Kasus Pelecehan Seksual di Ruang Publik Masih Sulit Dibuktikan

Karla Farhana diperbarui 10 Des 2019, 19:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Dunia tidak lagi menutup mata dan telinga setiap kali perempuan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Termasuk Indonesia. Meski Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan, masyarakat Indonesia mulai bergotong royong untuk menyuarakan, mencegah, bertindak, hingga meningkatkan kepedulian terhadap perilaku kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya yang terjadi di ruang publik. 

Tidak ada lagi sunyi dan urung berteriak ketika melihat gadis lain mengalami pelecehan di angkot, bus, atau juga commuter line. Perempuan kini mulai berani untuk berbicara demi mencegah pelaku melakukan pelecehan terhadap korban. Berperan sebagai by standers, perempuan di Jakarta mulai banyak yang saling menjaga satu sama lain, terutama saat berada di ranah publik. 

Menurut Mariana Amiruddin dari Komnas Perempuan, kesadaran masyarakat terhadap pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan di ruang publik kini sudah mulai meningkat. Terbantu juga dengan adanya fasilitas di ruang publik dan angkutan umum seperti CCTV. Didukung juga oleh peraturan yang sudah diberlakukan di setiap transportasi umum untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual. 

Namun, pelecehan di ruang publik masih saja terjadi. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa alasan. Seperti masih ada masyarakat yang menganggap pelecehan seksual adalah hal biasa. Sementara itu, kejadian yang terjadi tanpa ada bukti dan saksi masih sulit dibuktikan. 

"Sulit untuk membuktikan, apa lagi cuma ada dua orang. Sekarang sudah ada banyak peraturan yang diterapkan di KRL atau juga banyaknya inisiatif dari masyarakat. Mereka sudah tahu pelecehan seksual merupakan tindakan yang tidak benar. Korban pun dapat mengadu, dan pelaku dalam diamankan sekuriti," jelasnya. 

Namun, menurut Mariana, kekerasan dan pelecehan seksual di ranah publik masih kerap sulit dibuktikan. Pasalnya, tidak jarang pelecehan terjadi di tempat sepi, tidak ada CCTV, atau juga tidak ada saksi sama sekali. Namun, Mariana optimis pelecehan dan kekerasan seksual di ranah publik masih bisa diatasi. 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Jenis Pelecehan Seksual terhadap Perempuan

Ilustrasi/copyright shutterstock

UN Women mengeluarkan sebuah temuan dari penelitian bertajuk Safety Audit: Perempuan Menghadapi Risiko Keamanan. Hasil penelitian menunjukkan, ada dua jenis pelecehan yang terjadi di ruang publik; pelecehan secara verbal seperti memberikan komentar, siulan, seruan yang bernada pelecehan, dan pelecehan non verbal seperti meraba, menyentuh, penyerangan seksual, pemerkosaan, menguntit, menatap dengan tujuan seksual, hingga menunjukkan alat kelamin. 

Jangan sangka cuma perempuan yang bepergian di malam hari mengalami pelecehan ini. Rika Rosvianti dari Koalisi Ruang Publik Aman menyatakan, justru kasus pelecehan seksual di ranah publik banyak terjadi di pagi dan siang hari. Sementara, pakaian yang paling banyak dikenakan korban pada saat pelecehan terjadi antara lain, pakaian dengan lengan panjang, celana panjang, dan seragam sekolah. 

"Ada lebih dari 50% anak berusia 16 tahun mengalami kekerasan seksual di ruang publik. Orang berpikir pakaian mereka mengenakan pakaian terbuka dan keluar rumah di malam hari. Padahal, dari hasil temuan (kami), top 3 pakaian korban adalah lengan panjang, celana panjang, dan seragam sekolah. Ini merupakan indikasi lokasi sekolah juga tidak aman. (Sementara) waktu, kasus terbanyak terjadi di pagi dan siang hari," jelas Rika saat hadir di Diskusi "Ruang Publik dan Kota Aman untuk Perempuan dan Anak Perempuan" pada Selasa (10/12/2019).

Sementara itu, menurut temuan Safety Audit, kelompok perempuan yang rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual antara lain perempuan muda, perempuan dengan disabilitas, kelompok minoritas seksual, perempuan pekerja seks, dan perempuan dari etnis minoritas. 

 

#Growfearless with FIMELA