Laktasi Masih Menjadi Permasalah Para Ibu yang Belum Tertuntaskan

Anisha Saktian Putri diperbarui 24 Des 2019, 10:00 WIB

ringkasan

  • Hak sehat ibu Indonesia salah satunya dilindungi hak laktasi atau pemberian ASI eksklusif.
  • Dalam 15 tahun terkahir, sejak riskesdas 2003 hingga riskesdas 2018 prevalensi ASI Indonesia tidak membaik signifikan

Fimela.com, Jakarta Setiap 22 Desember masyarakat Indonesia memperingati Hari Ibu setiap tahunnya. Memontem ini biasanya dirayakan dengan memberi ucapakan atau memberikan kado untuk ibu tersayang.  Namun, peringatan ini juga dapat menyadarakan kita jika masih banyak permasalahan yang dihadapi para ibu, seperti hak sehat ibu Indonesia salah satunya dilindungi hak laktasi atau pemberian ASI eksklusif. 

Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK dari ILUNI Kedokteran Kerja FKUI mengatakan di tahun 2015, Indonesia sudah gagal mencapai target millennium Development Goal (MDG) untuk laktasi. Dalam 15 tahun terkahir, sejak riskesdas 2003 hingga riskesdas 2018 prevalensi ASI Indonesia tidak membaik signifikan hanya berkisar antara 32 persen hingga 38 persen sangat jauh dari taget nasional 80 persen. 

“Mengingat fakta setelah lebih 15 tahun cakupan ASI eksklusif nasional dan perilaku laktasi Ibu Indonesia, terutama ibu pekerja, tidak menunjukan perbaikan signifikan,” ujarnya saat ditemui di Jakarta. 

Inilah mengapa pemerintah tidak menomor-duakan upaya peningkatan kualitas laktasi Ibu Indonesia, terutama ibu pekerja yang jumlahnya dan partisipasi kerja yang semakin tinggi. Penelitian terbaru berjudul Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia yang dipublikasikan di jurnal internasional JKMS 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu pekerja di Indonesia masih memiliki pengetahuan dan perilaku yang kurang baik terhadap menyusui. 

Dr. dr. Ray juga mengungkapkan lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan juga kesehatan ibu itu sendiri. 

Bahkan hampir 50 persen ibu Indonesia menyusui yang bekerja di kantoran belum mengetahui bahwa peraturan pemerintah bisa melindungi mereka untuk bisa bebas menyusui atau memompa ASI di kantor tanpa harus takut mendapat sanksi.

2 dari 2 halaman

Dukungan tempat kerja belum kondusif

Tips agar produksi ASI lancar dan banyak./Copyright shutterstock.com/g/Kiwis

Dr. Ray yang juga merupakan pendiri dan ketua dari Health Collaborative Center mengatakan, hal yang menyedihkan adalah, temuan dan kondisi terkait rendahnya pengetahuan ibu tentang laktasi ini masih mirip dengan temuan-temuan pada penelitian mengenai laktasi sejak lebih dari satu dekade silam. 

“Artinya status pengetahuan dan kualitas perilaku laktasi Ibu Indonesia, terutama ibu pekerja tidak membaik secara signifikan. Perkembangan teknologi informasi dan digital di Indonesia yang kelihatannya semakin banyak mengkomunikasikan menyusui dan laktasi kenyataannya kurang efektif memberi daya ungkit terhadap pengetahuan laktasi sehingga perilaku menyusui juga tidak secara signifikan membaik,” paparnya. 

Hasil penelitian terdahulu dari Basrowi dkk juga menemukan bahwa meskipun sudah ada peraturan pemerintah tentang perlindungan laktasi di tempat kerja, tetapi implementasinya masih belum maksimal. Padahal, mengutip penelitian dan publikasi ilmiahnya terdahulu, Dr. Ray Basrowi mengungkapkan, sukses laktasi pada ibu pekerja terbukti tidak hanya menyehatkan tumbuh kembang bayi tapi juga membantu mempertahankan status produktivitas kerja. 

“Jadi berkaca pada penelitian terbaru kami, harusnya model dan konten komunikasi dan edukasi laktasi dan menyusui harus meningkatkan porsi informasi dan edukasi terhadap kesehatan ibu, kalau ibu pekerja harus menekankan pentingnya produktivitas, dan dampak positif bagi masyarakat dan bangsa,” ujarnya.  

Pada momentum Hari Ibu 2019 ini, Dr. Ray Basrowi melalui Health Collaborative Center mengingatkan kepada negara, pemerintah dan masyarakat bahwa peran laktasi bukan peran yang mudah dilakukan oleh Ibu, terutama Ibu Indonesia yang berstatus pekerja. Dukungan tempat kerja belum kondusif, penelitian terdahulu dari Dr. Ray basrowi juga menunjukkan hanya sekitar 21 persen tempat kerja di Indonesia yang memberikan dukungan fasilitas memadai untuk laktasi, dan hanya 7,5 persen pekerja di Indonesia yang bisa menikmati program promosi laktasi di tempat kerja.

“Apabila pemerintah belum bisa memberikan cuti melahirkan hingga 6 bulan, makan sangat penting untuk memastikan implementasi dukungan laktasi di tempat kerja menjadi maksimal, karena sangat penting untuk melindungi peran laktasi Ibu,” tuturnya. 

Dengan segala permasalahan yang masih dihadapi Ibu Indonesia, Health Collaborative Center ingin menegaskan bahwa paling tidak pemerintah harus bisa mulai mengoptimalkan aturan promosi laktasi di tempat kerja, karena efek laktasi dan menyusui sangat besar, bukan hanya terhadap kesehatan ibu dan bayi tetapi juga untuk kesehatan bangsa.

Negara-negara maju sudah menjadikan angka capaian ASI eksklusif sebagai indikator utama kesehatan bangsa, Indonesia juga seyogyanya harus fokus menjadikan ASI eksklusif dan laktasi sebagai salah satu prioritas pembangunan kesehatan nasional.