Fimela.com, Jakarta Punya momen yang tak terlupakan bersama ibu? Memiliki sosok ibu yang inspiratif dan memberi berbagai pengalaman berharga dalam hidup? Seorang ibu merupakan orang yang paling berjasa dan istimewa dalam hidup kita. Kita semua pasti memiliki kisah yang tak terlupakan dan paling berkesan bersama ibu. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam lomba dengan tema My Moment with Mom ini.
***
Oleh: Rahayu - Surabaya
Satu hal yang ingin aku ungkapkan untukmu, ialah tentang kerja kerasmu dalam mendidikku hingga sebesar ini ibu. Jujur bu, untuk menyampaikan perasaan kagumku, itu tidak mudah. Aku tidak sanggup mengeluarkan air mataku di depan ibu, aku tidak ingin dianggap anak yang cengeng bu. Aku cukupkan untuk menulis melalui kompetisi ini.
Banyak anggapan yang mengatakan tidak mungkin jika seorang ibu tak punya rasa cinta pada anaknya. Tidak mungkin seorang ibu rela jika anaknya tersakiti oleh kejamnya kehidupan ini. Tidak mungkin seorang ibu akan menyakiti anaknya sendiri. Namun, dari sekian teori yang aku pelajari itu, tidak sama persis dengan prinsip mendidikmu ibu. Engkau telah mendidik aku dengan keras dan tegas. Engkau telah menyuruh aku kuliah ke luar kota. Tetapi sepanjang hidup ini, aku tidak pernah kecewa dengan caramu mendidik. Meski di awal banyak beban psikis yang aku rasakan, tetapi aku sadari manfaatnya setelah itu. Sekarang, aku hanya ingin mengungkapkan “Aku bangga padamu ibu. Betapa bahagianya aku saat ini karena engkau ibu."
“Dek, jangan sakit hati jika orang lain menyakitimu. Ambil sebagai pelajaran dan yang terpenting segera bangkit dari keterpurukan itu.” Tepat di hari ulang tahunku ke-17, engkau menyampaikan kalimat itu kepadaku. Aku masih ingat momen itu, dimana kue ulang tahunku berwarna cokelat dengan hiasan stroberi kesukaanku. Di saat itu aku dapat membaca raut wajah dan gerakan tubuhmu ibu. Itu menandakan bahwa engkau hendak mengatakan aku sudah dewasa, dan menyuruhku bertanggung jawab untuk pilihan hidupku sendiri. Dan saat itulah ibu, aku benar-benar siap, jika dunia yang kejam ini menikamku.
Setelah dua tahun semenjak ulang tahunku itu, aku baru merasakan manfaat pendidikan yang selama ini engkau berikan. Apalagi hidup di kota metropolitan yang tidak setentram dan guyup rukun layaknya desa. Tetapi perantauanku tidak akan sia-sia bu, setelah 17 tahun engkau didik dengan tegas dan keras. Inilah kenapa aku katakan, aku bangga dan bahagia saat ini.
Masih ingatkah bu, engkau selalu membangunkanku di pagi hari ketika subuh datang dan menyuruhku untuk salat. Tahukah bu? Saat itulah aku kesal dengan ibu. Bangun pagi ketika hari libur untuk segera membantu ibu belanja ke pasar, membantu ibu memasak, dan membantu ibu mencuci baju, semua itu pekerjaan yang tidak aku suka. Sering kali aku mengeluh bahkan menunda-nunda pekerjaan itu, tetapi engkau selalu bilang bahwa aku sudah besar, sudah saatnya mengurus pekerjaan pribadi. Bahkan hingga aku tidak mencuci pakaianku, engkau juga tidak mencucikannya. Itulah yang membuat aku terpaksa mencuci sendiri.
Menjadi Anak Rantau yang Kuat
Sekarang aku memahaminya menjadi anak rantau, yang harus mengurus pekerjaan rumah tangga sendiri, sama sekali tidak merasa keberatan. Bangun di waktu pagi hari dan melanjutkan perkerjaan rumah tangga sebelum berangkat kuliah. Itu hanya segelintir manfaat kecil, dari sekian banyak manfaat yang telah aku dapat dari pendidikanmu ibu. Bu, aku selalu memegang ungkapanmu yang engkau berikan ketika usiaku 17 tahun. Itu berguna untukku saat ini.
Sekarang aku memiliki teman yang oportunis. Memang sebagian orang-orang asli yang tinggal di kota metropolitan ini tampak oportunis bu, tetapi aku akan cerita sedikit tentang temanku itu. Ada teman-teman yang mendekatiku karena ingin memanfaatkan keuanganku dan kepandaianku. Setelah mereka mendekatiku dan mendapatkan keinginanya mereka menjauh bu. Masalahnya tidak hanya itu, menjauh saja aku masih terima. Tetapi di antara mereka menghinaku, merendahkanku di depan-depan selainnya. Mereka memanfaatkan kelemahanku dan secuil kesalahanku yang dibesar-besarkan oleh mereka. Segala pertolongan yang telah aku berikan tidak pernah bernilai baik bagi mereka. Selama satu minggu aku mengalami syok, hampir setiap hari meneteskan air mata. Saat seperti itulah aku benar-benar merasa yang paling menderita di dunia ini. Benar memang dunia ini begitu kejam ibu.
Tetapi aku ingat kembali momen bersamamu ibu. Begitu banyak ajaran-ajaran yang engkau berikan untuk menjadi manusia yang tahan banting. Iya, ibu benar. Sebagian manusia mudah menyakiti, demi memilih kebahagiaan diri sendiri. Aku telah menjadi korban, yang telah menjadi sampah dan dibuang begitu saja. Tetapi aku perlu untuk bangkit, memilih untuk bahagia daripada hidup dalam penyesalan itu. Mengambil pelajaran dari setiap fase kehidupan ini. Menentukan yang terbaik untuk diriku, dan berhati-hati lagi.
Saat di perantauan aku baru merasakan, rasanya kesepian ibu. Apalagi hadir di antara banyak orang yang tidak satu pun tulus seperti kasihmu ibu. Aku tak menemukan sosokmu di antara manusia-manusia itu. Kasih sayang dan perhatianmu, meskipun engkau mendidikku dengan keras tetap saja itu membuat aku kangen. Aku ingin memelukmu erat. Ingin makan makan bersama ibu. Aku juga kangen masakan ibu.
Sekarang kita hanya bisa berkomunikasi melalui sambungan telepon ibu. Meski aku belum benar-benar dewasa, tetapi aku bukan lagi telur yang harus dibantu untuk menetas. Aku tetap putrimu yang dulu. Bukan wanita yang lemah, karena aku telah menempa banyak pendidikan mental darimu.
#GrowFearless with FIMELA