu Berlatih Merelakan

Endah Wijayanti diperbarui 10 Jan 2020, 12:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Tahun baru, diri yang baru. Di antara kita pasti punya pengalaman tak terlupakan soal berusaha menjadi seseorang yang lebih baik. Mulai dari usaha untuk lebih baik dalam menjalani kehidupan, menjalin hubungan, meraih impian, dan sebagainya. Ada perubahan yang ingin atau mungkin sudah pernah kita lakukan demi menjadi pribadi yang baru. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Change the Old Me: Saatnya Berubah Menjadi Lebih Baik ini.

***

Oleh: S - Tangerang

Merelakan dan Berdamai dengan Diri Sendiri agar Menjadi Pribadi yang Lebih Baik Lagi

Ada begitu banyak kejadian yang kita alami yang bisa saja mengubah cara pandang kita dalam berpikir. Setiap hari pun diri kita berusaha untuk menjadi lebih baik, tak terkecuali diri saya sendiri.

Pada tahun 2015 ketika baru saja lulus SMA, saya takut akan sebuah perpisahan yang kerap membebani pikiran. Ya, perpisahan yang bisa saja terjadi kepada siapa saja termasuk kedua orangtua saya. Memikirkannya membuat merasa tidak berdaya.

Waktu bergulir, masalah demi masalah terus saja berdatangan silih berganti. Saya memang merasa keluarga tidak seharmonis keluarga teman saya yang lainnya bahkan suasana canggung sangat terasa ketika kami bersama dalam satu ruangan.

Sebagai seseorang yang dikenal tidak banyak bicara, saya hanya ikut menimpali obrolan dengan sesekali mengatakan hal-hal yang penting kemudian kembali masuk ke kamar. Sekalipun mencoba berbicara dalam waktu yang lama terkadang tetap saja lebih betah untuk berdiam diri di kamar. Meski begitu rasa takut kehilangan salah satu orangtua tetap membuat resah. Takut itu terjadi namun belum punya cara untuk membuat mereka bersatu tidak hanya berupa fisik tapi juga hati.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Belajar Merelakan

Ilustrasi./Copyright pexels.com/@d-ng-nhan-324384

Di usia yang bisa dikatakan telah dewasa, saya baru benar-benar memahami bahwa sesuatu yang dipaksakan tidaklah baik. Tanpa sengaja masuk ke ranah permasalahan kedua orangtua memang kerap membuat tangisan pecah. Apalagi ketika mengingat posisi saya sebagai anak yang bersedia mendengarkan keluhan meraka ketika bertengkar yang diisi dengan saling serang argumen untuk sekadar membuktikkan siapa yang benar dan siapa yang salah diantara keduanya.

Padahal setiap saya di rumah berharap mendapatkan ketenangan dan merasakan kenyamanan rumah selayaknya orang berpikir bahwa “Rumahku, surgaku”. Saya perlahan merubah pola pikir. Mulai memahami alasan demi alasan mengapa sesuatu terjadi. Tak ada asap kalau tak ada api.

Sebagai anak, saya tidak bisa terus ikut campur dengan urusan orangtua apalagi bapak berpesan, “Fokus saja menjalani hidup kamu. Urusan orangtua biarlah menjadi urusan kami."

Akan tetapi saya tidak mampu bersikap cuek jika salah satunya atau mereka saling mengutarakan hal yang belum jelas kebenarannya hingga berujung salah paham yang diibaratkan seperti bola api sedang menggelinding, bisa saja sewaktu-waktu membakar kami sekeluarga. Jujur, mendengar adanya keluarga tetangga yang bercerai membuat saya khawatir hal itu terjadi di hidup saya sendiri.

