Fimela.com, Jakarta Memiliki sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam hidupmu? Punya pengalaman titik balik dalam hidup yang dipengaruhi oleh seseorang? Masing-masing dari kita pasti punya pengalaman tak terlupakan tentang pengaruh seseorang dalam hidup kita. Seperti pengalaman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Hero, My Inspiration ini.
***
Oleh: Putri Martya - Sampit
Ketika aku masih menjadi siswa sekolah dasar, sama seperti anak-anak pada umumnya aku tidak mengerti apa itu pengorbanan orangtua. Aku masih ingat dulu waktu kecil aku tinggal bersama si mbah di desa. Ayahku sudah meninggal dalam kecelakaan ketika aku kelas satu SD, sedangkan ibuku berjuang di kota mencari nafkah. Uang pensiunan ayahku yang cuma seorang tentara biasa tidak bisa mencukupi kebutuhan kami saat itu kata ibu. Saat itu seingatku ibu pulang ke desa tidak menentu waktunya, kadang aku sampai menunggu sangat lama tapi ibu tidak datang sesuai dengan yang dijanjikan. Tapi aku hanyalah anak-anak yang senang ketika ibu pulang bawa baju bagus, mainan ataupun buah-buahan yang tidak ada di desa kami.
Sebagai anak desa yang diasuh si mbah petani, aku hanya tahu sekolah, bermain dan terkadang ikut si mbah ke sawah atau ladang. Aku tidak menyangka aku akan sekolah sampai sarjana karena waktu itu di desaku tidak banyak yang sekolah sarjana. Kebanyakan meneruskan usaha bertani dan kalau laki-laki sedikit kaya lebih suka mendaftar jadi polisi atau TNI. Waktu itu ibuku bilang ibu ke kota kuliah sambil bekerja. Aku tidak paham bagaimana beratnya itu ketika pembicaraan terjadi, aku hanya anak ingusan.
Aku ingat suatu pagi si mbah dan juga keluarga lain sibuk memasak, kami pergi ke kota. Rupanya ibuku diwisuda, aku tidak mengerti waktu itu. Aku hanya senang bertemu ibuku. Aku baru mulai paham ketika aku lebih besar. Aku ingat setelah itu ibuku masih tetap jarang pulang ke desa tapi ibuku selalu memenuhi setiap kebutuhanku. Ibuku selalu berpesan supaya aku menjadi anak baik yang pintar. Karena itulah aku selalu berusaha menjadi yang terbaik di sekolah. Di desa siswanya tidak banyak dan fasilitas kami pun tidak sama dengan di kota. Listrik bahkan baru masuk desa kami ketika aku duduk di bangku sekolah dasar.
Ketika aku naik kelas lima SD, ibu membawaku ke kota. Kata ibu di kota aku bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ketika itu ibuku mempunyai usaha mebel kecil-kecilan tapi seingatku banyak pesanan yang diterima ibuku karena rumah kontrakan kami waktu itu selalu penuh sesak dengan barang dagangan ibu. Pelan-pelan ibu bisa membeli mobil pick up untuk mengangkut mebel dagangan ibu. Bahkan kami punya dua mobil pick up waktu itu. Ibu akhirnya menyewa ruko di jalan besar dengan harapan usaha ibu akan semakin maju. Tidak ada yang salah dengan harapan itu, karena ketika rumah kontrakan kami di dalam gang saja banyak pesanan. Tapi manusia hanya bisa berusaha, Tuhan berkata lain. Lama-lama isi toko mebel ibu habis di tipu orang. Tapi waktu itu ibu tetap bilang jika kita baik dengan orang lain, kebaikan akan datang juga untuk kita.
Aku sudah jadi siswa SMP waktu itu, mobil pick up ibu terjual. Merasa sudah tidak bisa bertahan dengan usaha mebel kami, ibu banting setir membuka warung makan. Memanfaatkan sisa waktu sewa ruko kami yang masih ada, ibu berjualan makanan. Ibu tidak pernah mengajariku menjadi anak manja. Aku sudah terbiasa mengurus diriku sendiri, mencuci, menyapu dan mengepel lantai, memasak makanan yang sederhana aku sudah bisa. Aku juga sering membantu ibu menjaga warung. Tapi tidak semua rencana berjalan lancar bukan? Tapi kami tetap bertahan.
