Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.
***
Oleh: Astuti Aulia - Sidoarjo
Sempat terbesit di pikiran saya untuk tidak menjadi seorang ibu. Repot, melelahkan, serta ketakutan-ketakutan lain yang menjadi alasan saya. Ketakutan pada pernikahan, karena tidak jarang terdengar berita mengenai perceraian, bahkan dari pernikahan yang baru seumur jagung. Belum lagi baby blues syndrome yang secara nyata menghantui para ibu. Serta, kekhawatiran besar saya, yaitu saya tidak akan mampu menjaga anak saya dengan baik. Ketakutan melepas darah daging saya sendiri untuk hidup dan bertahan di dunia yang semakin gila nan kacau ini. Shallow, tapi itulah ketakutan terbesar saya.
Ya, begitulah proses berpikir saya di fase life quarter crisis yang penuh kekhawatiran ini. Karena di fase ini pula saya tidak lagi tinggal di rumah orangtua saya. Saya diharuskan merantau ke luar kota dan hanya bisa pulang saat weekend. Itu pun jika tidak ada hari kerja tambahan. Tapi justru dengan adanya ruang yang berjarak ini, saya bisa melihat perspektif yang lebih luas terhadap seluruh anggota keluarga saya, terutama ibu. Terkadang saat pulang kerja, sembari merebahkan badan di kasur kost, saya membayangkan semua momen yang telah saya lalui dengan ibu saya. Saya kembali membuka beranda kenangan yang pernah kami lalui. Dan sedikit demi sedikit menyadari, mengapa ibu saya pantas disebut wanita inspiratif. Setidaknya bagi saya.
Ibu saya seorang pekerja keras, ia mulai bekerja di usianya yang masih belia, 19 tahun. Tanpa mengenyam pendidikan tinggi, ia memutuskan untuk merantau. Menolong ekonomi orangtuanya, menyekolahkan adik-adiknya. Ia berusaha mewujudkan mimpi orang-orang terdekatnya, meskipun mimpinya sendiri harus tertunda.
What's On Fimela
powered by
Ibu Selalu Mengutamakan Orang-Orang Terdekatnya
Wanita ini pada akhirnya menikah dan memiliki tiga orang anak. Ia bercerita mengenai beberapa penyesalan-penyesalan yang pernah ia lakukan selama menjadi seorang ibu. Ia menyesal karena harus meninggalkan anak-anaknya, tidak menemani mereka bertumbuh kembang, tidak terjun langsung dalam membimbing dan mengajari anak-anaknya. Ia selalu keras terhadap dirinya sendiri dan tak lupa untuk menyalahkan ‘kegagalannya’.
Padahal, ia salah satu wanita terhalus yang pernah saya temui. Satu-satunya kemarahan terbesarnya yang saya ingat adalah ketika saya menolak memberi salam kepada lelaki yang pernah melukainya. Bahkan ketika sedang terluka, ia masih sempat mengingatkan untuk bersikap baik.
Wanita ini meski tampak tidak peduli, tapi sebenarnya peduli. Saat di rumah, ia tidak pernah mengingatkan saya untuk tidak pulang malam. Alih-alih mencari, ia hanya menyapa saya keesokan paginya, “Kok, malam sekali pulangnya?” sambil menyajikan makanan favorit saya di meja makan.
Wanita ini juga jarang bertanya bagaimana kabar saya. Namun, ia selalu memberikan pelukan serta melayangkan cium di pipi kanan kiri setiap saya pulang maupun ketika akan pergi.
Ibu saya memang bukan wanita yang sempurna. Dan saya hanya ingin mengingatkannya bahwa kerja keras serta ketidak-egoisannya adalah bentuk kasih sayangnya yang lain. Perlu ia tahu, bahwa anak-anaknya berterima kasih. Berterima kasih untuk kenyamanan, untuk makanan yang tersaji di atas meja dapur setiap hari, untuk baju yang tersetrika rapi dan untuk rumah yang jarang ada keributan. Serta tanpa ia sadari, ia telah membangun sebuah rumah tanpa atmosfer patriarkis. Darinya saya menyadari bahwa bekerja penuh waktu bukanlah suatu kejahatan. Bahwa kita, perempuan, bisa menjalani peran apa pun dan seimbang, tidak harus 50:50.
Beliau menginspirasi saya untuk bisa menjadi seorang wanita kuat dan mandiri. Serta mungkin, suatu saat, menjadi seorang ibu yang baik.
You’re doing great, Buk.
#GrowFearless with FIMELA