Ada anak yang ditinggal selamanya oleh kedua orangtuanya, ada anak yang yang ibunya menikah dengan pria lain, dan ada anak yang kedua orangtuanya rukun serta damai. Di manakah posisi saya? Orangtua lengkap namun kurang harmonis. Saya sudah mencoba untuk bersyukur setiap hari dengan terus berpikir bahwa segala seuatu terjadi karena Tuhan mengkehendakinya dan setiap masalah yang datang untuk menjadikan diri lebih kuat lagi.

3 dari 4 halaman

Momentum Bahagia

Ilustrasi. | unsplash.com/@rocknwool

Meski dibayangi sebuah perpisahan, di lain sisi ada kabar gembira yang sejenak membuat kami terlihat baik-baik saja yaitu pernikahan kakak. Ia menikahi wanita pilihannya tepat di awal tahun 2020. Saya berusaha tidak menangis ketika pernikahan kakak berlangsung karena biasanya ketika menangis menjadi teringat kembali hal-hal menyakitkan yang sudah lama terjadi. Seperti tidak dapat mencegahnya, air mata terus saja mengalir dari kedua mata ini.

Dari jauh saya melihat bapak dan kakak saling mendekap satu sama lain. Di sebelahnya ibu pun menangis tatkala pengantin pria dan wanita bergantian mendekap orangtua kami. Saya menguatkan diri sendiri dan mencoba memasrahkan sepenuhnya kepada Tuhan mengenai masa depan yang masih menjadi pertanyaan, “Apakah rumah tangga kakak akan harmonis? Lalu bagaimana ke depannya hubungan antara bapak dan ibu?”

Ibu menjelaskan kepada saya saat acara pernikahan telah selesai mengenai apa saja yang bapak dan kakak katakan ketika mereka berdekapan. Rupanya bapak terlebih dahulu meminta maaf kepada kakak hingga mampu meruntuhkan tekad ibu yang tidak ingin menangis di hari bahagia itu.

Beberapa hari sebelumnya, saya sebagai adik tertua sempat menitipkan sebuah pesan, “Aku harap kakak memperlakukan kakak ipar dengan sebaik-baiknya, jangan sakiti apalagi menyelingkuhinya. Nggak usah khawatirkan aku, nanti aku mau terapi psikologi. Karena memang butuh waktu untuk dapat mengikhlaskan segala yang sudah terjadi."

Kakak mengangguk sebagai pertanda menerima pesan saya. Lega rasanya dapat mengatakan isi hati yang lama terpendam mengingat kami biasanya tidak membicarakan ranah privasi.

4 dari 4 halaman

Berdamai Dengan Diri Sendiri

ilustrasi./Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Setiap kali orangtua bertengkar, ibu sering menjadikan diri saya sebagai tempatnya untuk mencurahkan segala keluh kesah. Biasanya pikiran menjadi serasa berat namun saya tidak mampu untuk mengatakannya karena khawatir ibu memendam kesedihannya sendirian hingga ia sakit lagi seperti beberapa tahun yang lalu. Namun sebenarnya curhatan itu berdampak buruk bagi diri saya.

Mudah kehilangan fokus, menutup diri dari lingkungan sekitar, menghilang dari akun media sosial yang saya miliki kemudian membuat yang baru tanpa sepengetahuan teman-teman, dan merasa tidak ada yang peduli akan keberadaan saya.

Selain itu, pernah suatu hari karena merasa isi pikiran begitu penuh, saya menjadi pusing dan hanya mampu berdiam diri di kamar dengan sesekali berteriak berharap agar pikiran menjadi tenang. Terus-menerus mengulang hal yang sama. Semakin bertambahnya usia pada akhirnya mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa saya harus mencoba berdamai dengan diri sendiri. Tidak mudah tapi pasti bisa saya jalani.

Kini, saya menyadari orangtua dan siapa pun bisa saja pergi tanpa perlu berpamitan diri. Saya belajar merelakan dan berdamai dengan diri sendiri agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik di tahun ini bahkan tahun-tahun berikutnya.

 

#GrowFearless with FIMELA