Sekali waktu ketika kami pulang ke desa pernah aku mendengar salah satu keluarga bilang, "Untuk apa sekolah sampai sarjana kalau akhirnya tidak jadi pegawai?" Sedih rasanya mendengar itu. Tapi aku tidak pernah melihat semangat ibu meredup. Meski tidak jadi pegawai ibu selalu berusaha melakukan usah dengan cara yang baik dan benar.
What's On Fimela
powered by
Hidupku Lebih Baik Berkat Ibu
Ibu tidak berbuat jahat ataupun menipu orang. Kehidupan kami bisa dibilang tidak lekas membaik, semuanya serba pas bahkan kadang kurang. Tapi dalam kondisi apa pun ibu selalu mengajariku untuk besyukur. Jangan melihat ke atas, nanti timbul banyak penyakit hati. Lihatlah kebawah, masih banyak yang perjuangan hidupnya lebih berat dan berliku. Usaha warung ibu juga tidak berlangsung lama, hanya sampai batas sewa ruko kami habis saja.
Ketika aku SMA ibu pernah juga jual beli motor bekas. Tapi usaha itu tidak bertahan lama juga. Usaha yang awalnya rame, pada akhirnya selalu gagal lagi. Tapi ibu tidak pernah kehabisan akal. Ibu lalu berjualan sari kedelai. Waktu itu belum banyak yang berjualan sari kedelai hangat. Ibu membawa motor berkeliling setiap pukul 5.30 dan sekitar pukul 11.00 ibu biasanya sudah pulang dengan dagangan yang habis terjual. Penghasilan kami lumayan ketika itu. Perlahan kami mulai bisa mengisi rumah, bisa membeli motor juga bisa menyekolahkan aku.
Suatu kali aku pernah bertanya pada ibuku yang sarjana pendidikan kenapa ibu tidak jadi guru saja seperti teman-teman ibu yang lain? Jawaban ibu seperti menusuk hatiku, ibu bilang tidak mungkin menjadi guru honor bisa mencukupi kebutuhan kami dan untukku sekolah. Aku yang waktu itu sudah SMA tentu paham bagaimana beratnya tanggung jawab ibu. Meski hidup kami pas-pasan ibu tidak pernah pelit jika soal pendidikan, hanya saja aku yang harus tahu diri. Bisa kuliah saja rasanya merupakan suatu kemewahan buatku. Mengingat aku hanya punya satu pahlawan dalam hidupku saat itu, aku berusaha tidak terlalu membebani beliau.
Aku kuliah dengan keadaan seadanya, aku sering mencari pekerjaan sambilan untuk menutup biaya hidup dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sudah cukup ibuku dicemooh keluarga sendiri karena nekat membiarkan anaknya kuliah meski tidak punya penghasilan tetap. Aku benar-benar berusaha supaya aku bisa berhasil. Aku menutup mata dan telinga dari segala cibiran keluarga, bagiku dukungan dari ibuku sudah cukup.
Aku akhirnya lulus sarjana pendidikan tepat empat tahun dengan predikat cumlaude. Setelah itu aku berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan ijazahku. Aku ingin membuktikan bahwa ibuku tidak salah menyekolahkan aku. Meski begitu aku tidak malu membantu ibu menitipkan dagangan kami di warung-warung.
Sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan yang cukup baik di universitas tempatku kuliah dulu. Keluarga kami sedikit demi sedikit berhenti mencemooh keputusan ibu. Setelah melihatku penjadi PNS sekarang, mereka bahkan mulai menyekolahkan anak-anak mereka supaya paling tidak lulus sarjana dan bisa bekerja di tempat yang baik.
Ibuku tidak pernah mengeluhkan kesusahannya sewaktu menghidupiku bahkan ketika membiayaiku sekolah. Ibu bahkan mengikhlaskan aku dibawa ke luar pulau oleh suamiku karena ibu paham tugas dan tanggung jawab perempuan. Bagiku, semua kebaikan dan kemudahan yang aku dapatkan dalam hidup tidak terlepas dari doa ibuku. Beliaulah yang membuka jalan untukku melihat kehidupan yang lebih baik. Tak pernah mudah berjuang sendirian, tapi ibuku melakukan segalanya untukku. Pahlawan yang memerdekakan aku adalah ibuku. Terima kasih ibu, untuk setiap doa dan tetes peluh ibu.
#GrowFearless with FIMELA